Sentimen
Negatif (100%)
16 Jan 2023 : 13.02
Informasi Tambahan

Kasus: HAM, korupsi

Tidak Perlu Persoalkan Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja

16 Jan 2023 : 20.02 Views 3

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Tidak Perlu Persoalkan Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja

Polemik ini didominasi oleh kalangan ahli maupun pemerhati hukum, khususnya yang menggeluti disiplin Hukum Tata Negara dalam menyikapi ‘sengkarut’ problematika penerbitannya.

Merespons kegaduhan yang terjadi, Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa prosedural formal penerbitan Perppu Ciptaker sudah ‘mengantongi’ keabsahan konstitusional sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.


Presiden secara konstitusional berwenang mengeluarkan Perppu berdasarkan perspektif subjektifnya apabila dipandang berpotensi terjadi situasi ‘kegentingan yang memaksa’. Sifat kegentingan yang menjadi sukma lahirnya Perppu ini nantinya akan dibawa ke DPR untuk diuji secara objektif apakah disetujui atau ditolak dalam persidangan yang berikut dimana waktu pembahasannya masih belum dapat ditentukan secara pasti.

Sebaliknya bagi kalangan yang berada di barisan kontra menilai Perppu Ciptaker secara substansial belum cukup terpenuhi syarat kegentingan yang dimaksud serta nihilnya keterlibatan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Pandangan sikap, baik yang sepakat maupun yang menolak sama-sama memiliki basis argumentasi yang kuat. Apabila dirunut ke belakang, lahirnya Perppu ini tidak terlepas dari adanya Putusan MK No. 91/PUU-XIII/2020 atas Uji Formil UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) alias cacat formil oleh MK pada 25 November 2021.

Dalam amar putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu maksimal 2 tahun sejak putusan dibacakan yang secara otomatis akan berbalik 180o menjadi inkonstitusional permanen (permanently unconstitutional) apabila tenggang waktu 2 tahun terlewati tanpa pengesahan perbaikan UU Ciptaker paling lambat 25 November 2023.

Terpenuhinya Parameter Diprasyaratkan MK

Apabila diteropong dari sudut optik akademis maupun politik, Perppu Ciptaker memang cukup deras menyajikan arena perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Tidak dapat dihindari opini publik terutama dari kalangan ahli hukum yang menganggap Perppu yang diterbitkan oleh Presiden ini kurang tepat dan terlalu prematur di sisa waktu yang masih relatif cukup tersedia untuk dibahas bersama dengan DPR perihal perbaikan UU Ciptaker hingga batas waktu maksimal 25 November 2023 mendatang.

Terkait ruang limitasi sifat kegentingan yang memaksa yang menjadi ‘nyawa’ Perppu, MK pun telah menentukan batasan dalam ratio decindendi putusannya No. 138/PUU-VII/2009 yang setidak-tidaknya harus memenuhi 3 (tiga) parameter yaitu (1) adanya kondisi berupa kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (2) undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau undang-undang yang ada kurang memadai, (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Melihat situasi genting ekonomi yang masih menjadi ‘momok’ kegelisahan masyarakat, rongga hukum untuk mengisi tiga parameter tersebut relatif terbuka bagi pemerintah dalam menerbitkan Perppu.

Pertama, dari aspek sifat kegentingan yang memaksa, realitasnya pemerintah dalam membahas perbaikan UU Ciptaker bersama DPR diperkirakan memakan waktu yang relatif lama apabila produk hukum yang dibuatnya berbentuk undang-undang. Sementara itu, pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah strategis yang cepat guna mengantisipasi ancaman gejolak ekonomi global yang akan melanda dunia.

Menyikapi permasalahan tersebut, jalan konstitusional berjubah Perppu sudah tersaji sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Perppu merupakan produk hukum yang letak kedudukannya setingkat dengan undang-undang dalam hierarki tata hukum nasional.

