Sentimen
Negatif (99%)
3 Des 2022 : 09.41
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Hewan: Domba

Institusi: MUI, UNJ

Kasus: HAM

Tokoh Terkait

Golput antara Pidana dan Kebebasan Berpolitik di Pemilu 2024

3 Des 2022 : 09.41 Views 3

Merahputih.com Merahputih.com Jenis Media: News

Golput antara Pidana dan Kebebasan Berpolitik di Pemilu 2024

MerahPutih.com - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah di depan mata. Pemilu pada tanggal 14 Februari 2024 akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPD RI, DPR RI, dan DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota.

Kemudian pada tanggal 27 November 2024 dilaksanakan pilkada serentak dengan memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, serta bupati dan wakil bupati.

Pesta demokrasi yang ditunggu-tunggu juga tak lepas dari kekacauan. Hal tersebut yang harus diantisipasi termasuk oleh masyarakat sebagai ujung tombak dalam pesta demokrasi tersebut.

Kebebasan berekspresi dan berpolitik yang sangat rentan jatuh pada ujaran kebencian menjadi salah satu perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) komisioner baru kepengurusan 2022—2027. Termasuk dalam hal keputusan calon pemilih untuk menjadi golongan putih atau golput.

Dalam prioritas kerja Komnas HAM dalam enam bulan ke depan, terselip antisipasi Pemilu 2024. Sementara prioritas yang lain, yaitu pelanggaran HAM yang berat dan permasalahan HAM di Papua, konflik agraria, kelompok marginal (disabilitas, pekerja migran, masyarakat adat, dan pembantu rumah tangga), perlindungan pembela HAM, kebebasan beragama dan berkeyakinan, bisnis dan HAM, dan RANHAM 2022—2024.

Komnas HAM RI sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 berkewajiban untuk mengupayakan pemenuhan (to fulfill), perlindungan (to protect) dan penghormatan (to respect) hak asasi manusia, termasuk hak konstitusional setiap warga negara.

Dalam menjalankan mandatnya, Komnas HAM RI diberikan fungsi untuk melaksanakan pemantauan sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Jo. Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Baca Juga:

Laksamana Yudo Tegaskan Prajurit TNI akan Netral di Pemilu 2024

Golongan putih atau lazim disingkat golput masih menjadi wacana populer menjelang perhelatan Pemilu 2024. Dari pemilu ke pemilu, topik ini selalu menjadi polemik. Terlebih Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa bahwa golput itu haram.

Meskipun banyak kecaman, MUI tetap menerbitkan fatwa jelang Pemilu 2009. Situs MUI menerangkan bahwa fatwa dikeluarkan setelah melalui perbincangan panjang dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan).

Lalu, pembahasan dikerucutkan dalam tim perumus dan diajukan ke sidang pleno Ijtima Ulama. Hasilnya, MUI menyatakan memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Klausul dalam pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. "(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Selanjutnya, UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih."

Dalam kedua klausul tersebut kata yang tercantum adalah "berhak/hak" bukan "kewajiban". Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamendemen pada 1999-2002, tercantum dalam Pasal 28 E: "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas" yang bisa diartikan bebas digunakan atau tidak.

Sementara, berdasarkan Undang-Undang Pemilu dan peraturan KPU, istilah golput tidak dikenal. Namun, ada istilah yang dikenal yaitu memengaruhi atau mengajak pemilih untuk memilih atau tidak memilih.

Pasal yang dapat diperumpamakan dengan golput tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 515, "Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Berdasarkan pasal tersebut, golput yang bisa dipidana, sekurang-kurangnya harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau syarat yaitu pertama, dilakukan pada saat hari pemungutan suara (pencoblosan). Kedua, dengan menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya. Ketiga, merusak surat suara sehingga menyebabkan surat suaranya tidak sah atau tidak bisa dihitung sebagai suara hasil pemilu.

Warga sedang menggunakan hak suaranya dalam pemilihan. (MP/Dery Ridwansah)

Dalam aturan hukum, Polri menyebut mereka yang mengajak warga tidak golput pada pemilu bisa dijerat dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Undang-Undang tentang Pemilu.

Apalagi, mengajaknya menggunakan sarana media elektronik, UU ITE bisa digunakan untuk menjerat seseorang sesuai dengan perbuatan berdasarkan fakta hukum yang betul-betul peristiwa itu terjadi.

