Sentimen
Positif (100%)
18 Nov 2022 : 01.50
Informasi Tambahan

BUMN: PT Pertamina

Kab/Kota: Tangki, Paris

Kasus: kecelakaan

Kombinasi Metode Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS) dan Forward Osmosis (FO)

18 Nov 2022 : 08.50 Views 3

RM.id RM.id Jenis Media: Nasional

Kombinasi Metode Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS) dan Forward Osmosis (FO)

Sumber energi dunia telah mengalami berbagai transformasi, dengan mayoritas pertama menggunakan biomassa seperti kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan energi mereka, sebelum beralih ke fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam sebagai akibat dari revolusi industri pada tahun 1900-an. Peningkatan penggunaan energi fosil meningkatkan emisi gas rumah kaca, membuat iklim menjadi tidak stabil dan menaikkan suhu bumi dan permukaan laut (Pertamina, 2020). 

Visi pengelolaan energi global ke depan difokuskan pada jalur pengurangan emisi seperti peningkatan kapasitas dan penggunaan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT), penurunan penggunaan sumber energi fosil di semua sektor, dan pemanfaatan mobil listrik. Hal ini kemudian disebut sebagai transisi energi. Beberapa negara, termasuk Korea, Jepang, dan Uni Eropa pada tahun 2050, dan China pada tahun 2060, telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih atau Net Zero Emission (IEA, 2022).

Indonesia juga prihatin dengan kemajuan EBT. Hal ini ditunjukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bahwa penggunaan EBT pada tahun 2025 dan 2050 memiliki target sebesar 23 persen dan 31 persen dari total kebutuhan energi nasional masing-masing pada tahun 2025 dan 2050.

Namun realisasi pangsa EBT baru mencapai 11,31 persen hingga tahun 2020 (KESDM, 2021). Tampaknya inisiatif untuk meningkatkan pangsa EBT menghadapi kendala berat, salah satunya adalah harga EBT yang belum kompetitif dengan energi fosil. Kemungkinan besar karena perkembangan EBT yang masih lambat, membuat ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak dan gas, terus berlanjut. 

Baca Juga : Pelabelan BPA Pada Galon Guna Ulang Disebut Diskriminatif

Minyak bumi adalah bahan bakar fosil tak terbarukan yang digunakan untuk membuat bahan bakar minyak, bensin, dan produk kimia lainnya. Sektor minyak dan gas telah memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia sejak pertengahan abad kesembilan belas ketika industrialisasi minyak dan gas modern dimulai. Menurut perkiraan dari IEA, konsumsi minyak bumi di seluruh dunia diperkirakan mencapai 100,37 juta barel per hari. Demikian pula bisnis migas di Indonesia yang telah dieksploitasi selama lebih dari 125 tahun dan mencakup wilayah kontrak karya, telah melalui banyak siklus, dan perubahan yang menuntut adaptasi.

Dewan Energi Nasional telah mempresentasikan dua kemungkinan skenario energi untuk membantu melaksanakan komitmen tersebut, pertama yaitu skenario normal dan kedua yaitu Kebijakan Energi Nasional. Skenario Kebijakan Energi Nasional ini didasarkan pada hasil kesepakatan antara Indonesia dalam Paris Agreement 2016, yaitu untuk meningkatkan bauran energi, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar berbasis karbon, dan memperluas sumber energi terbarukan untuk mengurangi konsumsi energi hingga pengurangan 26% Emisi CO2 tercapai, dari tahun 2020 hingga 2050.

Teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) merupakan salah satu metode untuk mengurangi emisi dari industri perminyakan. CCUS adalah metode dikarbonisasi industri berat berbiaya rendah dalam skala luas. CCUS memungkinkan sektor-sektor yang ada untuk tetap kompetitif, mempertahankan serta menghasilkan lapangan kerja, dan berkontribusi pada ekonomi lokal sambil bertransisi ke masa depan tanpa karbon. Meskipun belum ada aplikasi CCUS di Indonesia, penulis yakin dengan sedikit riset dan pengumpulan data, teknologi ini dapat di implementasikan.