Materi muatannya pun sama persis layaknya undang-undang yang perbedaan keduanya sebatas pada siapa lembaga pembentuk dan kapan momentum penerbitannya. Undang-undang dibentuk pada situasi normal oleh pembentuk undang-undang yang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden atau yang mewakilinya. Sedangkan Perppu diterbitkan pada situasi genting yang mengancam keberlangsungan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan hak prerogatif Presiden untuk mengeluarkannya.

Menko Polhukam pun menegaskan Perppu Ciptaker diterbitkan oleh Presiden karena berpotensi terjadi badai ekonomi di tahun 2023 seperti resesi dunia, inflasi, stagflasi, terganggunya proses investasi dan lain-lain yang mana Indonesia menjadi bagian negara yang turut terdampak berdasarkan kalkulasi sejumlah lembaga keuangan internasional yaitu Word Bank, IMF, EDB, dan OECD. Keempat lembaga keuangan internasional tersebut menilai Indonesia itu akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari target pemerintah yang minimal harus berada di angka 5,3 persen guna tetap menjaga stabilitas ekonomi.

Namun apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah strategis hanya akan berada di kisaran angka 4,7 persen - 5 persen. Dari sudut geopolitik, prahara perang Rusia-Ukraina pun mengakibatkan krisis energi diantaranya lonjakan harga dan inflasi sehingga pemerintah harus melakukan langkah antisipasif berdasarkan perhitungan dari lembaga-lembaga keuangan internasional di atas dengan membuat kebijakan strategis penyelamatan ekonomi nasional.

Kedua, UU Ciptaker yang ada dipandang tidak lagi memadai sejak diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Terdapat sejumlah ketentuan dalam amar putusannya yang melarang pemerintah menerbitkan peraturan-peraturan pelaksana baru disertai penangguhan kebijakan/tindakan strategis dan berdampak luas sebelum dilakukan perbaikan yang dimaksud.

Hal ini menyebabkan stagnasi roda pemerintahan karena pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan maupun tindakan strategis apapun akibat putusan MK yang membuat UU Ciptaker seakan ‘mati suri’ karena untuk menjalankan UU Ciptaker membutuhkan instrumen peraturan pelaksana, baik berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan lain sebagainya sebagaimana yang diperintahkan oleh UU Ciptaker.

Menjadi persoalan selanjutnya apabila waktu 2 tahun yang diberikan MK untuk memperbaiki UU Ciptaker terlewati, maka sejumlah ketentuan dan/atau undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker secara otomatis akan dinyatakan berlaku kembali sebagaimana yang telah ditentukan oleh MK dalam salah satu amar putusannya. Hal itu tentunya menjadi sesuatu yang kontra produktif bagi pembentuk undang-undang yang telah menggabungkan 78 undang-undang terkait dalam adonan “omnibus law” berupa UU Ciptaker.

Ketiga, sebagai akibat ‘mati surinya’ UU Ciptaker sebagaimana yang diuraikan di atas maka kekosongan hukum (rechtvacuum) pun tidak bisa terhindarkan. Guna mengantisipasi dan menjaga stabilitas ekonomi nasional yang terancam pada tahun 2023 ini, satu-satunya langkah cepat yang bisa diambil pemerintah di tengah-tengah situasi kegentingan adalah menerbitkan aturan hukum yang setingkat dengan undang-undang yang mana prosedur pembuatannya tidak memakan waktu yang lama karena alasan kegentingan sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Maka dikeluarkanlah jubah hukum berbentuk Perppu Ciptaker sebagai alternatif cepat inisiasi pemerintah yang telah di-design dengan metode omnibus yang tidak perlu diragukan kadar konstitusionalitasnya. Mengapa demikian?

Putusan MK sedari awal menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dari sudut prosedur karena mengadopsi metode omnibus yang sebelumya tidak diatur dalam sistem hukum nasional.

