Sentimen
Negatif (99%)
26 Nov 2022 : 08.58

Beratnya Memimpikan Masa Sekolah Tanpa Perundungan

26 Nov 2022 : 15.58 Views 3

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Beratnya Memimpikan Masa Sekolah Tanpa Perundungan

Harianjogja.com, JOGJA—Meski baru ramai dibicarakan belakangan ini, perundungan di sekolah sudah berlangsung sejak lama. Perisakan tidak cukup diselesaikan dengan saling minta maaf, tetapi perlu dicari dan diurai akar masalahnya. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Sirojul Khafid.

Pulang sekolah tidak jarang menjadi momen yang menyenangkan. Pelajaran sudah usai. Sebentar lagi anak-anak sekolah juga bisa bertemu keluarga dan bermain bersama teman mereka. Mungkin itu yang juga ada di pikiran Dewi Kumala kala itu. Dia pulang sekolah mengayuh sepeda.

Misal Desi lahir tahun 1990-an, sepanjang perjalanan pulang bisa saja dia sembari bernyanyi lagu Doraemon, “Aku ingin ke sini, aku ingin ke situ, ingin ini itu banyak sekali.” Namun lantaran dia lahir 2005, lagu yang terngiang di kapalanya mungkin milik Kunto Aji, “Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu.”

Hari yang seharusnya indah kemudian berubah. Dari arah kejauhan, ada teman Dewi yang pulang mengendarai motor. Tanpa alasan yang jelas, “tiba-tiba dia nabrakin motornya ke sepadaku,” kata Dewi, murid kelas 3 salah satu SMA di DIY. “Pernah juga di sekolah ada yang nendang bokongku.”

Tidak hanya dua kejadian di atas, ada beberapa perundungan yang mungkin bisa Dewi buat katalognya, saking seringnya terjadi. Tidak hanya menerima perundungan fisik, dia juga pernah mengalami perundungan verbal, terutama semasa SD dan SMP.

Alasan perundungan juga kadang tidak ketemu pangkalnya. Misal saat Dewi tidak masuk sekolah karena sakit. Esoknya dia dimusuhi. Bahkan dalam tahap yang lebih ekstrim, Dewi pernah dimusuhi oleh teman satu kelas. “Aku dikira sombong. Dan aku satu-satunya yang punya pacar [di kelas]. Dan pacarku itu lumayan menjadi idola,” kata Dewi, Jumat (25/11/2022).

Tentu Dewi hanya satu dari sekian banyak korban perundungan di sekolah. Akhir-akhir ini juga banyak video viral memperlihatkan perundungan sesama teman sekolah. Bahkan ada perisakan anak sekolah pada nenek-nenek di jalan.

Banyak orang yang melihat perundungan itu, tapi jarang atau bahkan tidak ada yang menegur atau membela. “Sepengetahuanku, enggak ada yang bela [misal ngeliat perundungan], lebih kepada ke lihat aja, kasihan aja, enggak ada yang berani negur pelaku,” ujar Dewi.

Perundungan seperti yang dialami Dewi mungkin sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Namun yang membedakan adalah pemahaman dan perpesktif masyarkat saat ini yang semakin luas. Perundungan yang mancakup perbuatan tidak menyenangkan, melanggar hak, atau menyakiti mendapat respons yang berbeda hari ini dan sebelumnya.

BACA JUGA: Melongok Kisah Diaspora yang Segan Kembali ke Indonesia

Psikolog Wiloka Workshop, Lucia Peppy Novianti, mengatakan kesadaran masyarakat bahwa perundungan perlu direspons secara serius baru muncul sekarang. Kesadaran ini erat kaitannya dengan akses informasi yang semakin mudah dan luas serta cara identifikasinya. Perbuatan yang dulu dianggap biasa saja, saat ini bisa tergolong pada perundungan.

