Sentimen
Tokoh Terkait
DPR: Penggugat Sistem Pemilu di MK Tak Paham Alur, Petitum yang Diajukan Absurd dan Kacau
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Anggota DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim menilai bahwa para penggugat konstitusionalitas sistem proporsional tertutup yang diatur di dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu gagal memahami alur pemilu.
“Petitum yang mereka ajukan terlihat irasional, absurd, dan kacau,” ujarnya, dalam keterangan resmi yang diterima Jumat 6 Januari 2023.
Luqman Hakim mengatakan apabila Petitum yang mereka ajukan dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK), akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang.
Para penggugat meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c) diubah menjadi “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut”.
Baca Juga: Bisa Melemahkan Demokrasi, Pakar Beberkan Kelemahan Pemilu Proporsional Terbuka
Sementara naskah asli UU berbunyi: “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak”.
Kemudian, para penggugat mengajukan agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Naskah asli huruf (d) Pasal 420 UU Pemilu ini berbunyi: “nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.”
Luqman Hakim menjelaskan Pasal 420 UU Pemilu mengatur tata cara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague,yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Baca Juga: Golkar Sebut PDIP Ambisius Suarakan Pemilu 2024 Digelar Proporsional Tertutup
Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh.
Oleh karena itu, tentu berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
“Bukan didasarkan pada nomor urut partai politik,” ujarnya.
Karena itu, menurut dia, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik.
Baca Juga: Minus PDIP, 8 Fraksi DPR RI Tolak Pemilu 2024 Gunakan Sistem Proporsional Tertutup
“Tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut,” ujarnya.
Menurut Luqman, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman cara membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
“Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau, ‘kan?” ucapnya.
Sebagai informasi, aturan sistem pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diuji secara materiel di MK.
Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (Pengurus Partai PDI-Perjuangan), Yuwono Pintadi (Anggota Partai NasDem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Namun NasDem mengirim surat ke MK supaya Yuwono Pitandi dikeluarkan dari daftar pemohon lantaran yang bersangkutan sudah tidak berhak menggunakan identitas Partai NasDem.
Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya, menegaskan Yuwono bukan lagi kader atau anggota partai lantaran ia tidak memperbarui KTA.
"Karenanya, perbuatan dan tindakan hukum atas nama Yuwono Pintadi tersebut tidak mewakili sikap Partai NasDem," ujarnya.
Adapun para pemohon berpandangan bahwa dengan berlakunya sistem proporsional terbuka, parpol dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis.
Mereka dinilai tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, ia seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri.
Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.***
Sentimen: negatif (86.5%)