Sentimen
Negatif (99%)
15 Jan 2023 : 17.44
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Mercedes-Benz

Event: Konferensi Meja Bundar

Grup Musik: APRIL

Institusi: UNCEN

Kab/Kota: Jayapura, Solo, New York

Kasus: HAM, teror

Partai Terkait

Sejarah OPM: Bermula dari Upaya Belanda Melakukan Dekolonialisasi Papua

15 Jan 2023 : 17.44 Views 3

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

Sejarah OPM: Bermula dari Upaya Belanda Melakukan Dekolonialisasi Papua

SOLOPOS.COM - KSB pimpinan Nason Mimin membakar SMKN 1 Oksibil. (Antara/HO/Humas Polda Papua)

Solopos.com, SOLO–Sejarah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua tak henti-hentinya menebar teror. Membakar rumah, sekolahan, dan membunuh adalah sederet perbuatan kelompok yang dahulu bernama OPM itu.

Terbaru, KKB membakar gedung SMKN 1 dan Kantor Disdukcapil Pegubin serta menembak pesawat terbang milik Ikairos sesaat hendak mendarat di Bandara Oksibil, Sabtu (7/1/2023).

PromosiJangan Dilewatkan, Mercedes-Benz Berikan Promo Menarik Akhir Tahun

TNI dan Polri dikerahkan untuk mengatasi mereka. Konflik antara angkatan bersenjata Indonesia dengan KKB hingga kini belum padam. Lantas bagaimana mulanya kelompok itu lahir.

KKB tak terlepas dari lahirnya OPM yang terkait dengan isu kemerdekaan Papua yang terus menjadi bagian dari perjalanan negeri ini. Di antara kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua adalah OPM.

Dikutip dari Antara, Minggu (15/1/2023), lahirnya OPM bermula dari permasalahan di Papua yang dipicu akibat ada perbedaan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949.

Dalam perundingan tersebut, pihak Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, guna menghadapi politik dekolonisasi dari Pemerintah Belanda, maka Presiden Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora).

Kemudian pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Newyork pada 15 Agustus 1962 yang berisikan pengalihan adminstrasi di Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 10 Oktober 1962 dan pada akhirnya pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Terhadap hal tersebut, Indonesia wajib melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang pada akhirnya dengan hasil yang diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 (XXIV) pada 19 November 1969. Dengan demikian, dalam persepektif hukum internasional, sejak saat itu Irian Jaya resmi menjadi wilayah Indonesia.

 

Himpun Kekuatan dengan Gerakan Bawah Tanah

Namun, Taufik Tuhana dalam bukunya berjudul Mengapa Papua Bergejolak menyatakan kader-kader nasionalis Papua yang dahulu membutuhkan Pemerintah Belanda berusaha membujuk organisasi atau perkumpulan putra-putri Irian Barat untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk gerakan bawah tanah.

Tujuannya memperjuangkan Papua atau Irian Jaya terlepas dari Pemerintahan Belanda dan Pemerintahan Indonesia. Hal tersebut tecermin dalam pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada 26 Juli 1965 yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permanes Ferry Awom (Mantan Anggota Batalyon Sukarelawan Papua/Papua Vrijwillegers Korps/PVK) ciptaan Belanda.

Sejak awal berdiri, OPM sering melakukan tindakan militan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya pemberontakan yang bertujuan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya itu menimbulkan banyak korban jiwa, baik dari penduduk sipil maupun militer.

Bahkan, OPM berusaha mempropaganda masyarakat internasional agar mendukung gerakan Free West Papua dengan berbagai cara, seperti salah satu perwakilan OPM yakni Benny Wenda yang selalu menyuarakan isu pelanggaran HAM di tanah Papua.

OPM merupakan pemberian nama dari Pemerintah Indonesia, karena OPM merupakan gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI. Dalam perspektif hukum, gerakan OPM dapat diasosiasikan sebagai suatu perbuatan makar dari suatu kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (fighting against the legitimate government).

Apabila pemberontak tidak segera dipadamkan dan mereka menduduki dan mengusai wilayah yang cukup luas dan mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literatur hukum internasional pemberontak tersebut bisa diakui sebagai Belligerent.

Menurut Jawahir Thontowi (2006 : 125), Belligerent adalah kelompok atau kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi dan militer, sehingga tampak sebagai satu kesatuan politik yang mandiri.

Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya ke dalam tetapi juga keluar. Maksudnya adalah dalam batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakkan diri pada tingkat internasional atas keberadaannya sendiri.

Sumber lain menyebut, sejarah OPM dapat ditelisik mulai 1961 di mana Belanda sedang mempersiapkan dekolonialisasi Papua.

Dikutip dari PinterPolitik.com, pada April 1961 dibentuk New Guinea Council untuk mempersiapkannya. Dewan ini kemudian menjadi katalis bagi meningkatnya kesadaran politik masyarakat Papua.

Dewan itu kemudian memutuskan menggunakan nama Papua Barat untuk wilayah negara mereka nanti.  Disepakati pula desain bendera mereka yaitu Bendera Bintang Kejora yang dikenal hingga saat ini.

Pada 1 Desember 1961, New Guinea Council bersama Belanda secara resmi mengumumkan simbol nasional mereka. Hal ini menegaskan kedaulatan mereka sebagai sebuah bangsa.