“Akses informasi memengaruhi persepsi pada sesuatu. Misalnya kesehatan mental. Apakah dulu engga ada? Tentu ada, tetapi belum diinformasikan secara baik,” kata Lucia.

Pemahaman akan perundungan juga bisa dibarengi dengan pemahaman dalam penyelesaiannya. Beberapa kasus perundungan hanya diselesaikan secara kekeluargaan dan permintaan maaf. Meski cara itu tidak salah, masyarakat tidak boleh lupa akan tanggung jawab terhadap pelaku maupun korban.

“Korban jelas harus dipulihkan kondisi fisik dan mentalnya. Anak diam atau memaafkan bukan berarti di dalamnya sudah baik. Pelaku juga dibantu mengoreksi perilakunya, jangan dibayangkan minta maaf membuat dia paham bahwa dia tidak boleh melakukan itu,” katanya.

Koreksi ini bisa dengan membantu menganalisis secara psikologi. Korban mungkin tidak hanya sedih, tapi juga memendam perasaan lain. Apabila tidak dikelola dengan baik, perasaan ini bisa berdampak buruk pada kesehatan anak.

Pelaku perundungan juga perlu dikoreksi dengan bahasa yang sesuai dengan umurnya. Mereka perlu dicari tahu dan diajak bicara. “Banyak anak-anak merundung karena mencari perhatian. Mencari perhatian juga bisa karena kurang perhatian atau memiliki kemampuan di atas rata-rata tapi tidak tersalurkan,” katanya.

“Berbeda penyebab juga berbeda penangannya.”

Banyak cara mencegah adanya perundungan, baik potensi menjadi korban atau pelaku. Yohanes Widyatmoko merasa sebatas menyekolahkan anak saja tidak cukup. Anak-anak juga perlu mengenal warga sekolah, dari guru sampai tukang kebun. Warga sekolah merupakan pihak yang bisa memberi informasi aktivitas anak di sekolah.

“Dari situ bisa jadi antisipasi awal, sebelum terjadi lebih jauh sudah ada tindakan. Tanpa ada informan di sekolah, mungkin akan terlambat,” kata Joe, sapaan akrabnya, yang memiliki anak yang belajar di tingkat SMA.

Tidak kalah penting, Joe juga menekankan penguatan karakter pada anak. Bukan tanpa alasan semua persiapan ini dilakukan. Saat anaknya duduk di bangku SMP, pernah ada teman anaknya yang dipaksa memakai jilbab. Di sisi lain, Joe juga berpesan kepada anaknya untuk menjadi informan apabila ada perundungan dan sejenisnya.

BACA JUGA: Kantong Plastik Berbayar Belum Diterapkan di DIY, Ini Penyebabnya

Apabila nantinya anak Joe menjadi korban, yang pertama dia lihat adalah kondisi psikisnya. Kemudian jenis dan dampak perundungan. “Pasti dia bisa bercerita, kalau masih sebatas perundungan perkataan, itu saya antisipasi dengan saya kuatkan mentalnya. Kalau sudah fisik, bisa melalui jalur laporan di dinas atau lainnya,” katanya. “Sebisa mungkin jangan justru keluar dari sekolah itu, kalau keluar malah kalah. Kecuali kalau memang sudah tidak memungkinkan.”

Banyaknya jenis perundungan membuat Dewi semakin kuat dan berani. Pemikirannya sekarang juga sudah semakin terbuka. Apabila ke depan ada yang merundungnya, dia akan melawan. “Kalau temen dekat yang kena perundungan, ya mungkin aku mendekati dia, dan membuat biar tidak di-bully,” kata Dewi. “Kalau enggak ya, [aku bakal] diem aja, enggak mau ikut campur, tergantung yang nge-bully, serem atau enggak.”

PROMOTED:  Kisah Dua Brand Kecantikan Lokal Raup Untung dari Tokopedia: Duvaderm dan Guele

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sentimen: negatif (99.9%)