Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Kristen, Katolik
Kab/Kota: Gunung, Banyuwangi, Kalideres, Sragen, Maumere, Sikka, Bantul, Denpasar
Kasus: kekerasan seksual
Tokoh Terkait
Dirundung karena Tak Pakai Jilbab, KPAI: Literasi dan Moderasi Beragama di Dunia Pendidikan Masih Belum Baik
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengecam kasus perundungan siswi lantaran tidak memakai jilbab di sebuah SMAN di Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Retno menilai kasus tersebut mencerminkan literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum baik.
Retno mengatakan, KPAI telah mendapatkan laporan kasus perundungan siswi berinisial S tersebut. S dikatakannya mendapatkan perundungan dari guru matematika karena tidak memakai jilbab. Akibat hal tersebut, S mengalami tekanan psikis dan merasa enggan masuk sekolah karena takut.
"Saya mengecam perundungan yang dilakukan oleh oknum guru dan sesama peserta didik terhadap anak korban karena tidak mengenakan jilbab. KPAI mencatat ada kasus serupa di Gemolong, Sragen, pada tahun 2020. Siswi tersebut akhirnya mutasi ke SMAN lain setelah mendapatkan perundungan terus-menerus, terutama oleh kakak kelas," katanya dalam keterangan pers pada Senin, 14 November 2022.
Baca Juga: Update Kasus Penemuan 4 Jenazah di Kalideres: Polisi Belum Bisa Ungkapkan Hasil Autopsi
Retno menambahkan, kasus tersebut menunjukkan bahwa literasi dan moderasi beragama di dunia pendidikan masih belum cukup baik. Kondisi ini memberi kontribusi bagi terjadinya intoleransi, seperti pelarangan maupun pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol dan identitas kepada pihak lain.
Menurutnya, diperlukan upaya pengembangan literasi dan moderasi beragama pada saat yang akan datang, baik di lingkungan pendidik maupun lingkungan sosial yang lebih luas.
KPAI mencatat pada periode 2014 sampai dengan 2022, terdapat beberapa kasus pemaksaan dalam penggunaan jilbab di beberapa daerah, seperti di salah satu SMPN di Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur (2017); satu SMAN di Rantah Hilir, Riau (2018); satu SDN di Karang Tengah, gunung kidul (2019); satu SMAN di Gemolong, Sragen (2020); satu SMKN di Kota Padang, Sumatra Barat (2021); satu SMAN di Banguntapan, Bantul (2022); salah satu SMPN di Jakarta Selatan (2022).
Retno juga menyoroti tingkah laku pemimpin di tingkat daerah dan pusat mengenai moderasi dan toleransi beragama di lingkungan pendidikan ini. Ia menilai masih sedikit pemimpin yang bijaksana menyikapi moderasi dan toleransi beragama di lingkungan pendidikan, baik itu di tingkat daerah maupun pusat.
Padahal, kehadiran pemimpin seperti itu sangat dibutuhkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Baca Juga: 5 Kejanggalan Keluarga Tewas di Kalideres, Minta Arus Listrik Diputus hingga Temuan Lilin dan Kapur Barus
"Karena kebijaksanaan, mereka tidak mewajibkan yang tidak wajib. Sebaliknya, mereka jangan melarang hal yang tidak seharusnya dilarang hukum positif yang berlaku di negeri yang majemuk ini. Kerap kali aturan seragam di sekolah merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah di wilayah tersebut," ujarnya.
Pelarangan jilbab
Retno juga menyinggung kasus yang bukan saja pemaksaan menggunakan jilbab. Tapi juga pelarangan memakai jilbab yang ada di beberapa daerah. Retno mencontohkan kasus yang terjadi di daerah Gunungsitoli, Sumatra Utara. Seorang kepala sekolah, katanya, melarang seorang murid memakai jilbab dengan alasan keseragaman. Pasalnya murid di sekolah sebagian besarnya beragama Kristen dan Katolik.
Kejadian serupa juga sempat terjadi di daerah Padang, Sumatra Barat pada tahun 2021. Retno menyebutkan, KPAI mencatat kasus pelarangan jilbab bagi peserta didik terjadi pada periode 2014 sampai 2022.
Di Bali, ada dua SMAN di Denpasar dan satu SMPN di Singaraja yang melarang peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala ke sekolah (2014); Satu SMAN di Maumere Sikka, NTT (2017); Satu SD Inpres di Wosi Manokwari, Papua (2019); dan terakhir salah satu SDN di Gunungsitoli, Sumatra Utara (2022).
Baca Juga: Buah Olah TKP, Polisi Temukan Bungkus Makanan di Rumah Korban Tewas Kalideres
"Melarang maupun mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab merupakan pelanggaran hak-hak anak," ujar Retno.
Koordinasi dua kementerian
Sebelumnya, Kementerian Agama telah berkoordinasi dan mendiskusikan penguatan moderasi beragama di sekolah dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Selasa, 7 November 2022.
Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Kemenag, Amrullah mengatakan, proses diskusi bersama Kemendikbudristek terus dilakukan karena karakteristik sekolah dan perguruan tinggi umum lebih beragam, baik dari segi adat istiadat, bahasa maupun agama. Hal itu juga sejalan dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 Tahun 2022 tentang Tahun Toleransi 2022.
“Di dalam KMA tersebut dinyatakan bahwa di dalam tahun toleransi 2022 ini terdapat program pembangunan ekosistem dunia pendidikan yang menumbuhkembangkan nilai toleransi yang harus dikoordinasikan dengan Kemendikbudristek,” kata Amrullah dalam keterangan persnya.
Amrullah menuturkan, progam moderasi beragama menjadi penting dilakukan di sekolah, karena selain menjadi bagian program prioritas Kemenag, moderasi beragama merupakan salah satu modal yang perlu dimiliki setiap individu dalam menjalankan peran sosial di tengah masyarakat yang multikultural.
Menurutnya, indikator moderasi beragama ada empat hal, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan terhadap tradisi.
"Nilai toleransi merupakan bagian penting dari moderasi beragama, karena kita hidup di sebuah alam yang transnasional dan bergerak sedemikian rupa karena itu diharapkan kita memiliki pondasi yang kuat," ujar Amrullah.
Staf Khusus Mendikbudristek Bidang Kompetensi dan Manajemen Pramoda, Dei Sudarmo mengatakan, Kemendikbudristek berkeinginan agar seluruh sekolah dapat membangun toleransi dan keragaman agama yang terjalin secara harmonis dan rukun.
"Kami mendukung penuh upaya Kementerian Agama dalam program Moderasi Beragama, yang di dalamnya terkandung penguatan toleransi dan kami siap bekerjasama untuk masa depan anak bangsa yang lebih baik," kata Dei.
Ia mengungkapkan, Mendikbudristek Nadiem Makarim mendorong agar toleransi dan keberagaman disuarakan dari dunia pendidikan. Intoleransi adalah satu dari tiga ”dosa” dunia pendidikan saat ini. Dua lainnya adalah kekerasan seksual dan perundungan.
Menurutnya, Kemendikbudristek berkomitmen bahwa segala bentuk intoleransi tidak akan dibiarkan terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Praktek intoleransi merupakan dosa besar dunia pendidikan. Karena itu ekosistem yang tidak kondusif seperti praktek intoleran, tidak boleh dibiarkan ada di lingkungan pendidikan.***
Sentimen: positif (88.8%)