Sentimen
Positif (100%)
28 Nov 2022 : 09.22
Informasi Tambahan

Grup Musik: iKON

Institusi: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Kab/Kota: Semarang, Ungaran, Yogyakarta, Mataram

Kasus: covid-19, Kemacetan, korupsi

Tokoh Terkait

“Soft Legacy”, Jalan Sunyi Kepemimpinan

28 Nov 2022 : 16.22 Views 3

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

“Soft Legacy”, Jalan Sunyi Kepemimpinan

HARUSKAH “warisan kepemimpinan” hanya dimaknai dalam bentuk-bentuk fisik mercusuar?

Tak jarang, orang menilai legacy secara mutlak dari standar yang bersifat “bangunan”, seperti wangsa-wangsa pada zaman Mataram kuno yang menandai jejak sejarah kebesaran dengan monumen candi.

Parameter kemanfaatan melekat pada warisan-warisan fisik karena kebutuhan yang memang menuntut pada zamannya. Namun, hal yang acapkali luput dari percaturan adalah “tinggalan” berupa soft legacy dalam ekspresi transformasi ide, sikap, atau elan (spirit), untuk perubahan perilaku.

Warisan dalam kategori ini boleh jadi tidak teramati secara inderawi karena kehadirannya yang “soft” tak terlihat gagah sebagai “candi-candi masa kini”.

Eksistensi yang sesungguhnya dirasakan adalah realitas “reformasi” yang bisa saja terbentuk sebagai produk ajakan masif, persuasi yang membentuk kepengikutan, karakter kepemimpinan, dan memancar menghasilkan komitmen sikap. Pada ujungnya, hal ini pun membentuk kultur.

Bukankah justru warisan nilai-nilai inilah yang memiliki makna sejarah bagi sebuah perubahan?

Monumental

Ketika Gubernur H M Ismail (1983-1993) membangun Gedung Olahraga (GOR) Jatidiri di Karangrejo, Semarang, masyarakat tak ragu menyebutnya sebagai warisan monumental. Pasalnya, Ibu Kota Jawa Tengah itu belum memiliki kompleks olahraga yang memadai.

Lalu, “jejak” gubernur berikutnya, Soewardi (1993-1998), ditandai dengan pendirian rumah dinas nan megah, Wisma Perdamaian, di kompleks Tugu Muda, Semarang.

Dalam kepemimpinan Mardiyanto (1998-2007), berdiri Masjid Agung Jawa Tengah yang kini menjadi salah satu ikon peribadatan dan dibanjiri wisatawan.

Bibit Waluyo? Satu periode kepemimpinannya pada 2008-2013 diwarnai pembangunan jalan Tol Ungaran - Bawen. Walaupun jalan tol adalah proyek Direktorat Jenderal Bina Marga, tetapi Bibit memberi determinasi bagi realisasi proyek tol yang manfaatnya sangat dirasakan untuk memecah kemacetan lalu lintas Banyumanik - Bawen.

Karena empat gubernur sebelumnya telah menoreh prasasti fisik, maka banyak yang kemudian menyebut Ganjar Pranowo tak punya sisa ruang ekspresi berupa “monumen” untuk menggagas warisan dalam dua periode kepemimpinannya sejak 2013. Ya, Jawa Tengah masih membutuhkan apa lagi?

Ide revitalisasi infrastruktur menjadi pergerakan di awal kepemimpinannya, seperti menjawab guyon maton pengguna jalan yang membandingkan kondisi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Betapa nyaman ketika melintas di Jawa Timur karena jalan-jalan yang mulus. Namun, kita yang sedang terlelap terbuai mimpi, tiba-tiba terbangun karena mendadak terasa gronjal-gronjal. “Oh, sudah masuk wilayah Jawa Tengah, rupanya…”.

Itu salah satu contoh dasar nyata konsentrasi pembangunan untuk menyentuh pentingnya infrastruktur. Faktanya, 1.000 kilometer jalan provinsi dikerjakan sebagai bentuk komitmen tersebut.

Pilihan “sikap”

Meninggalkan warisan monumental bangunan fisik agaknya tidak selalu menjadi “sikap” seorang pemimpin.

Masihkah ingat pada Gubernur Jawa Tengah Moenadi yang memimpin pada 1966-1974?

Gubernur tampan yang waktu itu rajin “blusukan” ke kantung-kantung masyarakat di berbagai pelosok provinsi itu mengampanyekan ikhtiar peningkatan standar kehidupan yang layak lewat slogan “Modernisasi Desa”.

Pemartabatan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) gencar disosialisasikan dan dilaksanakan. Radio-radio, Televisi Republik Indonesia (TVRI) Yogyakarta, dan berbagai media, bahu-membahu mentransformasikan gagasan itu menjadi perubahan sikap dan budaya masyarakat.

Soepardjo Rustam (1974-1983) memperkuat legacy Moenadi dengan menggalakkan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang ditopang oleh keaktifan istrinya, Kardinah, sebagai motor penggerak.

