Sentimen
Positif (100%)
10 Nov 2022 : 22.53
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Hasanuddin

Kab/Kota: Penggilingan

Tokoh Terkait

Jokowi Optimis 5 Tahun Kedepan Swasembada Gula, Pengamat Sebut Ada Faktor Pendukung yang Mesti Dipenuhi

11 Nov 2022 : 05.53 Views 2

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Jokowi Optimis 5 Tahun Kedepan Swasembada Gula, Pengamat Sebut Ada Faktor Pendukung yang Mesti Dipenuhi

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR - Presiden Jokowi begitu optimis bahwa Indonesia dalam 5 tahun ke depan akan swasembada gula.

Optimisme Presiden tersebut, usai dirinya meninjau langsung proses penanaman varietas tebu di Kebun Tebu Temu Giring.

Pengamat Pertanian Unhas (Universitas Hasanuddin) Makassar Prof Muhammad Arsyad, kepada fajar.co.id menuturkan, masyarakat mesti menyambut gembira pernyataan Presiden tersebut.

"Tentu saja kita semua senang bahwa ada optimisme Presiden Jokowi untuk swasembada gula nasional lima tahun kedepan," ujar Prof Muhammad Arsyad, kemarin.

Namun, menurut Wasekjen PERHEPI (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) itu, optimisme Presiden Jokowi bisa dicapai sepanjang faktor pendukung upaya swasembada itu terpenuhi dengan baik.

"Pertama, tidak mungkin kita swasembada gula tanpa perluasan areal perkebunan tebu, baik perkebunan negara (PTPN) maupun tebu rakyat dan swasta," lanjutnya.

Tambah dia, faktor pendukung selanjutnya, indikator produktivitas perkebunan tebu juga harus dapat ditingkatkan.

Menurutnya, Pemerintah perlu berupaya keras untuk memenuhi prasyarat tersebut. Pemerintah perlu membenahi aspek kelembagaan produksi tebu dan pemasaran gula.

"Konektivitas antara perkebunan tebu dan penggilingan akhir (Pabrik Gula, PG) itu menjadi sangat krusial bagi pengembangan gula nasional," bebernya.

"Meskipun perkebunan tebu bagus, tetapi tidak dibarengi dengan kapasitas pabrik penggilingan yang memadai, ini juga akan sulit. Teknologi mesin di pabrik yang sebagiannya mulai menua, ini perlu menjadi concern karena akan sangat mempengaruhi mutu gula yang diproduksi," sambung dia.

Selanjutnya, tutur Prof Muhammad Arsyad, Pemerintah perlu menata perolehan pendapatan seluruh stakeholders yang terlibat di sepanjang rantai produksi dan pemasaran gula, terutama tenaga kerja yang ada di perkebunan tebu.

"Kalau petani yang bekerja di perkebunan tebu tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum rumah tangganya, maka mereka akan memilih untuk meninggalkan perkebunan tebu dan pindah ke kesempatan kerja lainnya yg juga memang sangat butuh tenaga kerja," tambahnya.

Artinya, kata dia. Perkebunan harus mampu memiliki daya tarik sehingga minat pekerja tebu bisa bertahan untuk bekerja di sektor perkebunan tebu.

Hal itu dikarenakan meskipun Pabrik Gula (PG) Swasta yang memiliki lahan perkebunan tebu sendiri, tetapi tidak punya tenaga kerja, itu jelas sulit bertahan.

"Jadi jangan membayangkan swasembada gula kalau tidak ada tenaga kerja yang ingin menjadi petani tebu. Tanaman tebu ini kan memiliki keunikan tersendiri dibanding tanaman perkebunan lainnya," tukasnya.

Tambahnya, perkebunan tebu mensyaratkan ‘labor intensive’ terutama di wilayah-wilayah perkebunan tebu dengan topografi berbukit dan hampir tidak dapat mengintroduksi teknologi atau mekanisasi perkebunan.

Dengan begitu, tenaga kerja di lapangan sebagai pengganti mesin-mesin perkebunan dan pemanenan menjadi sangat krusial. Karena kelambatan proses tanam akibat kurangnya tenaga kerja, pemeliharaan (terutama pemupukan), panen dan pengangkutan tebu dari perkebunan ke pabrik itu sangat mempengaruhi rendemen tebu.

"Artinya, tenaga kerja di perkebunan tebu akan sangat mempengaruhi produksi gula. Ini punya rentetan dampak. Kalau tenaga kerja kurang, kan kita tidak mungkin melakukan perluasan areal perkebunan tebu secara berlebihan, karena siapa yang akan bekerja untuk itu," imbuhnya.

Konsekuensinya, akan sulit meningkatkan produktivitas perkebunan. Pilihannya adalah mengimpor tenaga kerja dari luar wilayah perkebunan. Ini juga tidak mudah karena perusahaan perkebunan akan menanggung biaya yang cukup besar jika didatangkan dari luar wilayah perkebunan. Sehingga menarik minat tenaga kerja lokal (sekitar perkebunan) menjadi salah satu rute terbaik pertahanan produksi perkebunan tebu.

