Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Indonesia
Kasus: bullying
Tokoh Terkait
Cancel Culture Dapat Membunuh Orang Lain Secara Tidak Sadar
Liputan6.com Jenis Media: News
Liputan6.com, Jakarta - Media sosial diramaikan dengan istilah cancel culture pada beberapa pekan terakhir. Gerakan masif tersebut dilakukan terhadap sejumlah publik figur.
Seperti halnya meminta untuk melakukan unfollow akun media sosial hingga tidak mendengarkan lagu-lagu karya salah satu penyanyi yaitu Pamungkas. Hal tersebut dikarenakan adanya aksi tidak senonoh yang dilakukan oleh Pamungkas di atas panggung dan sempat viral.
Kemudian ada juga ajakan untuk tidak menonton film Like & Share di media sosial. Warganet beralasan dalam film tersebut salah satu pemainnya yaitu Arawinda Kirana dituding menjadi perusak rumah tangga orang.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyebut istilah cancel culture bukanlah hal yang baru di masyarakat. Cancel culture menurut Devie yaitu sebuah gerakan atau aktivitas untuk melakukan aksi pemboikotan.
"Kemudian seiring perkembangan waktu di era digital dikenal dengan istilah cancel culture," kata Devie kepada Liputan6.com.
Kata Devie, awalnya gerakan cancel culture atau pola pemboikotan dilakukan atas dasar untuk memperjuangkan kebenaran. Misalnya perilaku institusi yang sewenang-wenang atau adanya sebuah produk yang tidak memperhitungkan kesehatan. Kemudian juga gerakan untuk tidak menggunakan sebuah brand atau produk.
Kalau saat ini pemboikotan itu dilakukan dengan melakukan aksi unfollow media sosial milik tokoh publik hingga perusahaan yang dianggap bermasalah. Kendati begitu, Devie menilai aksi pemboikotan saat ini kadangkala berbasis praduga tanpa data.
"Sehingga menjadi cancel culture menjadi cancer culture. Karena pada akhirnya aksi pemboikotan cancel culture ini berubah menjadi kanker bisa membunuh orang yang menjadi korban atau institusi yang menjadi korban pemboikotan karena sering kali hanya berbasis praduga bukan berbasis kebenaran," papar dia.
Hal tersebut menurut Devie sangat berbahaya. Sebab orang yang belum dinyatakan bersalah dan terkena cancel culture dapat kehilangan mata pencaharian hingga nama baiknya yang hancur.
Lanjut Devie, seringkali aktivitas cancel culture di media sosial disertai dengan adanya kekerasan verbal atau bullying. "Sebetulnya cancel culture tidak harus dengan aksi kekerasan. Padahal misalnya unfollow itu bagian dari boikot kalau produk kita enggak mau lagi pakai produk tanpa harus harus mencaci maki. Kalau caci maki itu praktik yang mengerikan," jelas Devie.
Sentimen: negatif (57.1%)