Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PLN
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Usulan Power Wheeling dalam RUU EBET Ditolak, Ini Alasannya
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Gatra.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masih terganjal pasal yang belum disepakati. Salah satunya adalah mengenai power wheeling. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, misalnya, mengatakan bahwa pasal ini bermasalah sebab berpotensi merugikan masyarakat.
"Saya dan PKS melihat ini adalah sebuah privatisasi transmisi. Ini bertentangan dengan ruh konstitusi bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dalam hal ini, pengusahaannya diserahkan ke PLN," terangnya dalam diskusi bertajuk Mengawal RUU EBT Konstitusional dan Pro Rakyat, Rabu (14/12).
Mulyanto menerangkan bahwa power wheeling merupakan mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Mekanisme ini memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Menurut Mulyanto, itulah yang disebut privatisasi jaringan transmisi listrik PLN. Padahal, jaringan transmisi yang dimiliki PLN digunakan untuk mengalirkan listrik kepada pelanggan. Dengan masuknya swasta, bisa terjadi persaingan harga yang berdampak kenaikan harga di kalangan masyarakat.
Senada, akademisi Fahmy Radhi mengatakan bahwa mekanisme power wheeling ini merupakan praktik liberisasi pelistrikan yang melanggar undang-undang. "Tidak boleh liberisasi untuk produk publik yang penting seperti listrik," katanya.
Fahmy bahkan mencurigai usulan itu merupakan titipan demi kepentingan oligarki. Sebab, dalam usulan yang diserahkan oleh DPR pada Sidang Paripurna DPR RI ke-25 pada Selasa (14/6) lalu, poin mengenai power wheeling tak disertakan. Namun, usulan mengenai adanya power wheeling terus digaungkan oleh pemerintah.
Penolakan Harus KonsistenPengamat energi Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara turut menyatakan bahwa penolakan terhadap usulan power wheeling harus konsisten dilakukan. Ia menegaskan jangan sampai usulan ini disertakan di dalam RUU EBET. "Kita perlu mewaspadai, jangan dipaksakan. Ujungnya akan ada tiga korban, yaitu APBN akan meningkatkan subsidi, termasuk kompensasi; BUMN-nya atau PLN; ketiga rakyat, pasti bayar lebih mahal," jelasnya.
Marwan memandang skema power wheeling membawa kerugian karena akan terjadi peningkatan subsidi listrik di APBN. Sebab, PLN wajib membeli listrik yang diproduksi swasta dengan biaya pokok penyediaan (BPP) yang diperhitungkan. Ini bisa memunculkan harga yang lebih mahal dan berujung pada kenaikan tarif.
Lain itu, Marwan juga mengatakan jika jaringan PLN digunakan, pembayaran tarif akan lebih mahal. Sebab PLN turut menanggung yang digunakan oleh swasta. Meskipun ada skema biaya sewa yang dibayarkan, belum tentu hal itu bisa mengatasi persoalan teknis yang muncul dan turut memakan biaya.
Dilema Antar-Pemerintah
Kendati begitu, dalam perumusan RUU EBET, antar-pemerintah sendiri belum seluruhnya sepakat dengan usulan tersebut. Kementerian Keuangan menilai bahwa implementasi power wheeling tidak sejalan dengan kondisi PLN yang saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik atau oversupply.
Dalam Raker Komisi VII DPR RI dengan pemerintah dan Komite II DPD RI pada Selasa (29/11) lalu tentang Pengantar Musyawarah RUU EBET, Presiden Jokowi belum juga mengirimkan dokumen Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) resmi RUU EBET yang diperlukan dalam pembahasan. Meskipun awalnya direncanakan selesai sebelum gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 15-16 November lalu, RUU EBET sampai saat ini belum juga disahkan.
16
Sentimen: positif (99.9%)