Selain emisi, ada juga limbah yang dihasilkan dari industri perminyakan yaitu air terproduksi. Air terproduksi merupakan salah satu produk sampingan dari pengolahan minyak dan gas bumi (migas). Air tersebut dapat berasal dari air asin atau air formasi yang mengalir di atas, di bawah, atau melalui reservoir minyak. Air terproduksi juga dapat dibentuk oleh cairan dan aditif yang disuntikkan ke dalam proses produksi minyak bumi (Chandra, dkk., 2019).

Pembuangan langsung produk air yang kaya TDS ke sungai selama kegiatan di sektor minyak dan gas dapat membahayakan flora dan fauna lokal dan merusak pipa logam yang ada. Air dapat terkontaminasi oleh berbagai insiden dan kegagalan peralatan. Berbagai kecelakaan dan kegagalan peralatan, seperti ledakan sumur, pipa putus, kecelakaan tanker, dan ledakan tangki, juga dapat merusak lingkungan. 

Baca Juga : Dukung Gerakan Pekerja Perempuan Sehat, Tjiwi Kimia Sabet Penghargaan Kemenkes

Saat ini teknologi yang mulai digunakan untuk mengolah air terproduksi adalah proses forward osmosis. Proses ini memanfaatkan tekanan osmosis untuk melakukan transportasi massal. Pada dasarnya, melalui proses osmosis maju ini, air diangkut dari fase konsentrasi zat terlarut rendah ke fase konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi melalui membran osmosis maju semi-permeabel (Hizam, dkk., 2021). 

Namun, salah satu keterbatasan proses ini adalah efek polarisasi konsentrasi (CP). Studi skala industri diperlukan dan upaya lebih lanjut harus dilakukan untuk menemukan membran berkinerja tinggi yang tepat dan solusi penarikan berbiaya rendah yang sesuai untuk memanfaatkan teknologi Forward Osmosis untuk pengolahan air limbah berminyak pada skala penuh. Baik dalam konsentrasi produk dan konsentrasi air limbah, metode forward osmosis memindahkan air dari larutan umpan ke larutan penarikan. Air ini kemudian dapat dipulihkan untuk menghasilkan air bersih menggunakan langkah regenerasi larutan mentah seperti reverse osmosis. Tergantung pada karakteristik aliran efluen dan efektivitas seluruh rangkaian pengolahan, permeat yang diekstraksi dapat digunakan kembali untuk tujuan seperti pendinginan, pembilasan, atau bahkan irigasi dan air minum.

Meskipun kebijakan energi ke depan diarahkan pada penggunaan energi terbarukan, namun pangsa energi fosil, terutama minyak dan gas bumi, akan tetap dominan karena kebutuhan energi migas nasional, saat ini sebagian diperoleh dari produksi dalam negeri dan sebagian lagi dari impor. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan yaitu dengan meningkatkan kapasitas kilang melalui pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang eksisting (Refinery Development Master Plan/RDMP) serta diversifikasi BBM ke BBM lainnya. Untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi migas di masa depan, banyak tantangan yang memerlukan kebijakan dan strategi yang tepat. Mulailah bagaimana mengatasi penurunan produksi dan tingkat keberhasilan eksplorasi migas yang rendah. Kemudian masalah infrastruktur migas yang belum terintegrasi sehingga menimbulkan disparitas harga migas antar daerah. Dan faktor ekonomi antara lain inflasi dan nilai tukar rupiah (Setyono, dkk., 2021).

Alhasil, dengan menggabungkan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dan Forward Osmosis (FO), potensi penurunan emisi dan limbah di industri perminyakan dapat dimaksimalkan. Kedua teknologi ini juga telah terbukti sebagai solusi berbiaya rendah dan ramah lingkungan untuk mendekarbonisasi industri berat dalam skala besar. Keduanya dapat meningkatkan transisi dengan memungkinkan industri yang ada untuk tetap kompetitif, menciptakan dan mempertahankan lapangan kerja, dan berkontribusi pada ekonomi lokal untuk mendukung upaya Indonesia untuk bertransisi ke Net Zero Emissions pada tahun 2050.

Powered by Froala Editor

Sentimen: positif (100%)