Sentimen
Positif (100%)
13 Des 2022 : 23.49
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Yogyakarta

Kasus: covid-19

Supply Chain Sustainability dan Transformasinya Pasca Covid-19

14 Des 2022 : 06.49 Views 2

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Supply Chain Sustainability dan Transformasinya Pasca Covid-19

Novian Chrisnando, Mahasiswa Magister Manajemen UPN Veteran Yogyakarta

Akhir-akhir ini, banyak perusahaan besar telah menerapkan inisiatif pembangunan berkelanjutan. Tuntutan dari regulator, konsumen, karyawan, dan pemegang saham telah memaksa sebagian besar perusahaan untuk menerapkan dan meningkatkan inisiatif keberlanjutan dalam sistem rantai pasokan mereka. Bagian penting dari tanggung jawab sosial perusahaan adalah rantai pasokan yang berkelanjutan atau sustainable supply chain (SSC). SSC memastikan bahwa perusahaan memenuhi persyaratan dan harapan sosial, ekologi dan ekonomi. SSC berbicara tentang cakupan yang lebih besar dan luas dari pasokan, inventaris, dan biaya, yang biasanya menjadi fokus bisnis.

Apa itu Rantai Pasok Berkelanjutan (Supply Chain Sustainability)?

Rantai pasokan atau Supply Chain (SC) adalah serangkaian perusahaan yang saling bergantung yang bekerja sama untuk mengendalikan, mengelola, dan meningkatkan arus barang, dana, informasi dari pemasok hulu ke pengguna akhir. Peran SC pada dasarnya adalah untuk menambah nilai produk dengan memindahkan atau mengubahnya dari satu tempat ke tempat lain. Nilai tambah dapat ditransfer ke aspek kualitas, biaya, pengiriman, fleksibilitas pengiriman dan inovasi.

Terdapat beberapa pandangan berbeda tentang keberlanjutan. Dua dari pandangan paling populer adalah “Triple Bottom Line" John Elkington yaitu “profit-people-earth” dan filosofi multigenerasi Brundtland yaitu pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Rantai pasokan yang berkelanjutan memiliki tiga dimensi yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.

Sustainable Supply Chain Management (SSCM) adalah tentang penggunaan input ramah lingkungan untuk mengelola semua proses dan mengubah input tersebut melalui teknologi yang dapat meningkatkan variasi produk yang didaur ulang di lingkungan. Penerapan kerangka SSCM bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja rantai pasokan.

Investor, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya memperluas peningkatan evaluasi kinerja dengan memasukkan aspek keberlanjutan dari kinerja lingkungan, sosial, dan kondisi finansial organisasi.

Lalu apa yang akan terjadi pada supply chain sustanaibility  pasca Covid-19 ? Gangguan pada rantai pasokan industri menimbulkan dampak finansial. Upaya pencegahan penyebaran virus dilakukan dengan menutup tempat usaha, menjaga jarak sosial, membatasi kegiatan berkumpul dan mobilitas.

Rantai pasokan global mengalami kesulitan memasok barang yang karena kurangnya fleksibilitas operasional. Kita ingat pernah terjadi kelangkaan beberapa barang medis dan sejumlah komoditas bahan pangan.

Teknologi produksi cenderung berkembang ke arah otomatisasi dan sistem pertukaran informasi. Pabrik-pabrik mulai menggunakan teknologi Industri 4.0 berupa Cyber-Physical Systems (CPS), Internet of Things (IoT), layanan cloud, dan komputasi kognitif. Teknologi ini membantu dalam pengambilan keputusan yang terdesentralisasi berbasis data untuk menanggapi krisis. Sistem berdasarkan big data membantu perusahaan bereaksi cepat terhadap krisis, terutama krisis lingkungan dan sosial.

Lokalisasi produksi terjadi selama masa pandemi. Kebutuhan lokal direspons secara cepat dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Teknologi sistem manufaktur yang fleksibel dapat melokalisasi kapasitas produksi.

Sebagai contoh di Italia Utara, sebuah rumah sakit membutuhkan katup ventilator yang tidak dapat dipasok oleh rantai pasok lokal. Kebutuhan ini direspons oleh perusahaan rintisan lokal Issinova dengan membawa printer tiga dimensi (3D) ke rumah sakit, mendesain ulang katup dan mencetaknya satu hari. Kemampuan produksi lokal mendukung SSC dengan hanya memproduksi apa yang dibutuhkan. Rantai pasok yang pendek mengurangi pemborosan, biaya pengiriman, dan carrying cost. Perilaku konsumen yang semakin gemar berbelanja online juga berkontribusi dalam memperpendek rantai pasok.

Masyarakat Terpencil

Lokalisasi produksi juga penting bagi masyarakat terpencil. Contohnya ketergantungan kawasan Kepulauan Pasifik pada rantai pasokan pangan global. Merespons gangguan pandemi Covid-19, penduduk negara tersebut mengembangkan pasar makanan lokal, berbagi aktivitas, dan barter barang. Aktivitas ini berdampak pada berkurangnya limbah makanan dan emisi.

Perusahaan manufaktur tidak lagi memerlukan kunjungan fisik ke pemasok karena sudah terbantu dengan teknologi komunikasi. Namun di sisi lain, dampak negatif terhadap lingkungan  malahan muncul. Peneliti Inggris menemukan bahwa dampak lingkungan dari bekerja dari rumah pada musim dingin lebih besar daripada di gedung perkantoran terpusat karena mesin pemanas di rumah masing-masing karyawan terus dinyalakan (Turit, 2020).

Dari segi perilaku belanja konsumen, muncul persepsi negatif terhadap penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle) yang menyiratkan bahwa suatu bahan atau barang telah digunakan sebelumnya. Setelah Covid-19, sebagian masyarakat  menganggap barang dan bahan daur ulang telah tercemar dan berbahaya.

Bahkan sebelum krisis, orang enggan mendaur ulang produk karena persepsi kualitas yang buruk. Persepsi tersebut semakin bertambah buruk karena bahan daur ulang dinilai kurang higienis.

Dengan demikian, pandemi Covid 19 membuat sistem rantai pasok berkelanjutan menemukan format barunya sebagai sebuah bentuk “survival”. Transformasi ini merupakan kabar yang menggembirakan bagi supply chain. Namun dampak negatif yang tidak terduga sebagaimana dijelaskan di atas juga terjadi dan masih perlu banyak dilakukan penelitian. (***)

PROMOTED:  Kisah Dua Brand Kecantikan Lokal Raup Untung dari Tokopedia: Duvaderm dan Guele

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sentimen: positif (100%)