Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pemilu 2019
Institusi: Universitas Brawijaya, Oxford, Oxford University
Kab/Kota: Surabaya, Malang
Sederet Tantangan Pemilu Serentak 2024
Beritajatim.com Jenis Media: Politik
Malang (beritajatim.com) – Dialog publik membedah tantangan penyelengaraan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 digelar Lembaga non-profit Studi dan Pengembangan Keberdayaan Rakyat (Spektra) Surabaya di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya, Kamis (17/2/2022).
Direkrut Spektra Surabaya, Roni Sya’roni mengatakan belajar pada pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) secara bersamaan di 2019 lalu. Ada beberapa catatan dan evaluasi yang harus dilakukan menyongsong Pemilu Serentak 2024. Seperti meninggalnya sejumlah petugas PPS dan KPPS harus diantisipasi agar tidak terulang.
“Pada Pemilu Serentak 2024 ini kita harus banyak belajar. Lalu Pemilu 2019 juga menyisakan polarisasi di masyarakat. Maka hari ini kita mencoba mengeksplor lebih jauh terkait hal itu,” kata Roni.
Komisioner KPU RI 2017-2024 Arif Budiman yang hadir dalam diskusi ini mengungkapkan bahwa ada pertambahan jumlah pemilih dalam Pemilu serentak 2024 mendatang. Dikatakan Arif ini merupakan tantangan yang akan dihadapi.
“Pada Pemilu 2024 diperkirakan ada 210 juta pemilih. Sedangkan Pemilu 2019 ada sebanyak 192 juta pemilih. Maka dari itu KPU ingin menyederhanakan surat suara. Contoh, surat suara Presiden dan Wakil Presiden dijadikan satu dengan DPR RI. Lalu DPD sendiri dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dijadikan satu. Jadi kami pun beberapa model surat suara,” ujar Arif.
Selain Komisioner KPU RI 2017-2024 Arif Budiman, Direkrut Spektra Surabaya Roni Sya’roni, dalam dialog publik ini juga menghadirkan narasumber dari Ketua PB NU Fahrur Rozi, mantan Wakil Wali Kota Surabaya periode 2005-2010 Arif Afandi, Staff Ahli Menteri Pertahanan Faisal Aminudin dan Mahasiswa Doktor Oxford University Abid Abdurrahman Adonis.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB, Sholih Mu’adi mengatakan bahwa tantangan demokrasi di Indonesia dihadapkan pada politik transaksional. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tidak melihat misi dan visi tetapi melihat seberapa besar yang diberikan calon pemimpin.
“Jadi contoh kasus orang-orang di desa itu malas pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) kalau tidak diberikan uang transport oleh para calon. Jadi di Indonesia visi-misi calon itu bukan hal yang penting. Politik sangat transaksional. Tidak melihat misi dan visi tetapi yang dilihat adalah seberapa besar yang diberikan yang ditanyakan adalah finansial,” tandas Sholih. [luc/suf]
Sentimen: positif (50%)