Penyidik akan mengkaji lebih dulu unsur pelanggaran yang dilakukan terkait ajakan golput.

Nantinya penyidik akan menyusun konstruksi hukum berdasarkan fakta dan bukti yang ditemukan untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk pelanggaran pemilu atau pidana.

Polri pun sudah mempersiapkan penanganan tindak pidana jika terjadi di masa Pemilu 2024.

Beberapa waktu lalu, Bareskrim Polri merilis sistem aplikasi internal bernama Sistem Aplikasi Penanganan Terintegrasi Tindak Pidana Pemilu Jajaran Reskrim Republik Indonesia (SIAGAITUJARI).

Aplikasi SIAGAITUJARI disebut bakal menghubungkan Mabes sampai ke kewilayahan dengan pencapaian 34 Polda dan 493 Polres di seluruh Indonesia.

"SIAGAITUJARI adalah terobosan inovasi sebagai dasar sistem aplikasi yang merupakan faktor penting dalam pendukung pelaksanaan penanganan tindak pidana pemilu yang terintegrasi dan sebagai kontrol internal di kewilayahan dari Polres, Polda hingga Mabes Polri," ujar anggota Bareskrim Polri AKBP Sri Lita Sari beberapa waktu lalu.

Selain itu, Polri juga menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Tindak Pidana Pemilu yang merupakan tata cara penanganan tindak pidana pemilu bagi penyidik tindak pidana pemilu di seluruh Indonesia.

Penanganan tindak pidana pemilu sangat membutuhkan instrumen yang jelas, tepat dan sesuai dengan regulasi kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat digunakan untuk mewujudkan penyidik tindak pidana pemilu yang profesional, proporsional dan prosedural.

Selama ini, pengaduan dari masyarakat terkait tindak pidana pemilu diterima oleh Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) yang merupakan gabungan dari anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bersama Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Laporan tersebut kemudian diteruskan ke kepolisian RI jika terdapat dugaan tindak pidana pemilu.

Nantinya, saat pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 setiap anggota yang bertugas di Sentra Gakkumdu akan dibekali aplikasi SIAGAITUJARI.

Baca Juga:

Jokowi Ungkap Peran Penting Pemilu 2024 untuk Masa Depan Bangsa

Selanjutnya, laporan tindak pidana pemilu yang diterima oleh anggota akan langsung diinput ke dalam aplikasi dan secara real time laporan tersebut masuk dan diproses oleh kantor kepolisian setempat yang terintegrasi ke 34 Polda dan 493 Polres dan bisa dimonitoring oleh Bareskrim Mabes Polri.

SIAGAITUJARI dapat menginput data pelaporan seluruh wilayah Republik Indonesia secara terintegrasi, berkesinambungan, cepat,mudah, tepat sasaran dan efisien serta real time.

Namun, tidak semua laporan atau pengaduan itu ditindaklanjuti oleh Sentra Gakkumdu dan diteruskan ke Polri.

Sebab, Polri hanya menangani tindak pidana Pemilu yang menjadi ranahnya.Hal ini sesuai dengan aturan Undang - undang No 7 tahun 2007 tentang Pemilu, serta sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum).

Sementara itu, Bawaslu RI menyatakan, ketentuan dalam UU Pemilu secara normatif tidak melarang seseorang menjadi golput. Sebab, hak untuk memilih merupakan bersifat boleh digunakan maupun tidak digunakan oleh pemiliknya.

"Golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya dalam pemilu. Golput juga dapat diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin konstitusi," kata anggota Bawaslu RI Puadi.

Oleh karena itu, kata Puadi, posisi seseorang atau sekelompok orang yang menyatakan untuk tidak memilih juga sama sekali bukan merupakan pelanggaran hukum karena tak ada satu pun aturan yang dilanggar.

"Meskipun demikian, edukasi kepada publik menjadi kata kunci bagi Bawaslu dalam mendorong agar masyarakat tetap menggunakan hak pilihnya dalam pemilu," kata alumnus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini. (Pon/Knu/Asp)

Baca Juga:

Jokowi Imbau Hilangkan Politik Adu Domba dan Kebencian di Pemilu 2024

Sentimen: negatif (99.6%)