Indonesia yang merasa memiliki hak atas seluruh wilayah eks jajahan Belanda di Hindia kemudian bereaksi. Hal itu mendorong terjadinya infiltrasi militer Indonesia ke Papua.

Tekanan dari Amerika dan aktivitas militer Indonesia itu mendorong terjadinya New York Agreement pada 1962. Perjanjian itu membuat otoritas di Nugini Barat dipindahkan kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Para nasionalis Papua Barat sangat kecewa dan merasa dikhianati oleh New York Agreement karena tak dilibatkan.

Setelah otoritas dilimpahkan dari UNTEA kepada Indonesia pada 1963, Indonesia berusaha mengintegrasikan Papua secara keseluruhan ke dalam negara melalui Dekrit Presiden No. 8 dan 11/1963.

Kebijakan itu membuat hak-hak dan aktivitas politik masyarakat Papua berada dalam kontrol penuh Indonesia.

Pengaturan politik disertai dengan aktivitas militer ketat menimbulkan perlawanan dari masyarakat Papua kepada otoritas Indonesia di Manokwari dan kota-kota lain. Gerakan resistensi inilah yang menjadi cikal bakal OPM.

Menurut RG Djopari, ada dua faksi utama dari OPM. Faksi pertama lahir di Jayapura pada 1963 dipimpin oleh Aser Demotekay. Sementara, faksi kedua lahir di Manokwari pada 1964 dipimpin oleh Terianus Aronggear.

Sebenarnya, OPM dapat dianggap sebagai istilah payung untuk menyebut gerakan pro kemerdekaan Papua.

Sejak kemunculannya, OPM menjadi kelompok yang terus menentang otoritas Indonesia. Tujuan utama dari organisasi ini adalah menghentikan pendudukan Indonesia dan membentuk negara Papua Barat yang merdeka.

 

Kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)

Eskalasi perjuangan kemudian semakin meninggi seiring dengan kontroversi yang dihadirkan oleh Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Saat itu, referendum segelintir masyarakat Papua menghendaki integrasi daerah mereka dengan Indonesia, sehingga kemudian muncul nama provinsi Irian Jaya.

Salah satu upaya paling awal untuk mengarahkan pemberontakan menjadi perjuangan bersenjata kemudian terjadi pada 1970 ketika suatu kelompok membentuk kamp di Markas Victoria.

Langkah paling fenomenal dari kelompok Markas Victoria ini adalah ketika OPM mendeklarasikan kemerdekaan Republik Papua Barat pada pada 1971. Deklarasi itu disertai dengan pengadopsian konstitusi dan juga penggunaan simbol-simbol nasionalis.

 

Tokoh Penting Dibalik OPM

Ada dua tokoh penting di balik kelompok tersebut. Pertama, Seth Rumkorem yang merupakan seorang eks militer yang semula pro Indonesia. Kedua, Jacob Prai yang merupakan lulusan Universitas Cendrawasih yang sejak awal anti-Indonesia.

OPM kemudian mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat di wilayah Papua. Mereka juga menjaring simpati dari dunia internasional di mana negara pasifik seperti Tuvalu dan Vanuatu memberikan dukungan kepada mereka. Belanda disebut-sebut juga memberikan dukungan moral kepada organisasi ini.

Meski sangat populer, organisasi ini memiliki kelemahan dalam kepemimpinan. Hal ini terjadi terutama setelah konflik antara Jacob Prai dan Seth Rumkorem dalam posisi sentral kepemimpinan organisasi.

Pada akhir 1970 dan awal 1980, kegiatan militer Indonesia semakin meningkat sehingga para pemimpin Markas Victoria ini harus lari ke luar negeri. Sejak saat itu, kepemimpinan OPM dijalankan terbatas secara teritorial dan kerap gagal untuk disentralisasi.

Pada 1980-an, muncul sosok Kelly Kwalik sebagai tokoh penting di lingkaran lokal OPM. Salah satu kiprahnya yang paling mencolok adalah ketika kelompoknya melancarkan aksi di wilayah tambang Freeport pada 2002. Wilayah operasi Kelly berada di kawasan tambang Freeport di Mimika.

Setelah Kelly tewas tertembak pada 2009, ada sosok Goliat Tabuni yang memimpin gerakan bersenjata di kawasan Puncak Jaya. Wilayah operasi Goliat terus meluas ke distrik lain. Pengaruhnya yang semakin menguat membuatnya didaulat sebagai panglima tertinggi OPM pada 2012.

Pengaruh Goliat yang semakin kuat membuatnya jadi tujuan otoritas Indonesia untuk berdialog, bahkan hingga era Presiden Jokowi.

 

OPM di Era Pemerintahan Jokowi

Pada era Jokowi, kiprah gerakan bersenjata OPM belum juga surut. Kelompok ini disebut-sebut berada di balik penyerangan kepada pekerja konstruksi jalan Trans Papua di Nduga.

Hingga saat ini, beragam cara masih belum bisa sepenuhnya meredakan aktivitas bersenjata dari OPM.

Suatu ketika, pemerintah Indonesia menamakan OPM menjadi KKB karena menilai organisasi itu sama halnya kelompok kriminal yang memiliki senjata.

Begitulah sejarah OPM di tanah Papua yang perlu diketahui masyarakat.

Sentimen: negatif (99.6%)