Kasus gagal ginjal akut buka mata, pentingnya otoritas pengawas obat dan makanan yang kuat
Alinea.id Jenis Media: News
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mendorong adanya penguatan kelembagaan untuk mendukung tugas pengawasan agar berjalan lebih maksimal. Terkait hal ini, Penny menyinggung soal pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) yang sempat terhenti.
Diungkapkan Penny, BPOM selaku otoritas pengawasan obat dan makanan memiliki peran yang sangat besar untuk melakukan tugasnya. Terlebih, saat ini modus-modus penindakan pelanggaran kejahatan semakin meluas.
"Sehingga BPOM perlu mendapatkan perkuatan dan itu perlu dimulai dengan adanya undang-undang pengawasan obat dan makanan," kata Penny dalam keterangan pers, Kamis (17/11).
Penny menyebut, pelanggaran yang dilakukan industri farmasi terkait kejahatan obat hingga mengakibatkan lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak perlu dilihat sebagai pemantik. Mengingat, BPOM memerlukan sumber daya yang optimal untuk mengkoordinasikan lintas sektor dalam melakukan tugasnya.
"Dengan kondisi kejadian yang ada ini (diharapkan) semakin membuka mata kita, betapa pentingnya sebuah otoritas obat dan makanan yang kuat di negara sebesar Indonesia," ujarnya.
Disampaikan Penny, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM berperan sebagai koordinator dari pengawasan lintas sektor untuk obat dan makanan.
Sebab, imbuhnya, pengawasan obat dan makanan melibatkan banyak pihak lintas lembaga, institusi, dan pemerintahan. Sebagai koordinator, BPOM harus menjadi institusi yang mandiri.
Penny mengatakan, peran BPOM tidak hanya dalam aspek kesehatan. Namun, BPOM turut menjamin aspek keamanan mutu obat dan makanan, termasuk juga mendampingi pengembangan dari penelitian-penelitian dan pengembangan obat.
"Itu membutuhkan sumber daya yang tidak main-main, sehingga BPOM membutuhkan dukungan," tutur Penny.
Oleh karenanya, penguatan secara kelembagaan dan melalui kebijakan ini diharapkan dapat segera terwujud. Sebab, ujar Penny, otoritas pengawas obat dan makanan yang kuat akan melindungi masyarakat dari berbagai potensi risiko, serta mendukung kemajuan dunia usaha.
"Harapannya, BPOM ada di sana untuk ikut terlibat dalam pembahasan tersebut," tukas dia.
Untuk diketahui, RUU POM saat ini tengah dibahas oleh DPR. Wakil Ketua Komisi IX Emanuel Melkiades Laka Lena menyatakan, Komisi IX DPR RI mendorong BPOM untuk melakukan tugas pengawasan mulai dari tahap pre-market.
Selain itu, pengawasan juga bukan hanya dilakukan terhadap obat dan makanan. Melainkan juga minuman, kosmetika dan obat tradisional.
“Jadi, akan dibuka ruang yang lebih longgar agar Balai POM di tingkat pusat kemudian di daerah itu punya Balai Besar POM atau Balai POM Kelas A dan Kelas B, dia punya lokal POM juga dan sama yang paling kecil juga dia punya Pos POM di tingkat daerah yang melaksanakan tugas pengawasan dari berbagai produk tadi. Pengawasan ini kita dorong untuk dilakukan, mulai dari yang kita sebut dengan pre-market,” kata Melki dalam keterangannya, Selasa (15/11).
Dalam RUU POM tersebut, ujar Melki, pengawasan akan dilakukan mulai persiapan produksi dari proses bahan baku, sampai pada proses pendistribusian. Selain itu, ia juga menyinggung proses importasi bahan obat yang ternyata sebagian tidak menjadi kewenangan daripada BPOM untuk melakukan pengecekan.
Melki mengatakan, ke depan akan dilakukan pembahasan lebih lanjut dengan kementerian dan lembaga terkait agar BPOM dapat ikut campur tangan dalam pengecekan impor bahan baku obat.
“Nah ini yang ke depan memang harus dibahas lagi antara kementerian/lembaga agar ini bisa ada tangan balai POM untuk terlibat disitu untuk memastikan ini. Jadi importasi sudah akan kita lihat, kemudian bahan baku akan kita cek, kemudian proses produksi, distribusi sampai ketika di lapangan akan menjadi bagian tugas Balai POM di level bawah dan Badan POM di level pusat,” jelasnya.
Sentimen: positif (88.6%)