Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Indonesia, UGM, Dewan Pers
Kasus: penganiayaan
Tokoh Terkait
Soal RUU KUHP, Akademi UI Sebut Indonesia Butuh KUHP Buatan Sendiri
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Pemerintah Indonesia terus menggencarkan sosialisasi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Termasuk di antaranya menggandeng para akademisi dalam Forum Diskusi Publik bertema Sosialisasi RUU KUHP yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI kemarin, 16 November 2022.
Dalam diskusi yang digelar di Universitas Sebelas Maret tersebut, muncul pandangan-pandangan baru terhadap RUU KUHP tersebut.
Seperti halnya yang diungkapkan Akademisi Universitas Indonesia, Surastini Fitriasih, ia mengatakan ada pengurangan pasal dalam draf RUU KUHP tanggal 9 November 2022 dari yang sebelumnya (draf 4 Juli 2022) berjumlah 632 Pasal, kini menjadi 627 Pasal.
Baca Juga: Mahfud MD Pastikan RUU KUHP Hampir Matang, Singgung Kasus Dugaan Penganiayaan di Gontor
“Kalau kita lihat perjalanan pembentukan RUU KUHP nasional, memang cukup panjang. Berbagai masukan sudah diupayakan untuk dipertimbangkan," katanya.
"Meskipun belum sempurna, kita sudah membutuhkan KUHP buatan bangsa sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, Maka itu, marilah kita mendukung KUHP buatan Indonesia dan mudah-mudahan dapat segera disahkan,” ucap Surasti melanjutkan.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Marcus Priyo Gunarto, menjelaskan bahwa prinsip keseimbangan menjadi pertimbangan yang ditonjolkan oleh perumus RUU KUHP.
"Para perumus mencoba mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara. Yang kedua, titik keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku dan korban," ujarnya.
Baca Juga: Jokowi Ingin Diskusi Bareng Masyarakat Bahas RUU KUHP, Kominfo Siap Fasilitasi
Menurut Marcus, perjuangan bangsa ini untuk memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kebanggaan nasional itu sudah mendekati kenyataan.
"Sebab, kita tidak bisa bertahan menggunakan Wetboek van Strafrecht (WvS) yang memiliki bahasa asli bahasa Belanda. Jangan sampai penegak hukum pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketidakmengertian sumber aslinya," ucap Marcus.
Di bagian akhir, Supanto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sebelas Maret, menyatakan dukungannya untuk Indonesia mengesahkan KUHP nasional.
“Terjemahan hukum yang berasal dari Belanda masih macam-macam. Kita terkadang berbeda dalam memahami Bahasa Belanda. Politik hukum Indonesia sudah membuat kodifikasi sejak tahun 1963 yang menyerukan dengan amat sangat agar segera rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan,” kata Supanto.
Baca Juga: RUU KUHP Baru Diharapkan Tak Usik Kebebasan Pers, Dewan Pers Ungkap Rekomendasi
Forum yang dilaksanakan secara hybrid ini diharapkan menjadi sarana untuk meningkatkan pemahaman publik akan urgensi pembaruan KUHP di Indonesia agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini.
Dekan Fakultas Hukum Sebelas Maret, I Gusti Ayu Ketut Handayani, dalam sambutannya mengatakan, bahwa sosialisasi RKUHP merupakan hal yang sangat penting bagi terwujudnya sebuah produk hukum atau undang-undang dengan good process.
Ketut Handayani menambahkan bahwa dalam prinsip legalitas hukum, perumusan peraturan-peraturan harus jelas dan terperinci serta dimengerti oleh rakyat.
"Oleh karena itu, tentu acara hari ini merupakan bagian yang terpenting untuk mendukung KUHP buatan Indonesia. Tentunya transparansi dan partisipasi menjadi hal yang mutlak dan menjadi prasyarat,” katanya.***
Sentimen: positif (93.4%)