Sentimen
Negatif (100%)
2 Des 2022 : 02.37
Informasi Tambahan

Kasus: covid-19, kekerasan seksual

Tokoh Terkait
Bintang Puspayoga

Bintang Puspayoga

Pelaku Kekerasan Anak dan Remaja Didominasi Teman Sebaya

2 Des 2022 : 02.37 Views 2

Jawapos.com Jawapos.com Jenis Media: Nasional

Pelaku Kekerasan Anak dan Remaja Didominasi Teman Sebaya

Berdasar Survei, Kekerasan Emosional ke Anak Laki-Laki Dominan oleh Ayah

JawaPos.com – Kekerasan anak dan remaja diklaim mengalami penurunan berdasar hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021. Meski begitu, ketika dicermati, fakta-fakta kekerasan pada anak tetap menyayat hati.

Dalam survei yang diadakan Kementerian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan tersebut, terdapat dua estimasi prevalensi waktu kejadian kekerasan pada anak. Yakni, 12 bulan terakhir dan masa sebelum 18 tahun atau sepanjang hidup. Kemudian, jenis kekerasan mencakup kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Survei dilakukan pada 14.160 rumah tangga yang tersebar di 1.416 blok sensus di 236 kecamatan yang berada di 178 kabupaten/kota.

Ketua Tim SNPHAR 2021 Ignatius Praptoraharjo memaparkan, prevalensi kekerasan anak usia 13–17 tahun dalam 12 bulan terakhir mencapai 26,58 persen pada perempuan dan 20,51 persen pada laki-laki (lihat grafis). Angka itu lebih rendah daripada 2018, baik kekerasan fisik, emosional, maupun seksual.

Misalnya, pada jenis kekerasan fisik. Pada SNPHAR 2018 kekerasan fisik lebih tinggi dua kali lipat atau lebih dibandingkan SNPHAR 2021. Pada laki-laki, kekerasan fisik mencapai 36,43 persen, lebih tinggi daripada data 2021 sebanyak 13,91 persen. Kendati begitu, angka tersebut tetap besar dan harus mendapat penanganan lebih lanjut.

”Apalagi, satu anak ada yang tidak hanya mengalami satu kekerasan. Ada yang dua hingga tiga jenis kekerasan,” ujar Ignatius dalam peluncuran data SNPHAR 2021 di Jakarta kemarin (30/11).

Lebih lanjut, dia menjelaskan, SNPHAR 2021 juga merekam data kekerasan di masa pandemi Covid-19. Dari data yang ada, diketahui bahwa 12,68 persen anak laki-laki dan 11,35 persen perempuan di usia 13–17 tahun mengalami kekerasan fisik. Sementara itu, kekerasan emosional jauh lebih tinggi, yakni 19,19 persen dialami laki-laki dan 22,9 persen perempuan. Lalu, untuk kekerasan seksual, 1,6 persen laki-laki dan 3,04 persen perempuan mengalami kekerasan seksual.

Diketahui pula siapa saja pelaku kekerasan pada anak dan remaja itu. Menurut Ignatius, polanya masih sama antara 2018 dan 2021. Pelaku utama adalah orang-orang terdekat korban. Yang juga konsisten ialah kekerasan didominasi teman sebaya.

Secara spesifik, pada 2021 kekerasan yang dilakukan sebaya, yakni teman laki-laki pada anak laki-laki, mencapai 90 persen. Kemudian, teman laki-laki yang melakukan kekerasan pada responden perempuan mencapai 40 persen. Namun, teman perempuan yang melakukan kekerasan pada responden laki-laki sangat sedikit.

Itu juga tecermin secara spesifik pada kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual kontak dalam 12 bulan terakhir pada SNPHAR 2021 juga didominasi teman sebaya. Yakni, 74,88 persen yang dialami responden laki-laki dan 51,23 persen dialami responden perempuan. Sementara, pasangan/pacar sekitar 17,4 persen yang dialami responden laki-laki dan 15,12 persen yang terjadi pada responden perempuan.

”Dibandingkan dengan orang dewasa, prevalensi teman sebaya lebih tinggi,” ungkapnya.

Dalam rumah tangga, pelaku kekerasan emosional pada anak laki-laki paling dominan dilakukan ayah. Tercatat, 35,8 persen anak laki-laki dan 22,2 persen anak perempuan mengalami kekerasan emosional oleh sang ayah. Pada spesifik kasus anak perempuan, paling dominan dilakukan ibu. Setidaknya, 36 persen anak perempuan mendapat kekerasan emosional dari sang ibu. ”Ya mungkin dimarahi, kemudian diomelin gitu ya, itu dianggap sebagai kekerasan emosional,” paparnya.

Selain itu, dari survei tersebut, diketahui pula bahwa status sosial ekonomi keluarga tidak berasosiasi dengan kejadian kekerasan. Artinya, kekerasan yang dilakukan bisa terjadi di keluarga yang sosial ekonominya tinggi ataupun rendah.

Lalu, jika selama ini kekerasan seksual pada perempuan paling banyak dipaparkan, dalam survei tersebut terpotret bahwa laki-laki pun sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Pada prevalensi kekerasan seksual nonkontak pada responden usia 18–24 tahun di pedesaan, ternyata laki-laki lebih banyak yang menjadi korban ketimbang perempuan. Kekerasan itu bisa berupa pemaksaan menyaksikan kegiatan seksual, membaca tulisan yang menggambarkan kegiatan seksual, hingga terlibat dalam gambar/foto/video kegiatan seksual. Itu terjadi baik pada 2018 maupun 2021.

Efek kekerasan yang dialami korban itu pun sangat besar. Menurut Ignatius, korban cenderung mengalami gangguan emosional. Mereka kerap merasa cemas, gelisah, tidak berharga, sering merasa sedih, putus asa, dan merasa segalanya sulit.

”Apakah mencoba atau berpikir bunuh diri? Yang menjawab itu cenderung mengalami kekerasan yang lebih banyak,” ungkapnya.

Sayangnya, upaya pencarian bantuan masih sangat kecil. Meski upayanya lebih tinggi daripada 2018, layanan bantuan yang tersedia belum banyak dimanfaatkan. Inisiatif anak mencari bantuan rendah, kecuali untuk kasus kekerasan seksual. Itu pun lebih banyak dari bantuan orang lain daripada inisiatif sendiri.

”Layanan paling banyak diketahui adalah layanan hukum, layanan lain masih sedikit diketahui,” keluhnya.

Melihat data-data itu, Ignatius pun berharap dalam upaya penanganan kekerasan anak, pihak-pihak terkait tak melewatkan pengembangan komunikasi targeted. Mengingat, pada kesimpulan pelaku paling banyak dilakukan orang terdekat. Karena itu, dirasa perlu membuat pesan untuk menyetop kekerasan di keluarga atau dalam pertemanan.

”Lalu, perlu penguatan keterampilan anak, kemauan mereka untuk bercerita dan mencari informasi harus didorong agar dapat menjadi life skill mereka,” tegasnya. Tak lupa, pesan pengarusutamaan gender juga harus disuarakan kepada mereka.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan Bintang Puspayoga mengatakan, data-data tersebut merupakan data yang sangat penting sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Data yang ada itu akan menentukan tindak lanjut kebijakan yang akan dirumuskan dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak.

”Pemenuhan hak dan perlindungan anak sangat penting untuk memastikan kualitas anak. Dan, kualitas anak ini akan menentukan kualitas bangsa kita di masa depan,” ungkapnya.

Sentimen: negatif (100%)