Sentimen
Positif (100%)
15 Des 2022 : 11.15
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Kasus: HAM

Tokoh Terkait

KUHP Baru dan Masa Depan Keadilan Restoratif

15 Des 2022 : 18.15 Views 2

Detik.com Detik.com Jenis Media: Metropolitan

KUHP Baru dan Masa Depan Keadilan Restoratif
Jakarta -

Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux. Hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwa keadilan adalah nilai ideal yang dicitakan dari suatu kaidah hukum, namun keadilan tersebut cenderung bersifat sangat subjektif sebab dari adagium ini juga mengisyaratkan bahwa keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi pula.

Dalam pandangan pidana konvensional, penghukuman atau pemberian nestapa kepada setiap orang yang melanggar hukum adalah salah satu bentuk keberhasilan penegakan hukum dengan harapan untuk memberikan efek jera, namun apakah dalam sifat pemidanaan yang retributif tersebut akan memberikan keadilan? Oleh karena itu, perbedaan mendasar antara retributif dan restoratif adalah tujuannya; dalam restoratif lebih menitikberatkan pada pemulihan dan bukan pada penghukuman.

Penyelesaian pidana dengan menitikberatkan pada penghukuman juga mengakibatkan timbulnya masalah yang tidak dapat dihindari yaitu overcapacity di lembaga permasyarakatan seperti data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham bahwa beban rumah tahanan dan lembaga permasyarakatan untuk menampung narapidana di Indonesia terus naik hingga mencapai 109% per September 2022.

-

-

Pendekatan restoratif menjadi kunci yang diharapkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul sebagai dampak dari pendekatan retributif. Pendekatan restoratif pada asasnya berfungsi untuk mengoptimalkan para pihak yang terkait dan terdampak atas pelanggaran atau kejahatan yang terjadi untuk diberdayakan. Pemberdayaan ini sendiri diharapkan dapat menyelesaikan konflik dan mengembalikan keadaan yang terjadi pascakonflik ke keadaan semula.

Perlu diingat kembali bahwa dalam pemberdayaan ini para pihak harus mau untuk menundukkan diri dalam penyelesaian konflik dalam artian adanya kerelaan untuk mencapai kebutuhan akan keadilan dari kedua belah pihak. Restorative justice sebagai paradigma menurut Paul McCold dan Ted Wachtel adalah "Peradilan pidana fokus untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada seseorang atau hubungan antara sesama manusia dibandingkan dengan pemberian hukuman kepada pelaku."

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Hatta Ali menekankan bahwa paradigma restorative justice menggeser prinsip peradilan pidana yang selama ini ada, salah satunya adalah kejahatan atau pelanggaran hukum berpindah dari pelanggaran kepentingan publik menjadi pelanggaran kepentingan korban yang pada dasarnya merupakan bagian utama dari kepentingan publik.

Tantangan Masa Depan

Apabila nantinya konsep dari keadilan restoratif diadopsi secara penuh dan menyeluruh maka tentunya nanti akan muncul tantangan dalam transisi dari sistem pemidanaan konvensional. Setidaknya secara teori dapat dibedah dengan teori penegakan hukum Lawrence M. Friedman yang terdiri dari substance yaitu aspek pengaturan, structure yaitu aparatur penegak hukum, dan culture yaitu perilaku dari masyarakat.

Pertama, sekilas terkait dengan unsur yang telah dijelaskan tadi menyangkut substance salah satu hal yang menjadi spotlight adalah KUHP baru yang disahkan oleh DPR pada 6 Desember 2022 di mana dalam konsiderannya saat ini mengacu pada filosofi Pancasila, HAM, moral religius, keseimbangan antara kepentingan negara, individu, juga perlindungan terhadap korban.

Hal penting lainnya, kejelasan dari tujuan pembentuk undang-undang mempunyai kedudukan yang vital selain dari proses peradilan yang tertib. Hal ini pula yang mendasari hadirnya tujuan yang eksplisit dalam KUHP baru, sebab dalam KUHP baru diawali dengan penegasan tujuan dari pidana itu sendiri yaitu konsep restoratif yang memperbaiki suatu keadaan seperti semula seperti yang tercantum dalam Pasal 51 huruf c. Hal ini tentunya juga bertujuan agar tidak terulang kembali penyelesaian pidana yang tidak berfokus pada pemulihan hak korban tindak pidana.

Kedua, berkaitan dengan structure yang mengulas aparatur penegak hukum khususnya dalam sinergi dan keyakinan penegakan hukum. Untuk keyakinan penegakan hukum terutama dalam lingkup peradilan, bagi hakim dibebani tanggung jawab untuk menggali, mengikuti, memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat seperti yang dituangkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Peran hakim di sini sangat penting karena hakim bukanlah la bouche de la loi yang menjadi corong dari undang-undang semata. Senada dengan hal itu, M. Yahya Harahap berpendapat bahwa ketentuan dalam undang-undang dapat disimpangi demi tegaknya kebenaran dan keadilan, hakim dengan kewenangannya dibebankan tanggung jawab yang lebih besar dalam KUHP baru yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) di mana apabila terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim mengutamakan keadilan.