Hal lain yang perlu digerakkan oleh pemerintah adalah bagaimana agar petani tertarik menanam tebu, terutama di wilayah-wilayah perluasan areal perkebunan baru diluar jawa. Perlu dicatat bahwa masa tunggu panen tebu ini kan hampir setahun, ya 11 sampai 12 bulan.

Apalagi jika ada potensi kerugian petani ditahun pertama, ini juga menjadi faktor penentu apakah petani melanjutkan perkebunan atau tidak di tahun kedua atau ketiga. Memang masih dominan petani bertahan karena ya mereka masih berharap bisa untung di tahun kedua dan ketiga, toh juga tebu masih tumbuh bahkan berumbi berikutnya, tinggal dipelihara.

Hal itu membawa pesan penting bahwa petani tebu butuh support dari pemerintah untuk bisa bertahan bekerja selama masa tunggu panen tersebut. Ini sekaligus mensyaratkan modal untuk menanam tebu, jadi dukungan perbankan atau Lembaga keuangan non-bank itu sangat krusial untuk mendukung swasembada gula nasional.

"Kemudian model kemitraan inti-plasma juga memang masih dapat menjadi alternatif untuk pengembangan produksi perkebunan, tetapi perlu penataan pilihan keputusan ‘bagi hasil’ dan ‘sistem beli putus’ di perkebunan dan pabrik, atau kombinasi dari keduanya yang saling menguntungkan," ujarnya.

Point kritis lainnya dalam upaya menopang upaya swasembada gula menurut Guru besar Unhas itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan supply bahan baku tebu dan tingkat rendemen. Jika produksi tebu kurang, maka akan berdampak pada potensi pabrik untuk gulung tikar.

Banyak Pabrik Gula (PG) yang tutup karena pasokan bahan baku tebu tidak lagi mensupport kapasitas optimum pabrik. Apalagi mengingat tingkat rendemen PG terlalu rendah yang tidak menguntungkan petani tebu. Pilihannya, jika bahan baku tebu kurang, pasti PG akan shut-down. Jika PG shut-down, maka produksi gula akan turun, swasembada sulit.

"Tantangan utama swasembada gula ini kan tidak sederhana. Tiga diantaranya adalah stabilisasi produksi gula, tingkat konsumsi yang makin tinggi serta potensi tidak efisiennya PG. Karena konsumsi gula bukan hanya untuk direct consumption, tetapi penggunaan gula di industri makanan dan minuman itu (indirect consumption) juga sangat tinggi," terangnya.

Artinya pemerintah harus tetap mampu mempertahankan sentra-sentra PG yang dominan berkontribusi pada produksi gula nasional, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung dan sebagian Sulawesi. Selain itu, opsi perluasan perkebunan tebu perlu dilakukan secara intensif keluar Jawa untuk menopang swasembada gula, termasuk pendirian PG yang berkapasitas produksi tinggi dengan memperhitungkan (sekali lagi) suplai bahan baku tebu untuk memperkuat kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional.

Dengan kata lain, pemerintah perlu mencoba skenario terbaik kebijakan perkebunan tebu dan industry gula nasional untuk lima tahun kedepan. Boleh basis perluasan lahan, produktivitas, rendemen PG, perolehan sarana produksi (terutama akses pupuk) untuk siklus lanjutan produksi, ketersediaan tenaga kerja dan penguatan kelembagaan. Jadi bisa dikalkulasi, kira-kira berapa persen perubahan semua basis ini yang menyebabkan Indonesia bisa swasembada gula lima tahun kedepan.

Khusus untuk aspek penguatan kelembagaan produksi perkebunan tebu (on farm dan off farm), pemerintah memang perlu menyusun program strategis berjangka untuk pertahanan produksi tebu dan PG. Boleh dalam bentuk pendampingan petani tebu (best practices, perlakuan terhadap tanaman tebu), penambahan SDM perkebunan untuk kualitas manajemen, penguatan kemitraan petani tebu dengan perkebunan dan PG, penumbuhan minat petani atau kelompok tani terhadap perkebunan tebu dan dukungan sumberdaya modal terutama bagi petani tebu rakyat.

Untuk mensupport optimisme Presiden, diperlukan penguatan fungsi koordinasi antar lembaga atau kelembagaan yang terlibat di sepanjang rantai penguatan perkebunan tebu dan PG secara menyeluruh baik langsung maupun tidak langsung.

"Jadi pemerintah perlu mengurai lembaga-lembaga mana yang sebenarnya diharapkan berperan vital dalam penumbuhan produksi tebu dan industry gula nasional secara berkelanjutan," tandasnya.

Mulai dari petani tebu dan asosiasinya, kementerian, dinas terkait, perguruan tinggi, lembaga penelitian atau badan riset, perusahaan perkebunan baik negara maupun swasta dan lembaga keuangan yang akan menopang industri gula nasional.

"Singkatnya, kalau kita ingin swasembada gula, maka pengelolaan perkebunan tebu dan industri gula nasional ini pendekatannya harus suatu sistem yang terintegrasi, sehingga dapat menghasilkan efisiensi di semua lini," pugnkasnya.

(Muhsin/fajar)

Sentimen: positif (100%)