Sentimen
Negatif (94%)
22 Des 2022 : 16.53
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Pasar Baru, Mojokerto, Manggarai, Mataram

Ketika PM Belanda 'Amnesia' Soal Perbudakan di Indonesia

Bisnis.com Bisnis.com Jenis Media: Nasional

22 Des 2022 : 16.53
Ketika PM Belanda 'Amnesia' Soal Perbudakan di Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA -- Permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte kepada korban perbudakan yang dilakukan oleh Negeri Kincir Angin pada masa lalu menyisakan sejumlah pertanyaan. 

Betapa tidak, Mark Rutte tidak secara spesifik menyebut Indonesia dalam permintaan maaf yang dia sampaikan di hadapan perwakilan organisasi yang mengadvokasi pengakuan konsekuensi perbudakan di Den Haag, Belanda. 

Dalam keterangannya, Rutte menyampaikan lebih dari 600.000 pria, wanita, dan anak-anak di Afrika diperbudak dan dikirim ke benua Amerika, seperti Suriname dan Curacao. Di Asia, dia menyebut ada sekitar 660.000 orang sampai 1 juta orang yang diperdagangkan. 

Namun, Rutte tidak menyinggung perihal jual beli budak di Batavia hingga sistem kerja paksa Cultuurstelsel yang diterapkan Belanda sejak periode 1830-an ketika negara tersebut mengutus Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. 

Rutte dalam pidatonya juga tidak menyinggung berapa orang bangsa pribumi yang meninggal akibat perbudakan. Berapa ribu orang yang harus tercerabut dari kampung halamannya dan harus hidup di pulau bahkan benua lainnya. 

JP Coen Simbol Perbudakan

Di banyak literatur, JP Coen sering dianggap sebagai simbol perbudakan Belanda. Saat isu rasial muncul pada tahun 2020 lalu, patung JP Coen di Belanda menjadi sasaran vandalisme para demonstran. Mereka menuntut perobohan patung tersebut.

Jan Pieterszoon Coen adalah perompak Belanda yang merebut Jayakarta pada tahun 1619. Dia mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Batavia kemudian secara de facto menjadi 'ibu kota' bagi para pendatang Belanda.

Jurnalis senior Alwi Shahab penulis buku 'Waktu Belanda Mabuk, Lahirlah Batavia' menulis bahwa usai menaklukkan Jayakarta, Coen ingin menamai reruntuhan Sunda Kelapa dengan nama De Horn.

Tetapi belum sempat dia menamakannya, tiba-tiba dalam sebuah pesta, seorang soldadoe VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata 'Batavia.. Batavia.'

"Akhirnya kota yang terletak di muara Kali Ciliwung dan sekitarnya itu dinamai Batavia."

Batavia, kata Alwi, merujuk kepada Bataviren Van Oranye, salah satu suku bangsa Jerman yang tinggal di Pulau Bataviren.

Di Batavia, perkumpulan dagang Hindia Timur atau Vereenigde Osstindische Compagnie  (VOC) mengendalikan perdagangan rempah dan budak sekaligus memperkuat pengaruh militernya selama beberapa abad.

Perbudakan di Batavia

Batavia pernah memiliki ingatan tentang perbudakan. Sejarawan MC Ricklefs mencatat bahwa sejak kehadiran Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC di Batavia telah menghadirkan pasar baru perbudakan di Nusantara. 

Budak-budak yang datang ke Batavia berasal dari berbagai macam daerah, terutama Bali. Ricklefs menyebutkan bahwa ekspor manusia itu telah memperkaya pesaing raja-raja Bali. Mereka menjual tahanan, debitur terutama tawanan perang mereka. Salah satu tawanan atau budak Bali yang kemudian melawan Belanda adalah Untung Surapati.

Ingatan tentang perbudakan di Asia Tenggara, terutama di Batavia bisa dilihat dari keberadaan Manggarai atau Jalan Sultan Agung. Jalan Sultan Agung, dulu bernama JP Coenweg atau Jalan JP Coen. JP Coen adalah sosok penakluk Jayakarta. Dia kemudian mengubahnya menjadi Batavia. 

