Sentimen
Positif (99%)
12 Jan 2023 : 17.07
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: Universitas Sriwijaya

Kab/Kota: bandung, Solo, Serang, Palembang

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait

Gol A Gong: Indonesia Sedang Darurat Buku, Tapi Bukan karena Minat Baca Rendah

13 Jan 2023 : 00.07 Views 2

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

Gol A Gong: Indonesia Sedang Darurat Buku, Tapi Bukan karena Minat Baca Rendah

Banyak yang ragu seorang penulis bisa hidup dari karyanya. Menurut Mas Gong, apakah seseorang bisa hidup layak dari menulis?

Bisa. Coba lihat Rumah Dunia, kalau diduitin berapa tuh? Saya dari sejak tahun 1990 melakukan ini, mengeluarkan uang dari hasil menulis. Jadi kalau pertengahan tahun itu dari Jakarta, dompet saya tebal. Hasil royalti saya bisa bikin panggung kesenian, bisa datangin band dan sebagainya, itu kalau zaman dulu.

Ada satu profesi yang enggak akan hilang ditelan zaman, yaitu profesi kreator. Kreator itu bisa dia seorang filmmaker, bisa seorang penulis, konten kreator sekarang istilahnya ya, enggak akan terhapus zaman.

Ada satu istilah, semua dimulai ketika kata-kata disusun. Jatuh cinta, pasti menyusun kata-kata sebelum dipindahkan ke gambar. Mau bikin skenario film? Mau bikin film? Semuanya dimulai dari kata-kata.

Jadi, kalau di luar negeri kaya banget jadi penulis, karena budaya bacanya sudah lebih tinggi. Nanti Indonesia akan sampai ke fase itu. Sekarang laku 100 ribu buku saja, kalikan royaltinya 10 ribu misalnya satu buku, berapa tuh? Satu miliar lebih itu.

Jadi semuanya dimulai dari menyusun kata-kata?

Iya. Saya waktu SMP jadi tukang nulis puisi. Ada cowok datang ke saya tulisin puisi, honornya ya minta honor saya. Honornya waktu itu semangkok bakso 250 perak. Jadi asyik bener, happy.

Kadang ini keberuntungan saya sering dijadikan apa ya, motivator dalam tanda kutip. Saya suka bilang gini, masa saya tangan satu semangat hidupnya tinggi kamu kok enggak? Kaya gitu. Nah itu kadang kala juga ada gunanya.

Siapa penulis yang menjadi acuan Mas Gong dalam menulis?

Kalau di luar negeri, saya menyukai Mark Twain, Karl May, sama Hemingway ya, tiga itu. Kalau di Indonesia saya suka Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari.

Mas Gong sering mengatakan bahwa mnendirikan Rumah Dunia yang kini ada di Serang merupakan impian sejak lama. Boleh diceritakan?

Jadi gini, dalam Islam itu di setiap tubuh kita itu ada 2,5 persen, Allah minta 2,5 persen untuk orang lain. Nah jadi tahun 1981 saya waktu itu berkomitmen sama Allah. Saya belajar nulis ke Jakarta, ke Bandung, susah banget.

Saya bilang sama Allah, Ya Allah, sukseskan aku jadi penulis. Kalau aku sukses jadi penulis, akan aku mudahkan anak muda Banten terutama ya, atau Indonesia pada umumnya, akan aku mudahkan jika mereka tertarik belajar sastra, jurnalistik dan film.

Nah ketika saya dikasih sukses maka saya cari istri, kemudian Tias tertarik, lalu saya presentasi bahwa saya nanti akan melakukan yang saya sekarang lakukan. Istri saya, calon istri saya waktu itu dia orang Solo juga setuju, sama punya visi sama, kami menikah, lalu kami tinggal di Serang, langsung kami membangun Rumah Dunia.

Rumah Dunia mulai dibangun 1998 di teras rumah dan terus sampai 2011. Kini luasnya sudah mencapai 3.000 meter per segi. Jadi Rumah Dunia itu memindahkan dunia ke rumah lewat sastra, jurnalistik, dan film.

Apa yang didapatkan pengunjung yang datang ke Rumah Dunia?

Misalnya anak-anak, dia bisa bahasa Inggris. Lalu dia jenuh di Jakarta, kontak saja ke sini, bisa nggak ya jadi relawan? Oke, kita fasilitasi. Mengajar apa? Saya mengajar bahasa Inggris deh, ya udah.

Yang namanya relawan memang bayarannya dari Tuhan. Kita sediakan orang-orang yang tertarik, nanti kita umumkan. Tapi memang kompetensinya harus jelas, tentu kita harus bertanya juga kan? Misalnya, kalau mau bahasa Inggris ada sertifikatnya enggak? Dan sebagainya gitu. Jangan sampai nanti muridnya lebih pintar dari gurunya.

Dari mana saja pengunjung yang datang dan apa saja aktivitas mereka?

Saya kasih satu contoh aja ya. Suatu hari ada satu keluarga datang dengan mobil, pelatnya pelat Sumatera. Saya tanya, hari Minggu kalau nggak salah. Karena hari Minggu itu saya ngajar kelas menulis. Itu sekitar tahun 2004.

Lalu kita saling sapa dan dia mengatakan dari Palembang. Anaknya ingin belajar nulis. Dan dia cuti satu semester dari Universitas Sriwijaya. Lalu saya sarankan kost di lingkungan ini. Lalu dia kost, belajar langsung ke saya bersama teman-teman, bersama murid yang lain.

Jadi setiap 6 bulan, satu semester ya, itu selalu ada satu kelas angkatan baru, kelas menulis yang saya dan beberapa mentor lain mengajari jurnalistik, sastra dan film. Belum lagi dari Bandung, belum lagi dari Kalimantan.

Jadi terbukalah ini, ada yang cuma datang hari Sabtu sore, menginap, Minggu pelatihan nanti balik sore. Ada yang kaya gitu. Dari Bandung misalnya, ada yang ngekos, ada yang kemudian saya rekrut jadi relawan, tidur di sini.

Kami sekarang kekurangan relawan, cuma tinggal 3 orang dari 10. Idealnya 10 orang. Karena apa? Lulus, bekerja, ada Covid. Kami enggak sempat rekrut relawan baru.

Sentimen: positif (99.9%)