Hal tersebut perlu dilegitimasi dengan adanya KUHP yang benar-benar mengakomodir semangat restoratif yang terdapat dalam bagian gugurnya kewenangan penuntutan di Pasal 132 Ayat (1) g di mana dalam suatu tindak pidana tidak dapat dituntun apabila telah ada penyelesaian di luar proses peradilan, sebab dengan civil law system yang dianut menjadi landasan utama dalam proses penegakan hukum.

Kemudian sinergi antar penegak hukum dalam sistem peradilan pidana juga harus kembali didudukkan bersama sebab dalam prosesnya dari segi hulu sampai ke hilir proses pemidanaan pasti akan berkaitan dengan hak asasi dari tersangka, korban, ataupun pihak lain. Lembaga subsistem peradilan pidana setidaknya harus mempunyai satu aturan yang terintegrasi dan dapat dilaksanakan dimana nilai-nilai restoratif yang ada dalam payung regulasi pemidanaan.

Terkait dengan pelaksanaan restorative justice, MA sudah pernah mengeluarkan panduan melalui SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum, namun hanya berlaku untuk perkara tertentu yaitu tindak pidana ringan, tindak pidana anak, perkara perempuan berhadapan dengan hukum, dan perkara narkotika. Dalam praktiknya juga sangat dibutuhkan sarana yang memadai untuk mengakomodasi tujuan dari keadilan restoratif, seperti peningkatan kompetensi penegak hukum, pelatihan, operasional, dan asesmen.

Ketiga, berkaitan dengan culture, paradigma masyarakat umum terkait dengan kesengsaraan bagi terpidana atau terdakwa patut dihukum seberat-beratnya yang dihakimi oleh warganet terhadap informasi yang beredar di sosial media bahkan mendahului vonis hakim. Hal ini setidaknya sedikit merefleksikan bagaimana pandangan masyarakat terhadap adil atau tidaknya penegakan hukum berkaitan dengan pedoman pemidanaan positif saat ini.

Barda Nawawi menyatakan secara kuantitas terdapat 98% ancaman pidana penjara secara tunggal dan alternatif. Sistem pidana konvensional ini juga membuat penegak hukum menjadikan penjara sebagai muara dari pemidanaan. Kesadaran dari masyarakat ini juga memegang peranan yang cukup penting dalam penggeseran paradigma pidana konvensional.

Hukum yang Adil

Hukum dan keadilan tidaklah sama. Hukum bersifat umum dan objektif, sedangkan keadilan bersifat individual dan condong subjektif. Akan sulit untuk memberikan kepuasan bagi semua pihak. Oleh karena itu, apabila ketiga unsur tadi dapat berjalan beriringan, maka cita keadilan restoratif di Indonesia tidak hanya menjadi klise. Singkatnya, dalam masa transisi ini, saat suatu kitab pemidanaan telah berlaku, maka negara dalam hal ini lembaga subsistem peradilan pidana dapat memulai untuk menjalin sinergi, sosialisasi, reformasi birokrasi, pengawasan, dan penyempurnaan sistem dapat dilakukan secara kolektif untuk meningkatkan kepercayaan publik.

Dengan meningkatnya kepercayaan publik, maka juga berimplikasi pada meningkatnya kesadaran hukum masyarakat sehingga paradigma akan keadilan restoratif ini dapat hidup dan menjadi kontrol sosial yang baik. Jika aparat penegak hukum tidak siap dalam mengimplementasikan nilai keadilan restoratif ini, maka potensi negatif penyelewengan terbuka dengan lebar. Seperti penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan oleh oknum yang mengangkangi kaidah pemidanaan.

Jika kepentingan dan hak korban yang sejatinya dilindungi dan pengembalian keadaan seperti semula tidak dapat terlaksana, maka konsep keadilan restoratif hanya akan menjadi lubang destruktif. Memang dalam nilai keadilan ini akan sulit untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Bernd Ruthers (2005) menyatakan, hukum yang ditujukan untuk mencapai keadilan itu pada akhirnya adalah hasil perumusan manusia, jadi bisa saja salah sehingga tak mungkin kita mengharapkan keadilan sempurna di dunia ini. Barang siapa bersikeras menghendaki keadilan yang sempurna, dia harus mencarinya di alam yang lain.

Alfariz Maulana Reza, S.H, M.H Analis Perkara Peradilan Mahkamah Agung, alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (100%)