Sentimen
Positif (50%)
8 Nov 2022 : 10.03

Konsumen dan Kasus Obat Sirop

8 Nov 2022 : 17.03 Views 2

Bisnis.com Bisnis.com Jenis Media: Nasional

Konsumen dan Kasus Obat Sirop

Bisnis.com, JAKARTA - Dugaan gangguan ginjal akut pada anak anak di Indo­ne­sia aki­bat konsumsi obat sirop kian meluas dan jumlah korban yang berhasil teridentifikasi juga makin bertambah. Berdasarkan penelitian dan penyelidikan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa gangguan ginjal akut progresif atipikal disebabkan oleh paparan zat pelarut pada obat sediaan sirop.

Sesuai rilis Kementerian Kesehatan kondisi ini merupa­kan kondisi yang serius ka­rena telah mengakibatkan le­bih dari 150 kasus kematian pada anak dan lebih dari 400 kasus gangguan ginjal anak di sekurangnya 22 Provinsi. Kasus perlindungan konsumen yang melibatkan masyarakat luas di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Perlu menjadi catatan bahwa pada 2018 yang lalu telah terjadi kasus yang hampir mirip, kalau itu dikenal dengan kasus ‘susu kental manis’ versus ‘cairan kental manis’. Kala itu ditemukan fakta setelah sekian lama susu kental manis di­pro­duksi bahwa susu kental ma­­nis yang selama ini beredar tidak mengandung padatan susu, hanya mengandung le­mak susu 8 persen dan protein 6,5 persen sehingga tidak dapat di­kua­li­fikasikan sebagai susu te­ta­pi hanya dapat didefinisi­kan sebagai cairan kental ma­nis yang tidak dapat di­kon­sum­si secara tunggal.

Langkah BPOM kala itu menerbitkan Surat Edar­an Nomor HK. 06.5.51.511.05.18.2000/2018 bu­kan merupakan langkah yang solutif bagi perlindungan kon­sumen, mengingat dalam edar­an tersebut hanya mengatur dari sisi advertisement yang diharapkan akan mampu membangun perspektif baru akan susu kental manis.

Perlindungan konsu­men yang melibatkan ma­sya­ra­kat luas di Indonesia kem­bali terulang yakni da­lam kasus obat sirop. Ka­sus ini jelas menjadi ka­sus perlindungan konsu­men yang bahkan lebih serius dari kasus konsumen susu kental manis yang tecermin dari diterbitkannya Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Penyelidikan Epidemiologi Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Pad Anak serta Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Atipikal Pada Anak.

Dua aturan tersebut me­nun­juk­kan betapa seriusnya dam­pak kasus obat sirop, tetapi kedua aturan itu le­bih bersifat penanganan ka­sus obat sirop. Mengacu da­ri dua kasus besar perlindung­an konsumen yang terja­di secara berurutan dalam be­be­rapa tahun terakhir hal ini menunjukkan bahwa upa­ya pencegahan agar konsu­men tidak menjadi korban oleh instansi terkait dalam hal ini kementerian kesehat­an dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Michael Holzhauser (2022), ahli hukum perlindungan konsumen Uni Eropa menguraikan bahwa pemerintah dan instansi terkait harus memprioritaskan perlindungan konsumen pada produk yang berdampak luas seperti obat dan makanan karena dikonsumsi secara luas. Demikian pula penegakan hukum pada kasus-kasus konsumen yang berdampak luas harus dilaksanakan dengan prioritas yang tinggi untuk menciptakan efek jera bagi pelaku usaha yang memiliki intensi merugikan konsumen atau untuk menghindari kelalaian pelaku usaha yang berdampak serius.

Saat ini guna menghindari terus berulangnya kasus perlindungan konsumen khususnya yang berkaitan dengan kon­sumen obat dan makanan ma­ka ada dua hal yang harus di­la­kukan. Per­ta­ma, upaya preventif yakni BPOM dan Kemenkes harus me­nyaring kualitas obat dan ma­kanan yang layak diberikan izin untuk beredar secara luas di masyarakat. Demikian pu­la BPOM dan Kemenkes ha­rus mengoptimalkan agenda pengawasan pada barang (se­diaan obat dan makanan) yang diproduksi pelaku usa­ha.

Jika pemerintah dalam hal ini BPOM dan Kemenkes telah memberikan izin untuk peredaran obat dan makanan serta telah melakukan pengawasan sesuai kewenangannya maka jika terjadi kasus perlindungan konsumen maka BPOM dan Kemenkes juga harus turut bertanggung jawab atas terjadinya kasus tersebut mengingat hal itu artinya ada kelalaian pada prosedur pemberian izin dan pengawasannya.

Kedua, upaya penegakan hukumnya (enforcement) adalah dalam kasus obat sirop ini ada dua model penegakan hukum yang dapat dilakukan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku usaha jika terbukti merugikan masyarakat luas untuk menciptakan efek jera agar tidak berulang kembali kasus serius sejenis. Upaya melalui jalur pidana dapat dilakukan melalui Pasal 19 UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Khususnya dalam Pasal 19 ayat (4) UUPK menjelaskan bahwa sekali pun ada pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 UUPK tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Artinya dalam hal ini baik masyarakat korban, Kemenkes dan BPOM harus berani menginisiasi proses pidana guna memastikan perlindungan kepada konsumen serta bagi pelaku usaha agar jelas bahwa hanya produk sirop tertentu yang melakukan pelanggaran sehingga tidak semua pelaku usaha, khususnya dengan terungkapnya kasus ini maka bagi pelaku usaha yang tidak melanggar dan tidak lalai menjadi tidak terdampak penjualan dan peredaran barangnya.

Demikian pula Pasal 19 UUPK ini jelas menyangkut ‘product liability’ bagi pelaku usaha artinya selain dapat diselesaikan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) maupun tuntutan pidana maka ‘product liability’ dapat ditegakkan melalui gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) mengingat jumlah korban dalam kasus obat sirop ini cukup banyak, meskipun tantangan dalam gugatan class action ini adalah membuktikan adanya kerugian, gejala serta dampak yang sama dari pelaku usaha yang sama mengingat obat sirop yang dikonsumsi bisa saja berbeda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam Masuk / Daftar

Sentimen: positif (50%)