Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: pembunuhan
Tokoh Terkait
Brigadir Yosua Hutabarat
Hakim Tak Boleh Berkata Kasar
Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional
GURU Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita mengkritisi Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Hakim Wahyu Imam Santoso dilaporkan dugaan pelanggaran kode etik oleh terdakwa Kuat Maruf ke Komisi Yudisial (KY). Pasalnya, Wahyu telah menyebut Kuat Maruf buta, tuli dan bohong saat memberikan kesaksian untuk terdakwa Richard Elizier alias Bharada E.
Menurur Romli, hakim tidak boleh berpihak untuk mengambil kesimpulan sebelum sidang rampung. Kemudian, tidak boleh bertanya menyimpulkan apalagi menuding bohong kepada saksi dalam persidangan.
“Bilang bisu, tuli itu enggak boleh. Bahasa-bahasa itu bahasa kode etik hakim. Ada pedoman perilaku hakim. Hakim itu harus sopan santun tidak boleh melanggar privaci seseorang terdakwa atau saksi," ujar Romli.
Hakim, sambung Romli, seyogianya harus menjaga lisannya dan hati-hati meskipun kesal dengan keterangan saksi maupun terdakwa. Namun, kata dia, hakim harus bisa menahan diri jangan sampai menimbulkan kesan tidak suka dengan saksi atau terdakwa.
“Kita paham orang kan kesal ada batasnya ya kan. Tapi nahan diri lah. Jangan terkesan oleh semua yang dengar, melihat, hakim ini enggak suka. Dia harus objektif, mengatur strategi bagaimana seseorang ditanya dia terus terang. Itu kelihaian hakim di sana membuat seseorang yang ditanya mau berterus terang. Tapi tidak dengan kata-kata kasar,” tandasnya.
Menurut dia, hakim harus memahami bahwa tidak semua saksi yang diperiksa dalam persidangan itu memiliki pengetahuan atau pendidikan yang sama. Sehingga, saksi yang berpendidikan rendah tidak akan paham mendengar pertanyaan-pertanyaan orang pintar atau berpendidikan tinggi.
“Makanya Kuat atau siapa, pak jaksa tanya jangan cepet-cepet saya tidak tangkap, saya tidak paham, bagus itu terus terang. Dia enggak ngerti apalagi masalah hukum, itu harus disadari oleh semua pihak,” jelas dia.
Jika hakim melanggar kode etik, jelasnya, bisa dijatuhi sanksi setelah Komisi Yudisial berembuk dengan Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti laporan Kuat Maruf.
“Hukuman administratif, bisa saja ditelusuri oleh KY. KY berembuk dengan Mahkamah Agung dan terbukti makanya sanksinya administratif. Akhirnya dia bisa dicopot jadi hakim. Masa sudah melanggar kode etik harus tetap pimpin sampai selesai, kan engga bisa. Harus ada sanksi,” pungkasnya.
Adapun juru bicara KY Miko Ginting menyebut pelaporan tersebut dibuat dengan diwakili oleh tim kuasa hukum Kuat Ma'ruf. Ia menambahkan saat ini KY masih akan melakukan proses verifikasi terhadap laporan tersebut. "Nanti apakah memenuhi syarat sehingga bisa ditindaklanjuti atau tidak," kata Miko.
Sentimen: negatif (94.1%)