Pengusaha Tolak UMP 2023 Naik Maksimal 10%, Ini Alasannya
Tirto.id Jenis Media: News
Terkait hal itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berharap pemerintah tetap mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Ketua Umum APINDO, Hariyadi B Sukamdani menekankan, menuturkan dengan adanya rencana penetapan formulasi baru dalam penghitungan kenaikan UMP/UMK 2022, pemerintah dinilai menganulir upaya bersama yang dimotori pemerintah sendiri. Terutama dalam penyusunan UU Cipta Kerja yang telah dilakukan dengan suatu upaya luar biasa.
"Jika hal itu dilakukan maka sektor padat karya, UMKM dan pencari kerja akan dirugikan," kata Haryadi dalam pernyataannya, Senin (21/11/2022).
Dia menjelaskan jika kenaikan UMP mencapai 10 persen maka sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan lainnya akan kembali mengalami kesulitan memenuhi compliance atau kepatuhan atas ketentuan legal formal karena tidak memiliki ability to pay (kemampuan untuk membayar).
Tidak hanya itu, pelaku usaha UMKM yang akan terpaksa menjalankan usaha secara informal dampaknya tidak mendapatkan dukungan program-program pemerintah dan akses pasar yang terbatas. Sementara itu, pencari kerja akan sulit mencari kerja dan semakin lama waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak mengingat sedikitnya penciptaan lapangan kerja akibat sistem pengupahan yang tidak kompetitif.
"Pemerintah mesti mempertimbangkan kebutuhan penciptaan lapangan kerja yang semakin berat dalam tujuh tahun terakhir dimana berdasar data BKPM setiap investasi 1 triliun saat ini hanya mampu menyerap 1/3 dari jumlah tenaga kerja yang tercipta dibandingkan tujuh tahun sebelumnya," jelasnya
Haryadi melanjutkan pemerintah perlu memperhatikan fakta. Terdapat 96 juta masyarakat dibiayai iuran BPJS Kesehatannya oleh pemerintah pusat.
Kemudian 35 juta dibiayai oleh pemerintah daerah karena masuk dalam kategori tidak mampu akibat tidak memiliki pekerjaan yang layak. Karena itu, APINDO mendesak agar dalam penetapan UMP/UMK 2023 pemerintah sepenuhnya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Undang - Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya Undang Undang (UU) Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam penetapan UMP/UMK, yaitu dengan mengikuti formula, variable dan sumber data pemerintah.
"Jika ketentuan dalam PP 36/2021 tentang Pengupahan tersebut diabaikan, akan semakin menekan aktivitas dunia usaha bersamaan dengan kelesuan ekonomi global pada tahun 2023," jelasnya.
Sebelumnya, APINDO telah mengungkapkan bahwa pada triwulan menjelang akhir tahun 2022 ini. Industri Padat Karya khususnya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) termasuk Pakaian Jadi (Garmen) serta Produk Alas Kaki (Footwear) semakin serius mengalami tekanan besar kelesuan pasar global yang telah dirasakan sejak awal semester kedua tahun 2022.
Penurunan Order hingga PHK Penurunan order akhir tahun 2022 dan untuk pengiriman (shipment) sampai dengan triwulan pertama tahun 2023 sudah mengalami penurunan pada kisaran 30-50 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi tersebut telah memaksa perusahaan anggota APINDO di sektor-sektor tersebut melakukan pengurangan produksi secara signifikan dan implikasinya pada pengurangan jam kerja, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).Sebagai gambaran nyata kondisi tersebut, sampai awal bulan November APINDO telah mendapatkan laporan dari anggota APINDO di Jawa Barat bahwa 111 perusahaan telah mengurangi jumlah karyawannya dan bahkan 16. Perusahaan telah menutup operasi produksinya yang menyebabkan total pengurangan karyawan sebanyak 79.316 orang di Jawa Barat.
Dari sektor alas kaki, berdasar laporan dari 37 pabrik sepatu dengan total karyawan 337.192 orang, telah melakukan PHK terhadap 25.700 karyawan karena sejak Juli – Oktober 2022 telah terjadi penurunan 45 persen order, dan untuk produksi November – Desember 2022 turun sampai dengan 51 persen.
APINDO mengingatkan pemerintah agar memikirkan dampak setiap kebijakan yang akan dikeluarkannya secara serius dengan mempertimbangkan cost & benefit-nya dengan melakukan assessment kebijakan yang akan dibuatnya agar lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan kerugian potensial yang dihasilkannya.
Lebih lanjut, pihaknya juga berharap agar Kementerian Ketenagakerjaan tidak dibebani dengan tekanan dari berbagai pihak untuk dapat mengimplementasikan peraturan perundang-undangan secara konsisten.
"Atas dasar kondisi tersebut, APINDO menolak jika pemerintah benar-benar melakukan perubahan kebijakan terkait penghitungan upah minimum 2023," pungkasnya.
Sentimen: negatif (100%)