Sentimen
Negatif (66%)
13 Des 2022 : 19.33

LaNyalla nilai persoalan di daerah adalah ketidakadilan dan kemiskinan struktural

14 Des 2022 : 02.33 Views 2

Elshinta.com Elshinta.com Jenis Media: Politik

LaNyalla nilai persoalan di daerah adalah ketidakadilan dan kemiskinan struktural

Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.

Elshinta.com - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, persoalan yang dialami masyarakat di daerah-daerah hampir sama. Persoalan itu adalah ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan.

Bahkan, LaNyalla sudah mendatangi lebih dari 300 kabupaten/kota di Indonesia. "Sudah sering saya katakan. Penyebab persoalan tersebut ada di hulu. Ada di koridor fundamental. Yaitu Konstitusi kita yang telah meninggalkan konsep yang didisain para pendiri bangsa. Yang telah meninggalkan Pancasila," kata LaNyalla, Selasa (13/12).

Menurut dia, ada dua sistem ekonomi yang bisa dipilih. "Mau memperkaya segelintir orang. Atau memperkaya negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat," ujar dia.

Senator asal Jawa Timur ini juga menyampaikan, sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah sistem terbaik untuk Indonesia. Karena demokrasi yang berkecukupan. Lengkap. Semua elemen ada di Lembaga Tertinggi. Ada wakil parpol, ada wakil daerah, ada wakil golongan. 

"Para pendiri bangsa sudah mengingatkan. Sistem demokrasi liberal ala barat, tidak cocok untuk Indonesia. Apalagi menjabarkan ideologi individualisme dan liberalisme. Karena hanya akan memberi karpet merah bagi neoliberalisme yang berwatak kapitalis predatorik," jelasnya.

"Karena membiarkan hal itu, artinya kita memberi ruang bagi neo kolonialisme dalam bentuk baru. Itu artinya kita telah membegal tujuan dari lahirnya bangsa dan negara ini. Seperti tertuang dalam naskah Pembukaan Konstitusi kita," sambungnya.

LaNyalla mengungkapkan, dirinya telah membuat sebuah kesimpulan bahwa bangsa ini harus kembali ke Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian disempurnakan bersama kelemahannya. Dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95 persen isinya, dan menjadi Konstitusi baru. 

"Karena itu, saya memperjuangkan (dengan cara saya) untuk Indonesia dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Tidak menjadi bangsa yang salah arah.
Karena itu, saya berkampanye untuk kita luruskan kembali cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini," tegasnya.

Tetapi di tengah upaya yang ditempuh, lanjut LaNyalla, tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduhnya sedang membegal konstitusi. 

"Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita. Dari sebelumnya menjabarkan Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing?," ujar pengusaha asal Jawa Timur itu.

LaNyalla lantas bertanya-tanya,siapa sebenarnya yang melakukan pembubaran terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945 dan siapa sebenarnya yang melakukan kudeta terselubung terhadap NKRI? 

"Siapa sebenarnya yang menghilangkan Sila Keempat dari Pancasila? Siapa sebenarnya yang meninggalkan mazhab kesejahteraan sosial, sehingga Oligarki Ekonomi semakin membesar? Dan siapa sebenarnya yang berkontribusi merusak kohesi bangsa ini akibat Pilpres Langsung?," tanya dia.

Ia pun mempersilakan kalangan intelektual membaca beberapa buku yang telah terbit dan beredar. Salah satunya buku karya Valina Singka Subekti. Judulnya “Menyusun Konstitusi Transisi : Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945”. 

"Setahu saya, intelektual adalah orang yang mampu melihat keganjilan-keganjilan yang tidak pada tempatnya. Untuk kemudian menawarkan solusi dengan tujuan meluruskan keganjilan-keganjilan tersebut. Sehingga seorang intelektual tidak hanya berhenti melihat keganjilan saja. Karena kalau hanya melihat saja, kita akan terjebak dalam menara gading," terangnya.

LaNyalla menyampaikan, jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia yang kaya raya akan Sumber Daya Alam tetapi rakyatnya miskin, maka kita bukan intelektual. Begitu pula jika tidak merasakan keganjilan bahwa Sumber Daya Alam di Indonesia hanya dinikmati segelintir orang dan orang Asing, lalu pembangunan ternyata tidak mengentas kemiskinan, tetapi hanya menggusur orang miskin dan bahwa yang terjadi saat ini bukan membangun Indonesia, tetapi hanya pembangunan yang ada di Indonesia, maka kita bukan intelektual. 

Selain itu, jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa platform E-commerce hanya dipenuhi produk impor, sementara anak negeri hanya menjadi penjual, maka kita bukan intelektual. Begitu pula jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia perlahan tapi pasti menjadi negara yang menjabarkan nilai-nilai individualisme dan liberalisme, sehingga ekonominya menjadi kapitalistik, maka kita bukan intelektual. 

"Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi sudah kita tinggalkan sejak Amandemen tahun 1999 hingga 2002, karena kita telah mengganti 95 persen lebih isi dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli, maka kita bukan intelektual," ungkapnya.

Lalu ada pertanyaan apakah semua paradoksal tersebut karena kesalahan Presiden Jokowi? "Tentu bukan. Karena siapapun presidennya, harus taat dan bersumpah menjalankan Konstitusi dan Peraturan perundangan yang berlaku," ujarnya.

"Karena memang faktanya Konstitusi kita telah berubah. Dan perubahan itu makin deras diikuti dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang tidak bermuara kepada cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini," tambahnya.

"Jadi, sudahlah, jika Anda masih ingin mengikuti Pilpressung tahun 2024 ala demokrasi liberal silakan. Pekerjaan mengembalikan negara Indonesia untuk berdaulat, mandiri, adil dan makmur memang berat. Biar saya saja bersama teman-teman yang mau"

Sentimen: negatif (66.5%)