Artinya bahwa pada aspek substansi materi muatan dalam pasal-pasalnya masih dianggap sah dan konstitusional karena yang dibatalkan MK terbatas dari aspek prosedur pembentukannya. Berselang setelah itu pembentuk undang-undang mengesahkan UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU  12/2011 jo. UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3-Perubahan Kedua) dengan mengadopsi metode omnibus yang sebelummya tidak dikenal dalam ketentuan UU P3.
Daya lakunya pun makin kokoh pasca MK dalam putusannya No. 82/PUU-XX/2022 menyatakan UU P3-Perubahan Kedua konstitusional yang menolak permohonan pemohon pengujian undang-undang tersebut untuk seluruhnya. Dengan demikian, UU P3-Perubahan Kedua sebagai landasan hukum yang memuat metode omnibus sah secara konstitusional sehingga dapat dipergunakan dalam merevisi UU Ciptaker yang kental dengan adonan ‘omnibus law’.

Tentu tidak semua orang setuju dengan politik hukum yang diambil pemerintah atas penerbitan Perppu ini. Perbedaan pendapat yang mengalir di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan berdemokrasi sekaligus sebagai media kontrol publik. Upaya hukum terbuka lebar bagi masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas keberlakuan Perppu Ciptaker dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan catatan selama proses pengujiannya di MK belum diundangkan oleh DPR.

Opsi konstitusional kedua adalah menanti political review uji kelayakan dua sisi sekaligus yaitu prosedur dan materiil Perppu dimaksud di DPR dalam persidangan yang berikut. Namun, terlepas dari pro dan kontra masyarakat, kebijakan ini merupakan pilihan yang paling memungkinkan diambil pemerintah demi menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Kiranya adagium keselamatan rakyat termasuk perihal ekonomi rakyat adalah adalah hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex) berlaku untuk kebijakan Perppu yang diambil pemerintah saat ini guna mengantisipasi sekaligus mengatasi persoalan ekonomi dunia yang akan muncul.

Impeachment Presiden Jauh Panggang dari Api

Kemudian yang masih menyisakan pertanyaan apakah dengan menerbitkan Perppu Ciptaker menjadi pintu masuk pemakzulan/impeachment terhadap Presiden? Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Asshiddiqie mengemukakan ada celah hukum yang berpeluang menjadi gerbang pembuka untuk memakzulkan Presiden karena menegasikan peran DPR sebagai partner Presiden dalam merevisi UU Ciptaker, bukan sepihak dibuat Presiden dengan instrumen Perppu. Akan tetapi bila merujuk pada pandangan Mantan Menteri Hukum dan HAM, Prof. Yusril Ihza Mahendra isu pemakzulan tersebut masih terlampau jauh.

Merujuk pada ketentuan Pasal 7A dan Pasal 7B pasca Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, terdapat 6 (enam) alasan impeachment yang secara limitatif ditentukan yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Alasan krusial mekanisme impeachment dilakukan amandemen karena di masa-masa pemerintahan sebelumnya Presiden kerapkali dijatuhkan karena alasan politik oleh MPR sebagaimana yang terjadi pada Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Pasca amandemen UUD 1945 maka Pemakzulan Presiden yang digagas oleh DPR harus melibatkan MK terlebih dahulu sebagai forum previligiatum yang mengadili dan memutus secara hukum terbukti tidaknya dakwaan DPR yang muaranya akan diputuskan oleh MPR dari 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Mekanisme demikian menyeimbangkan pelaksanaan prinsip demokrasi yang bergulir di DPR dan MPR dan prinsip nomokrasi yang menjadi peran MK. Dengan mencermati 6 (enam) pelanggaran hukum yang menjadi jalan pemakzulan Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, penerbitan Perppu Cipta Kerja masih belum nampak ‘hilal’nya dalam memenuhi kriteria alasan pemakzulan/impeachment terhadap Presiden.

Apa yang dilakukan Presiden dengan menerbitkan Perppu adalah kewenangan konstitusional dan hak prerogatif yang melekat pada jabatannya sebagai kepala pemerintahan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden dengan alasan penerbitan Perppu Ciptaker masih jauh panggang dari api.

*Penulis adalah Analis Hukum Ahli Pertama Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim

Sentimen: negatif (100%)