Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Karet
Kasus: HAM, korupsi
Meski Ditolak, DPR Ngotot Sahkan RKUHP Hari Ini
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- RKUHP dianggap masih sarat masalah. Pasal-pasal krusial masih bertebaran.
Hari ini, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diparipurnakan di DPR untuk disahkan. Draf atas RKUHP versi 30 November dinilai cukup bermasalah. Sejumlah pasal mengancam kebebasan demokrasi.
Salah satunya yang banyak menjadi sorotan masyarakat adalah soal penyerangan harkat dan martabat presiden atau dikenal sebagai pasal penghinaan presiden. Ketentuan hukum yang diatur di dalam beberapa pasal terkait bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi warga negara.
Poin ini diatur dalam Pasal 218 ayat (1), 219, 240, dan 241. Pasal-pasal yang memiliki frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dan menghina pemerintah atau lembaga negara merupakan norma kabur (blank norm) atau dapat disebut sebagai pasal karet.
"Karena pasal-pasal ini bisa ditafsirkan sesuai kepentingan orang yang menggunakannya," ungkap Herman, pakar hukum dan kebijakan publik Universitas Negeri Makassar (UNM), Senin, 5 Desember.
Frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dan menghina pemerintah atau lembaga negara susah dibedakan dengan kritik yang ditujukan kepada kepala negara maupun pemerintah.
"Padahal perlu diketahui dalam hal ini soal kedudukan hukum (rechtspositie) presiden/wakilnya, apakah selaku subjek hukum pribadi (natuurlijke persoon), atau selaku pejabat negara (ambtenaar), dan hal ini tidak jelas dalam pasal tersebut, sehingga potensinya untuk mengkriminalisasi warga negara sangat besar," tegas Herman.
Kemudian, ada Pasal 188 Ayat (1) dan Pasal 256 yang juga disoroti. Pasal 188 Ayat (1) perlu dipahami bahwa ajaran komunisme/marxisme-leninisme selalu dikaitkan dengan sejarah kelam G/30S PKI di Indonesia pada masa lalu. Sehingga jelas tidak memiliki relevansi lagi dimuat dalam suatu pasal pelarangan.
"Indikasi dan faktanya, hal ini kadang dan selama ini sering digunakan sebagai alat politik oleh seseorang, lembaga dan bahkan pemerintah dalam soal politik, demokrasi, dan hukum untuk melanggar hak konstitusional warga negara," beber Ketua Program Studi Ilmu Hukum UNM ini..
"Di lain sisi ini bertentangan dengan hak konstitusional yang di atur dalam Pasal 28, 28D Ayat (1) dan (3), 28E Ayat (2) dan (3), 28F, dan 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945," sambungnya.
Terkait Pasal 256, bersifat terlalu teknis dan seharusnya tidak menjadi muatan norma undang-undang. Pasal ini seharusnya dimuat saja dalam Peraturan Kapolri, soal pemberitahuan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.
"Karena hal ini merupakan norma yang berkenaan dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi aparat hukum seperti polisi. Hal ini selain itu berkenaan dengan izin (vergunning) dari kepolisian dalam hal pawai, demonstrasi, atau pawai," jelasnya.
Tidak kalah krusialnya adalah soal pidana mati yang jelas-jelas bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam Pasal 28I Ayat (1). Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
"Sehingga pasal hukum mati dalam KUHP jelas bertentangan dengan UUD 1945," tegasnya lagi.
Ancaman Pers
Demikian juga dengan pasal-pasal yang dianggap ingin megintervensi atau melemahkan kebebasan pers, tidak luput dari sorotan. Misalnya Pasal 263 tentang penyebaran berita bohong, dan Pasal 264 terkait penyebaran berita tidak pasti atau berlebihan.
"Padahal setiap karya-karya jurnalistik itu sebelum dipublish melakukan verifikasi yang matang. Jadi bisa saja aparat penegak hukum menginterpretasi berbeda sehingga teman-teman jurnalis bisa dipidana," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Didit Hariyadi.
Secara eksplisit, kedua pasal tersebut hendak memasukkan delik pers dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers yang berlaku. Padahal, karya jurnalistik tidak bisa dikriminalisasi karena memuat kepentingan umum.
Hal itu dijelaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik yang merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.
Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers, berarti ancaman demokrasi akan makin nyata. Begitu juga dengan kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan.
"Jadi kami menolak RKUHP ini karena banyak pasal-pasal bermasalah, padahal ini negara demokrasi. Jika disahkan, ini demokrasi kita dibungkam atau bahkan mati," tegas Didit.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat setidaknya ada 12 pasal yang dipersoalkan mereka bersama dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Pasal-pasa tersebut dianggap akan mematikan demokrasi di Indonesia.
Tidak hanya itu, pasal-pasal tersebut juga bisa melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, serta memiskinkan rakyat.
Dipaksakan
Wakil Direktur Bidang Internal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Aziz Dumpa mengatakan, draf akhir dari RKUHP yang akan disahkan merupakan produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk secara tidak partisipatif dan transparan oleh pemerintah-DPR. Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada 30 November 2022.
Parahnya lagi, di dalamnya masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.
"Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas, karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja," ujar Aziz Dumpa.
Pakar Hukum
Pakar hukum pidana UNM Prof Heri Tahir mengatakan dalam RKUHP yang akan disahkan ada pasal pemidanaan terhadap penyerang kehormatan presiden, wapres, dan lembaga negara. Hal tersebut mencerminkan suatu kemunduran dalam sistem demokrasi.
Wajar jika muncul selentingan bahwa hukum dalam RKUHP yang akan disahkan lebih represif dibandingkan zaman Orde Baru (Orba). Penerapannya pada zaman Orba dilakukan secara diam.
Pasal terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wapres sebelumnya sempat diajukan, namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
"MA sudah pernah membatalkan pasal tersebut, namun muncul lagi. Ini menandakan kemunduran demokrasi. Pemerintah seolah antikritik, sehingga mengekang hak menyuarakan pendapat," sesal Heri. (maj-edo/zuk-dir/fajar)
Sentimen: negatif (100%)