Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Apple
Kab/Kota: Yogyakarta
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Stafsus Menkeu Semprot Rizal Ramli Soal Pajak: Mungkin Beliau Kurang Update
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Prastowo Yustinus ‘menyemprot’ Ekonom Senior Rizal Ramli yang selalu membandingkan kondisi sekarang dengan era dia menjabat.
“Rizal Ramli selalu menyeret kita ke masa dia menjabat lalu bangga dan merendahkan orang lain,” ucapnya dalam unggahannya, Selasa, (17/1/2023).
Padahal kata dia, pencapaian tax ratio terbaik terjadi di era Pak SBY dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI). Dimana pada tahun 2008 pencapaian tax ratio sebesar 13,3%.
Dia menjelaskan, jika mau membandingkan tax ratio tahun 2001 dengan tax ratio di era Sri Mulyani, bandingkanlah dengan tax ratio tahun 2005-2008 agar apple-to-apple.
“Faktanya, penerimaan pajak di tahun 2000-an awal sampai krisis keuangan global tahun 2008 ditopang adanya commodity super-cycle,” ucapnya.
Lanjut kata dia, pada tahun 2001, tax ratio mencapai 11%. Di era Menkeu SMI, tax ratio juga meningkat hingga mencapai 13,3% di tahun 2008.
Apabila dilihat dalam time frame itu, tax ratio di era SMI tidak semakin turun, justru menguat. Bukan berarti periode lain buruk. Penting mengenali penyebabnya.
Selain itu, growth penerimaan pajak 2001 nampak tinggi karena adanya low base effect akibat adanya perubahan tahun anggaran APBN, dari Apil-Maret menjadi Januari-Desember.
“Maka tahun pajak 2000 tumbuh negatif karena hanya 9 bulan kalender. Jangan mudah menyalahkan juga ya,” lanjutnya.
Setelah 2011, harga komoditas terus turun, yang paling signifikan di 2014. Di saat yang sama, Indonesia terus mengalami deindustrialisasi, padahal kontributor utama penerimaan pajak adalah manufaktur.
Menurutnya ini yang jadi tantangan. Effort pemerintah tidak berkurang, namun basis pajak menyempit
“Jalu, jika melihat tantangan yang ada, apakah kita tinggal diam? Tentu tidak. Saya lebih senang meletakkan reformasi pajak sbg continuum. Perbaikan tiga level: kebijakan (policy), aturan (regulation), dan administrasi terus dilakukan, masa ke masa. Berikut historiografinya,” tutur pria kelahiran Yogyakarta ini.
Dia mempertanyakan darimana Rizal Ramli bisa mengambil kesimpulan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya berani naikkan pajak “rakyat”?
Yustinus menyebut, lewat UU HPP, yang dilakukan justru sebaliknya, yang berpenghasilan kecil dilindungi, yang berpenghasilan tinggi dipajaki lebih tinggi.
Lagi menurutnya ini sudah adil. Dia menyebut RR kurang update.
“Adil! Mungkin beliau kurang update. Takut nggak siap?,” ungkapnya.
Di sisi lain yang penting dipahami adalah Tax Expenditure (TE), merefleksikan keberpihakan kebijakan pajak Indonesia.
Tahun 2021, TE mencapai Rp299,1 T (1,76% PDB), meningkat dari tahun 2020 ya g sebesar Rp241,6T (1,56% PDB). Itu disebabkan oleh penambahan insentif terkait Covid-19.
Berdasarkan jenis pajak, TE terbesar ada pada PPN (58,5%), didominasi oleh fasilitas PPN tidak terutang untuk pengusaha kecil & pengecualian barang-barang kebutuhan dasar masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan, dapat dilihat dalam grafik.
Lebih jauh, alumnus STAN ini menjelaskan, Tax Expenditure atau belanja pajak adalah kebijakan pemerintah melalui pemberian fasilitas/insentif perpajakan agar perekonomian mendapat dukungan untuk tumbuh kembang.
“Jadi alih-alih ditarik pajaknya, justru uang dibiarkan beredar di masyarakat,” ungkapnya.
Di sisi administrasi, DJP sedang menyiapkan core tax system. Dibarengi dengan implementasi pemberlakuan NIK sebagai NPWP, core tax akan membantu DJP menggali potensi-potensi pajak. Core tax juga memudahkan WP dalam melaksanakan kewajibannya. Singkatnya, semua akan lebih terautomasi.
“Untuk membantu memahami apa yang telah dilakukan dan apa agenda reform berikutnya, silakan baca thread saya sebelumnya,” tandasnya. (selfi/fajar)
Sentimen: positif (96.9%)