Sentimen
Positif (100%)
16 Des 2022 : 10.32
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Jember

Kasus: covid-19

Saya Bisa Masuk Penjara Kalau Bayar

Beritajatim.com Beritajatim.com Jenis Media: Politik

16 Des 2022 : 10.32
Saya Bisa Masuk Penjara Kalau Bayar

Jember (beritajatim.com) – Bupati Hendy Siswanto kembali menegaskan sikapnya untuk mengedepankan jalur hukum dalam menyelesaikan polemik tunggakan proyek wastafel sebesar Rp 31 miliar pada era Bupati Jember Faida.

Hendy sudah bertemu dengan perwakilan rekanan proyek wastafel di Pendapa Wahyawibawagraha, Sabtu (19/2/2022) kemarin. Pertemuan itu juga dihadiri anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dari DPRD Jember, kepolisian resor, Komando Distrik Militer 0824, dan Kejaksaan Negeri Jember.

Rekanan merasa sudah menyelesaikan kewajiban sesuai kontrak proyek yang dianggarkan dalam APBD 2020 itu. .”Intinya mereka ingin pokoknya bupati harus membayar tunggakan, bupati dianggap tidak membantu rakyat,” kata Hendy kepada beritajatim.com, Minggu (20/2/2022) malam.

Padahal, Hendy merasa tidak pernah berjanji membayar tunggakan itu, terutama karena ada permasalahan yang ditemukan dalam proyek itu saat diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Saya untuk membayar harus ada perintah tertulis dari BPK. Kalau ada rekomendasi BPK untuk membayar, akan langsung kami bayar,” katanya.

Hendy pun memberikan solusi kepada rekanan untuk menempuh jalur hukum. “Agar lekas dibayar, silakan laporkan saya kepada aparat penegak hukum. Bupati dilaporkan, Pemkab Jember dilaporkan karena utang belum dibayar. Digugat,” katanya.

Begitu pengadilan memutuskan rekanan menang dan utang harus dibayar, Hendy akan segera membayarnya. “Kemarin saya sampaikan bahwa BPK telah melakukan proses investigasi. Itu satu bulan lalu sudah selesai, tapi sampai sekarang belum ada kabar tindak lanjut berikutnya. Jadi posisinya masih menunggu hasil investigasi. Sampai sekarang belum dapat,” katanya.

“Ketiga, saya sampaikan pakai proses hukum lagi. Kalau tidak mau pakai aparat penegak hukum, sulit jadinya. Saya sarankan agar satu perusahaan (rekanan wastafel) yang paling bagus melaporkan dulu. Dicoba,” kata Hendy.

Hendy bahkan siap mengantarkan para rekanan ke kantor BPK Perwakilan Jatim jika ingin mengklarifikasi persoalan tersebut. “Saya akan antar. Ini bagian dari kepedulian terhadap masyarakat Jember,” katanya.

Sebenarnya bupati dan kontraktor memiliki kepentingan yang sama. “Uang Rp 107 miliar, termasuk Rp 31 miliar, menjadi ganjalan kami. Karena uang Rp 107 miliar itu dianggap oleh BPK belum terbayar, menjadi uang persediaan, menjadi Silpa (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran). Padahal uang sudah dibayarkan pada 2020. Ini kalau belum selesai persoalannya akan mengganggu (hasil audit) kinerja saya pada 2021. Kami sangat punya kepentingan karena terkait kepercayaan para investor, bagaimana birokrasi ini sudah benar atau tidak,” kata Hendy.

“Namun teman-teman rekanan bersikukuh bahwa saya tinggal bayar saja. Saya bilang: anda dulu mengangkat saya dan dipilih masyarakat kan untuk memperbaiki Jember. Tapi sekarang saya disuruh melanggar hukum. Kalau saya bayarkan tanpa ada perintah dari BPK atau aparat penegak hukum, maka bupati melanggar hukum. Kami akan kena masalah. Bisa-bisa kami masuk penjara. Apa itu yang anda harapkan?” kata Hendy.

“Kenapa kok saya yang dikejar-kejar? Seharusnya yang dikejar-kejar bupati yang lama. Saya kan cuma bersih-bersih saja. Kalau didesak, saya tidak mau. Tidak mungkin saya melanggar hukum karena menolong anda (rekanan),” kata Hendy.

“Kalau memang ini hak anda (rekanan), laporkan saja. Kami akan memenuhi hak anda. Kenapa anda tidak mau melaporkan kalau itu memang hak anda? Ada apa dengan teman-teman kontraktor ini? Ini negara hukum,” kata Hendy.

Hendy juga meminta kepada para kontraktor tidak berunjuk rasa karena angka kasus Covid kembali naik. “Kalau menular kan bahaya. Kalau memang mau demo silakan sedikit saja. Tapi meski anda demo, sulit bagi saya untuk menyelesaikan ini. Yang bisa menyuruh saya membayar (tunggakan proyek wastafel) adalah perintah dari BPK atau aparat penegak hukum,” katanya.

Sebenarnya dalam APBD 2021 pernah ada usulan alokasi anggaran Rp 28 miliar untuk membayar utang tersebut. Namun DPRD Jember menolak dan menghilangkannya. Hal ini dikarenakan anggaran proyek wastafel yang merupakan bagian dari anggaran penanganan Covid pada APBD 2020 menggunakan peraturan kepala daerah yang tidak diketahui DPRD Jember. Penganggaran itu tidak melalui persetujuan DPRD Jember dalam peraturan daerah.

“Ini mau membayar apa? Siapa yang menagih? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kecuali ada perintah membayar BPK, dasar itu akan saya ajukan ke DPRD Jember,” kata Hendy. [wir/kun]

Sentimen: positif (100%)