Bukankah itu adalah ide dan warisan transformatif yang mereformasi sendi-sendi kehidupan masyarakat?

Ketika Ganjar Pranowo meng-“kasualisasi” birokrasi pemerintahan lewat pelayanan yang memintas (shortcut), harus diakui sempat terasa terjadi “gegar birokrasi”.

Reformasi pelayanan publik tak hanya mengapung sebagai jargon politik lewat berbagai pernyataan. Akan tetapi, betul-betul dijadikan praksis birokrasi.

Lewat berbagai kanal pengaduan, masyarakat bisa secara cepat menyampaikan keluhan, koreksi, dan aneka ketidakberesan pelayanan aparat pemerintah. Warga dapat terkoneksi langsung dengan gubernur yang juga bisa me-mention aduan ke dinas-dinas terkait. Contoh paling sederhana adalah soal jalan atau jembatan rusak.

Model yang melibatkan berbagai platform media sosial (medsos) itu pada akhirnya menjadi budaya pelayanan publik dengan fondasi komitmen dan fungsionalisasi medsos.

Tudingan pencitraan karena sibuk bermedsos sejatinya bisa terjawab oleh realitas fungsionalisasi karena ada target yang menjadi orientasi, yakni mempercepat jangkauan pelayanan. Hal ini tak perlu menunggu jadwal formal penyelesaian persoalan.

Keterbukaan informasi publik menjadi soft legacy yang sangat menonjol. Dari 2018 hingga 2021, empat tahun berturut-turut, Jawa Tengah meraih anugerah tersebut. Hal ini menandai sebuah “tantangan” terkait cara membangun kultur masyarakat yang sadar akan hak-hak atas informasi yang mereka butuhkan ke depan.

Aura birokrasi pun tertepis dari kesan formalistik, seram, dan berbelit-belit. Ide “reformasi” ini menjawab kenyinyiran klasik terhadap pelayanan, “Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”.

Transformasi kultural

Reformasi pelayanan publik punya muatan makna transformasi kultural. Ini bukan hanya bagi aparatur sipil negara (ASN) sebagai pelayan masyarakat, melainkan juga mengedukasi warga masyarakat agar makin memahami hak dan kewajibannya. Publik bisa merasa bangga memiliki pemimpin sebagai semacam pohon pengayom yang kehadirannya betul-betul fungsional.

“Warisan nilai” lain yang layak dicatat adalah pendekatan kasual ke kantung-kantung masyarakat. Kegembiraan memiliki pemimpin yang akrab, punya pesona personal, dan karismatis memudahkan dalam memersuasi masyarakat. Misalnya, ketika menyampaikan kebijakan pada masa-masa pandemi Covid-19.

Bukankah aura kecerdasan, keakraban kasual, dan empati gestural patut pula dicatat sebagai determinan dalam men-support transformasi nilai-nilai dari setiap gagasan reformasi sikap?

Ya, tentu tinggal bagaimana kemauan kita untuk memaknai. Misalnya, predikat Jawa Tengah sebagai provinsi paling berintegritas versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 dan 2021.

Tak hanya itu, Jawa Tengah juga dinobatkan sebagai juara umum antikorupsi versi KPK 2018 dan 2020. Komitmen ini bisa pula disimak dari penyelamatan uang negara Rp 1 triliun lewat e-budgeting.

Sisi-sisi lain yang tidak terlihat sebagai “kemegahan” warisan bisa kita amati di sektor ekonomi rakyat. Jumlah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) meningkat jadi 86.917 orang dengan tambahan 840.508 tenaga kerja.

Contoh lain, program revitalisasi 79 pasar tradisional, rehabilitasi 80.000 rumah warga miskin, membangun 1.136 embung desa, membangun 42.181 jamban untuk warga miskin, membangkitkan 818 desa wisata, menghadirkan listrik 24 jam untuk Kepulauan Karimunjawa, dan membangkitkan 120 kelompok seni tradisi desa.

Di sektor transportasi massal, Jawa Tengah menyelenggarakan pemartabatan transportasi dengan angkutan modern dan murah, Trans Jateng, di enam wilayah. Moda angkutan ini benar-benar telah dinikmati oleh masyarakat.

Ganjar juga menginisiasi pembangunan tiga bandara baru dan mendorong pembangunan 17 mal pelayanan publik.

Di bidang pendidikan, legacy yang dia ukir termasuk orisinal, yakni membangun 15 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Boarding School khusus untuk siswa miskin. Langkah ini tercatat sebagai yang pertama di Indonesia.

Warisan-warisan tersebut layak dimaknai sebagai soft legacy yang lebih bersifat pengasupan nilai-nilai. Bukankah tak sembarang pemimpin “berani” memilih “jalur senyap”–yang boleh jadi tak sepopuler mereka yang mendirikan bangunan fisik–dalam memprasastikan monumen warisan?

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (100%)