Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: bandung, Surabaya
Tokoh Terkait
Mengenal Inggit Garnasih, Kisah Panjang Istri Soekarno
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT – Inggit Garnasih lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 17 Februari 1888. Garnasih merupakan singkatan dari Hegar Asih.
Hegar bermakna kesegaran menghidupkan dan Asih artinya kasih sayang. Sementara nama Inggit mempunyai cerita tersendiri, yakni berasal dari mata uang salah satu ringgit yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Seringgit.
Ketika itu, satu ringgit bernilai besar. Semasa kecil, Inggit menjadi sosok yang disukai oleh teman-temannya, dan ketika ia masih muda, Inggit adalah wanita yang paling cantik di antara teman-temannya.
Di antaranya berkisar kata-kata bahwa mendapatkan senyuman dari Garnasih sama dengan mendapatkan uang satu ringgit.
Baca Juga: Profil Chairil Anwar, Si Binatang Jalang yang Mampus Dikoyak-koyak Sepi
Saat itu, karena kecantikan dan kebaikannya, banyak pemuda yang menyukainya. Perasaan itu diungkapkan dengan memberinya, langsung atau tidak, uang sebanyak satu ringgit.
Sejak saat itu, Garnasih disebut sebagai “Si Inggit” dan ia dikenal sebagai Inggit Garnasih. Inggit lahir dari keluarga biasa yang tidak memiliki peran penting.
Ayahnya bernama Ardjipan dan ibunya bernama Amsi. Sebelum meninggal, ayahnya adalah seorang petani. Inggit memiliki dua saudara kandung yang bernama Natadisastra dan Murtasih. Inggit menjalani hidupnya dengan sederhana, meski telah menikah dengan Nata Atmadja, Sanusi, dan Soekarno.
Tahun 1900, ketika masih berusia 12 tahun, ia memulai kehidupan pernikahan dengan seorang Kopral Residen Belanda bernama Nata Atmadja. Pernikahan ini tidak berlangsung lama, hanya empat tahun dan mereka berpisah. Sayangnya, pada tahun yang sama, ayah Inggit juga meninggal dunia.
Baca Juga: Mengenal Syaikh Utsaimin, Perjalanan Ulama Besar Arab Saudi dari Waktu ke Waktu
Setelah bercerai dengan Nata Atmadja, Inggit menikah dengan Haji Sanusi, seorang saudagar yang tergabung dalam Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam terkenal di Indonesia pada masa itu. Karena aktivitas dan pengaruh Sanusi di Sarekat Islam, Inggit belajar banyak tentang kondisi politik di Indonesia.
Pada tahun 1916, Inggit juga berkesempatan menjadi panitia Muktamar Sarekat Islam pertama di Bandung dan bertemu dengan aktivis seperti HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim.
Dia hanya mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, sebuah sekolah Islam yang setingkat sekolah dasar. Tingkat pendidikan ini cukup baik bagi perempuan lokal pada masa kolonialisme.
Meskipun tingkat pendidikannya tidak tinggi, dia sangat baik hati dan memiliki kekuatan dan keberanian yang besar.
Baca Juga: Mengenal KPK, Komisi Antirasuah yang Dibentuk Berdasarkan Undang-Undang
Inggit Garnasih sebagai Istri Soekarno
Ketika kali pertama Soekarno dan Inggit bertemu, keduanya sudah memiliki istri dan suami sendiri. Bandung, pada tahun 1921, memberikan perasaan berbeda bagi Haji Sanusi, khususnya Inggit yang tak lain adalah istrinya.
Sebuah surat datang dari HOS Tjokroaminoto di Surabaya, memberitahu mereka bahwa putrinya, Siti Oetari, dan menantunya, Soekarno, akan segera berada di Bandung.
Kedatangan mereka, khususnya Soekarno, adalah untuk melanjutkan studi Soekarno di Technische Hooge Schhool, sebuah perguruan tinggi teknik di Bandung.
Dalam surat tersebut, Tjokroaminoto meminta bantuan Sanusi dan keluarganya untuk mencarikan kos bagi Soekarno dan Oetari di Bandung.
Saat itu, Soekarno adalah siswa terpilih di THS dan termasuk siswa lokal terpandai di Hogere Burger School (HBS), sama dengan SMA waktu itu. Apalagi status siswa di era itu masih ditegakkan.
Karena Sanusi tidak dapat menemukan rumah kos yang sesuai, ia memutuskan untuk membiarkan Soekarno dan Oetari tinggal di rumahnya bersama keluarganya. Cinta datang tanpa diundang. Inilah yang terjadi pada Soekarno dan Inggit.
Sejak pertemuan pertama mereka, Inggit telah menyembunyikan perselingkuhan pada Soekarno muda. Untungnya, perasaan Inggit bukan yang bertepuk sebelah tangan.
