Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung
Kasus: pembunuhan, korupsi
Tokoh Terkait
Sudrajad Dimyati
Mencari Pahlawan Penegakan Hukum
Kompas.com Jenis Media: Nasional
PERINGATAN Hari Pahlawan 10 November 2022, dihadiahi dengan ditetapkan tersangka baru Hakim Agung dalam kasus OTT Sudrajad Dimyati.
Padahal persoalan pembunuhan anggota Kepolisian oleh salah satu pimpinan Polri bernama Ferdy Sambo masih terus membayangi layar televisi Indonesia.
Walhasil, realitas horor tentang budaya hukum di Indonesia telah mengubah cara bangsa Indonesia dalam bernegara.
Fenomena gunung esMenurut Edward Twitchell Hall, budaya dimetaforakan sebagai gunung es (Ice Berg Theory). Puncak gunung es merupakan presentasi 10 persen yang dapat dilihat nyata oleh publik.
Adapun hal-hal yang tidak nampak di bawah permukaan laut biasanya berbobot 90 persen sebuah kebudayaan.
Bagian dalam gunung es merupakan representasi budaya organisasi, yang terdiri dari sistem nilai, keyakinan, falsafah, norma, peraturan dan cara beripikir dalam sebuah organisasi.
Fenomena ditetapkannya Hakim Agung dan petinggi Kepolisian sebagai tersangka kasus berat merupakan pucuk gunung es yang menyingkap budaya hukum yang sedang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan Ice Berg Theory, penampakan kasus Sudrajat Dimyati dan Ferdy Sambo menunjukkan buruknya sistem nilai dan organisasi penegakkan hukum di Indonesia.
Hal ini menandakan, apa yang mungkin terjadi dalam tubuh Mahkamah Agung dan Kepolisian bisa lebih besar dan lebih buruk daripada yang ditampilkan oleh kasus Sudrajat Dimyati dan Ferdy Sambo.
Budaya hukum yang dinampakkan saat ini memberikan pesan kepada anggota di luar institusi penegakkan hukum.
Cara hidup, perilaku, kepribadian, gaya koruptif dan sewenang-wenang memberikan pengaruh kepada anggota dan orang-orang yang ada di luar organisasi untuk berperilaku dengan cara demikian.
Pesan ini yang berbahaya; Masyarakat pada umumnya bisa saja berpikir bahwa hanya dengan cara menyuap dan membeking polisi baru akan dapat keadilan.
Jika perilaku ini terus diyakini, bisa jadi perilaku koruptif tersebut dapat menjadi adat istiadat penegakkan hukum di Indonesia.
KebiasaanSebuah perilaku akan menjadi kebiasaan (habits) jika dilakukan berulang-ulang. Dollard dan Miller menyatakan bahwa kebiasaan lahir dari stimulus respons yang bertahan lama dalam kepribadian.
Secara sederhana, kebiasaan dihasilkan dari pengulangan yang ekstensif dalam diri seseorang.
Hal-hal yang ditampakkan dalam wajah penegakkan hukum saat ini memberikan respons kepada masyarakat dengan berbagai pengaruh.
Melalui persidangan non-stop Sambo yang ditampilkan di layar televisi nampak memberikan stimulus dalam kepribadian masyarakat tentang betapa rumitnya menemukan kebenaran dan mudahnya rekayasa kejahatan dilakukan.
Pengulangan yang ditampilkan tersebut, bisa saja terserap- sedikit demi sedikit, pada orang-orang tua, muda, kaya dan miskin untuk berubah menjadi koruptif dan penuh rekayasa seperti Sambo.
Begitupun dengan kasus korupsi di Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Hakim Agung, bisa saja kasus ini memberikan respons budaya suap menyuap dalam berbagai tingkat pengadilan.
Atomic HabitsParahnya lagi, kebobrokan ini selalu saja dicoba untuk dijustifikasi; “mungkin saja ini hanya oknum!”. Hal inilah yang justru paling berbahaya, yakni dengan membiasakan hal-hal buruk kecil menjadi hal yang normal. Konsep inilah yang disebut oleh James Clear sebagai atomic habits.
Kebiasaan untuk meremehkan penyimpangan dan menganggapnya bukan sebagai hal penting merupakan bentuk kebiasaan yang sangat berbahaya.
Menurut James Clear, penyimpangan kecil sebenarnya akan mengakumulasikan ratusan dan ribuan keputusan kecil yang membawa pengaruh luar biasa.
Oleh karenanya, menganggap perkara penegakkan hukum ini sebagai isu biasa, kasuistis yang dilakukan oknum, sama saja dengan menyepelekan kebiasaan buruk ini.
Hingga saat ini, berbagai petinggi negara belum memberikan respons luar biasa terhadap runtuhnya kebudayaan hukum ini.
Pendekatan hukum khusus, upaya perbaikan budaya hukum dan counter culture penting dilakukan untuk memberikan pesan penting kepada warga negara; “budaya hukum perlu diselamatkan!”
Pemberian respons ini penting untuk memberikan stimulus pada psikologi warga negara, bahwa hal tersebut bukanlah yang wajar dan perlu diperbaiki.
PahlawanPada peringatan Hari Pahlawan 2022, saat yang tepat untuk melakukan refleksi mendalam mengenai jiwa-jiwa kepahlawanan.
Konon, kata pahlawan dalam Bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari Bahasa Arab dari kata “pahala”.
Pahala merupakan ganjaran yang didapat manusia akibat dari perbuatan baiknya, ganjaran dari Tuhan bukan ganjaran dari manusia.
Inti dari unsur kepahlawanan adalah pengorbanan tanpa pamrih. Para pahlawan sudah melupakan balasan materalis dari setiap perbuatan baiknya.
Para pahlawan sudah melewati batas obsesi kebutuhan harta benda dan kekuasaan sebagai pamrih dari perbuatan baiknya.
Bahkan diri sendiri harus dikorbankan demi cita-cita kebaikan, bukan cita-cita kebaikan pribadi tapi kebaikan bagi orang banyak.
Melihat fenomena mengkhawatirkan di institusi penegakan hukum seperti digambarkan di awal tulisan ini, nampaknya kita merindukan para pahlawan.
Orang yang mengurusi penegakan hukum dan penjaga keamanan warga bukan dengan motivasi materialistis belaka.
Aparat penegakan hukum dan penjaga keamanan masyarakat dengan motivasi memperkaya diri dan keuntungan materil lainnya sudah dianggap wajar.
Sekarang ini mulai banyak orang yang ditangkap aparat baik di jalan maupun operasi penertiban lainnya merasa itu semua bukan demi ketertiban umum. Perasaan yang timbul, ini untuk memberi makan para penegak hukum.
Saat ini mungkin kita tidak perlu para pahlawan tanpa pamrih karena kriteria itu terlalu berat. Cukup para penegak hukum yang bekerja bukan dengan obsesi keuntungan pribadi semata.
Jangan sampai ada anggapan bahwa semakin banyak pelanggaran semakin untung para penegak hukum.
Jiwa kepahlawanan ini sejatinya selalu dirindukan oleh semua orang. Hilangnya jiwa kepahlawanan pada aparat penegak hukum menjadikan impian keadilan diimajinasikan pada Batman, Superman, dan kawanan The Avengers.
Seolah-olah ilusi mengenai keadilan hanya dapat ditemukan pada tokoh-tokoh fiktif. Alhasil, masyarakat hanya dapat berharap pada ilusi fiksi dalam penerapan hukum karena sudah putus asa dengan yang nyata. Wallahualambishoab.
-. - "-", -. -Sentimen: positif (99.6%)