Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pemilu 2014
Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga
Tokoh Terkait
Pakar Sebut Isi Pidato Megawati Bukti PDIP tak Kerdilkan Posisi Presiden Jokowi
Merahputih.com Jenis Media: News
MerahPutih.com - Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam HUT ke-50 partai berlogo banteng itu mendapat banyak tanggapan, baik yang positif maupun negatif.
Pasca perayaan HUT ke-50 PDIP, banyak potongan video dan potongan kalimat pidato Megawati beredar di media sosial. Bahkan, ada media partisan yang melakukan manipulasi politik dengan tujuan memframing.
Baca Juga
PDIP Sebut 8 Fraksi Penolak Proporsional Tertutup Cuma 'Hore-hore', PAN: Tidak Bercanda, Itu Serius
Pakar politik dari Universitas Airlangga (Unair) Haryadi menilai, potongan video dan potongan kalimat itu cenderung mengarah pada upaya membenturkan Megawati dan PDIP dengan Presiden Jokowi.
“Semua dilakukan lewat narasi di media massa partisan. Seakan PDI Perjuangan pamer kuasa di hadapan Presiden Jokowi. Bahkan beberapa pengamat di media partisan itu menyatakan, bahwa Presiden Jokowi merupakan subordinat PDI Perjuangan,” kata Haryadi, Jumat (13/1).
Menurut Haryadi, ada pihak yang mengambil manfaat dari pidato Megawati untuk falsifikasi makna politik. Berbagai potongan video dan kalimat di media sosial atau media massa mencerminkan, bahwa manipulasi politik dipandang sebagai sarana pengaruh ideologis, spiritual dan psikologis pada kesadaran massa untuk memaksakan ide dan nilai tertentu.
"Pengaruh yang disengaja pada opini publik dan perilaku politik untuk mengarahkan mereka dengan cara tertentu," ujarnya.
Ia lantas mencontohkan falsifikasi makna yang terjadi. Cara yang dilakukan Megawati merupakan pesan kekeluargaan yang akrab, seperti layaknya Ibu kepada anak-anaknya, dalam prosesi perayaan HUT itu, justru dibelokkan maknanya sebagai subordinasi PDIP terhadap Jokowi.
Padahal, kata dia, acara itu memang dimaksudkan sebagai perayaan di dalam keluarga besar dan masyarakat biasa. Sebab sejak awal didisain merupakan acara internal partai. Yang paling banyak diundang adalah level akar rumput yaitu pengurus ranting partai dan Satgas Cakra Buana.
Karena itu, lanjut Haryadi, pimpinan partai politik lain yang merupakan level elite memang tak diundang. Bahkan level menteri di kabinet Presiden Joko Widodo tak semuanya diundang.
“Layaknya dalam keluarga, bisa lebih terbuka dalam berbicara. Pesan sebagai keluarga besar adalah ciri khas Bu Mega untuk membangun internal political market dan militansi para kader. PDIP termasuk salah satu partai yang dengan political ID atau identitas politik yang paling kuat. Itu berkat kekuatan mesin politik internal yang dibangun Bu Mega selama bertahun-tahun,” urai Haryadi.
Baca Juga
PDIP Terima Permintaan Maaf PSI, Bambang Pacul Singgung Etika
Cara berpolitik demikian sudah terbukti membuahkan hasil. Haryadi menjelaskan faktor yang membuat PDIP berhasil di Pemilu 1999. Selanjutnya, Pemilu 2004 dan 2009, PDIP gagal bahkan terlempar keluar dari kekuasaan. Berikutnya lagi, pada Pemilu 2014 dan 2019, PDIP merebut kembali kekuasaan.
Kemenangan Pileg dan sekaligus Pilpres pada tahun 2014 dan 2019 itu, merupakan rekor baru dalam politik kepemiluan di Indonesia. Faktor penentu kemenangan dua kali berturutan itu adalah karena PDIP beruntung memiliki dua figur role model sekaligus, yaitu Megawati dan Jokowi.
“Kekuatan dua figur ini menjadi perekat identitas partai yang begitu kuat. Sekaligus menjadi penentu kemenangan PDI Perjuangan secara berturutan. Betapa pun potensi kekuatannya secara kelembagaan diperlemah oleh pemberlakuan sistem Pemilu proporsional terbuka,” bebernya.
Haryadi melanjutkan, jika ditelaah lebih dalam, bukti di atas menguatkan betapa penting posisi Jokowi dalam point of view Megawati selaku Ketua Umum PDIP. Pun kejelian Megawati sebagai leader maker dan seorang negarawan.
Menurut Haryadi, hal itu terbukti dalam isi pidato Megawati di acara tersebut. Dia menyebut bagian pidato yang dimaksud.
‘Sudah jelas kita ini adalah organisasi partai politik. Organisasi itu datangnya dari organ. Badan kita ini semua juga terdiri dari organ. Ketua umum adanya dimana? Pak Jokowi sebagai presiden dimana? Di sini “kepala”, memikirkan rakyat. Kalau Pak Hasto dimana? Di sini (tunjuk dahi). Karena pikiranku kusampaikan sama Sekjen, saya minta berpikir bersama pengurus DPP saya. Kita semua ini organ. Anak ranting itu mungkin kuku. Gampangnya, untuk ingat, kalau Ibu pusing, tidak bisa berpikir, macet, kalian tidak bisa kerja. Jadi semua itu harus bonding, menyatu jadi kalau saya instruksi jangan hanya sebagai kertas tetapi dijalankan.'
Dalam penggalan pidato itu, kata Haryadi, Megawati menempatkan Presiden Jokowi di tempat tertinggi partai dalam kesatuan gerak memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat.
"Tak ada subordinasi. Dan sama seperti tubuh, kepala tak lebih penting dari tangan atau kuku sekalipun," ujarnya.
Menurutnya, tak ada keindahan organ tubuh, jika hanya ada kepala tanpa tangan dan kuku. Dijelaskannya, Megawati ingin mengatakan bahwa akar rumput partai dan masyarakat sama pentingnya dengan dirinya maupun dengan Presiden Jokowi dalam kesatuan tubuh bernama Indonesia.
“Maka bijak memaknai agar kepentingan yang terbungkus dalam falsifikasi pemaknaan dalam komunikasi politik tidak mendapatkan tempat dalam upaya memecah PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi,” bebernya.
Oleh karena itu, pria yang berprofesi sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini menyarankan agar semua pihak pihak meletakkan tiap kalimat dalam konteksnya.
“Jangan memenggal tanpa konteks. Kecuali pemenggalan itu sengaja dilakukan untuk motif dan kepentingan politik nakal,” tutup Haryadi. (Pon)
Baca Juga
Pengamat Sebut Koalisi PDIP- KIB Terwujud jika Ganjar Dipasangkan dengan Airlangga di Pilpres
Sentimen: positif (100%)