Polemik Sistem Pemilu, Boni Hargens: Hanya Perdebatan Moral Politik
Jitunews.com Jenis Media: Nasional
Wacana ini muncul pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017
JAKARTA, JITUNEWS.COM- Perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup menimbulkan polemik dalam kancah politik nasional.
Wacana ini muncul pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai sistem pemilu proporsional terbuka maupun tertutup sebetulnya soal perdebatan apakah partai politik boleh diberi kepercayaan atau tidak untuk menentukan siapa yang duduk di Parlemen.
Paket Capres dan Cawapres Belum Kunjung Terbentuk, Aljabar Strategic: Masih Tarik-menarik Kepentingan
Dalam sistem tertutup seperti yang sudah diterapkan sebelum pemilu 2004. Boni mengatakan semua suara pemilu adalah suara partai. Di sini partailah yang menentukan siapa yang akan duduk di parlemen.
"Positifnya, partai dan kader di parlemen akan membangun relasi yang baik. Negatifnya, partai dan massa pendukung agak kurang harmonis jika kader yang ditunjuk tidak sesuai dengan kehendak massa pendukung," ujar Boni saat dihubungi Jitunews.com, Kamis (4/1/2023).
Sementara dalam sistem terbuka, semua persoalan di sistem tertutup dapat diatasi. Dengan adanya daftar urut calon legislatif (caleg) dan pemilih punya kebebasan menentukan siapa wakilnya.
"Partai hanya berkuasa membuat daftar nama. Selebihnya pemilih yang menentukan karena suara terbanyak akan duduk di parlemen," tuturnya.
Dalam konteks sistem pemilu yang saat ini sedang menjadi perdebatan, Boni melihat ada kerisauan kontekstual seperti yang dirasakan oleh PDI Perjuangan yaitu caleg yang financially dan powerful akan menang sedangkan caleg bermutu yang miskin akan kesulitan untuk menang.
"Maka dari itu, ada usulan kembali ke sistem proporsional tertutup. Selain suara pemilu akan menjadi milik partai, juga supaya kader terbaik yang dalam pandangan partai layak, juga bisa duduk di parlemen meskipun suaranya tidak banyak dalam pemilu," tambah Boni.
Terakhir, Analis politik dari Walden University ini kembali menegaskan bahwa perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup hanyalah perdebatan moral politik semata.
"Bukan hanya soal siapa bagaimana mendapatkan kursi tetapi bagaimana partai membangun demokrasi yang kuat dengan tetap menghargai aspirasi pemilih," tukasnya.
Berharap Pemilu 2024 Rileks, Ketua PBNU: Enggak Pakai Baper, Tak Pakai Halalkan Darahnya OrangSentimen: netral (65.3%)