Dulu kawasan JP Coenweg adalah pusat perbudakan di Batavia. Konon, keberadaan kampung Manggarai merupakan salah satu jejak atau saksi bisu perdagangan budak di Jakarta.

Pada era kemerdekaan JP Coenweg kemudian diubah menjadi Jalan Sultan Agung. Nama ini bertahan hingga sekarang. Penamaan Jalan Sultan Agung ini memiliki makna historis. Sultan Agung adalah raja Jawa, yang pernah dua kali menyerang Batavia. JP Coen adalah musuh bebuyutan Mataram yang tewas dalam serangan Sultan Agung.

Perbudakan Tanam Paksa 

Mengacu kepada aturan Sistem Tanam Paksa  tertera dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, penduduk tidak hanya wajib memberikan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti tebu, kopi dan nila, tapi juga turun tangan mengerjakan pekerjaan perkebunan. 

Menurut catatan sejarah, penerapan sistem kerja paksa Cultuurstelsel erat kaitannya dengan industri gula. Mengutip buku berjudul Pengantar Sejarah Kota karya Purnawan Basundoro, setidaknya berdiri pabrik-pabrik gula di belasan daerah di Pulau Jawa dalam kurun 5 tahun. 

Tercatat, pada periode 1835 - 1840 berdiri pabrik-pabrik gula di banyak daerah di Jawa Timur, meliputi Buduran, Waru, Karang Bong, Tanggulangin, Ketabang, Candi, Watu Tulis, Balong Bendo, Gedek, Singkalang, Krian, Ketagan, dan Sruni. 

Penulis sejarah G. Gonggrijp dalam karyanya yang berjudul Schetseener Economische Geschiedenis van Nederlandsch Indie, mencatat pertumbuhan produksi gula yang eksponensial selama sistem Cultuurstelsel diterapkan. 

Menurut tulisan Gonggrijp, produksi gula naik lebih dari 86 persen dari 100.000 pikul menjadi 752.000 pikul dalam kurun 8 tahun. Lebih tepatnya pada periode 1832 - 1840. 

Jumlah produksi gula di bawah sistem tersebut terus mengalami kenaikan hingga masa akhir penerapannya pada 1870. Gonggrijp mencatat produksi gula naik hampir 70 persen dari 752.000 pikul menjadi 2,44 juta pikul pada 1870.

Kenaikan jumlah produksi yang signifikan tersebut tidak lepas dari imbalan atau komisi yang diberikan oleh Pemerintah Belanda kepada perangkat birokrasi, mulai dari pegawai, kepala desa, hingga bupati. 

Hal tersebut dijelaskan oleh sejarawan kondang Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam karangan bersamanya yang berjudul Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. 

Dalam buku tersebut ditulis bahwa Cultuurstelsel memuat sistem komisi berupa cultuurprocenten (persenan tanaman) bagi para pegawai Belanda, kepala desa, serta para bupati yang dapat menunaikan tugas dengan baik. 

Cultuurprocenten merupakan penghasilan yang diperoleh ketika penjualan tanaman ekspor tersebut melampaui target produksi yang sudah ditentukan. 

Praktik tanam paksa secara perlahan mulai dihapus pada 1862. Kendati demikian, wajib kerja tetap diterapkan setelahnya, tapi dengan tujuan yang berbeda. 

Dalam bukunya yang berjudul Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial, Jan Breman menulis wajib kerja tetap diterapkan untuk pembangunan sarana dan prasarana seperti jalan dan saluran irigasi yang mengalami perluasan secara massif pada paruh kedua abad 19.

Bercermin kepada catatan sejarah di atas, rasanya agak aneh jika Perdana Menteri Belanda Mark Rutte tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada Bangsa Indonesia. 

Apalagi, bukti sejarah tanam paksa di Tanah Air pada abad 19 silam tidak hilang ditelan masa lalu. 

Salah satu pabrik gula yang dibangun pada era Cultuurstelsel, yakni PT PG Gempolkrep di Gedek, Mojokerto, masih beroperasi hingga saat sekarang. Belum lama ini, pabrik gula terbesar di Jawa Timur itu bekerja sama dengan Holding BUMN, Sugar Co. untuk memproduksi bioetanol.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Sentimen: negatif (94.1%)