Bagi Soekarno, Inggit terlihat cantik, dewasa, dengan senyum dan tutur kata yang tak terlupakan. Mereka saling jatuh cinta, bahkan saat itu mereka sudah memiliki pasangan.
Seiring berjalannya waktu, kebersamaan Soekarno dan Inggit semakin erat. Sayangnya, hal itu membuat kesenjangan komunikasi antara Inggit dan Sanusi.
Sejak Soekarno datang ke rumah Sanusi, rumah itu menjadi ramai oleh pemuda-pemuda yang merupakan sahabat Soekarno. Mereka menyukai politik dan memiliki visi yang sama untuk mewujudkan kemerdekaan.
Hal ini membuat Inggit semakin sibuk karena harus menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka dalam diskusi yang diadakan di sana.
Saat itu, Inggit mulai mencari cara lain untuk mengumpulkan uang, karena biaya diskusi tidak ditanggung oleh Sanusi. Inggit tidak pernah mengeluh tentang uang.
Satu hal yang mengganggunya adalah Sanusi yang biasanya pergi pada malam hari, dan kembali pada pagi hari, untuk berjudi dan bilyar. Soekarno tidak terlalu mempermasalahkan masalah ini karena ia menghadapi masalah yang sama dengan ibu rumah tangganya.
Sejak menikah, Soekarno masih menganggap Oetari sebagai adiknya, bukan istri. Hal ini disebabkan oleh Oetari yang masih muda dan tidak memberikan kebutuhannya sebagai suami.
Pada 1923, Soekarno menceraikan Oetari dan mengembalikannya kepada orangtuanya ketika mereka berada di Surabaya. Setelah itu, Soekarno kembali ke Bandung untuk menemui Inggit.
Tak lama kemudian, Sanusi dan Inggit berbincang bersama tentang masalah ibu rumah tangga mereka. Pada akhirnya, pada tahun yang sama, ia menceraikan Inggit, dan membiarkannya menikah dan menemani Soekarno.
24 Maret 1923 menjadi tanggal penting bagi Soekarno dan Inggit, yang memiliki perbedaan usia 12 tahun dengan Inggit yang lebih tua. Mereka menikah dan mulai hidup bersama sebagai suami istri.
Sanusi sebagai mantan suami Inggit juga membantu mereka mempersiapkan pernikahan. Inggit menyadari bahwa Soekarno hanyalah seorang mahasiswa, seorang pria tanpa penghasilan.
Soekarno membutuhkan uang untuk studinya dan untuk kegiatan politiknya, tetapi ia tidak dapat memperolehnya. Untuk mengatasi masalah ini, Inggit, sebagai seorang istri, tidak hanya melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi juga mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari keluarga.
Inggit menjual bedak dan minuman jamu buatannya. Hal itu biasa dilakukannya saat masih menjadi istri Sanusi untuk mendapatkan tambahan uang yang tidak terlalu banyak.
Namun, ketika menjadi istri Soekarno, yang dilakukannya adalah menjadi penghasilan utama bagi keluarganya.
Setelah tiga tahun menikah, Inggit belum juga dikaruniai anak, karena keinginannya yang kuat untuk memiliki anak, Inggit mengadopsi adik perempuannya, putri Murtasi.
Bayi itu bernama Herawati, namun karena sering sakit, Soekarno mengganti namanya menjadi Ratna Juami. Omi, demikian ia biasa disapa, lahir pada 4 Mei 1923, dan dibawa ke rumah Inggit saat usianya masih 40 hari
Kehadiran Omi menjadi kebahagiaan baru bagi Soekarno dan Inggit. Mereka berdua mencintainya dan rumah mereka tidak lagi sepi.
Pada tahun 1926, Soekarno lulus dari THS. Inggit sangat senang dan bahagia karenanya. Inggit telah membuktikan bahwa dia adalah sukses menjadi istri yang baik bagi Soekarno.
Inggit merasa bahwa setiap pengorbanan, kerja keras, dan doa yang dia lakukan telah dikabulkan oleh Tuhan.
Soekarno ditawari pekerjaan sebagai asisten dosen di THS, namun ia menolaknya. Dia tidak ingin bekerja dengan atau untuk Belanda. Kemudian ia bersama rekannya, Anwari mendirikan biro teknik pada tahun 1926.
Sayangnya, biro tersebut tidak berjalan dengan baik karena fokus mereka sepenuhnya pada kegiatan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Mereka menutup biro dan mendirikan klub belajar. Dalam perkembangannya, klub belajar menjadi asosiasi politik dan berkembang menjadi partai. (Urmila)***
Sentimen: positif (99.8%)