Sentimen
Netral (50%)
5 Nov 2022 : 04.00
Informasi Tambahan

BUMN: Garuda Indonesia

Kab/Kota: Pontianak, Kepulauan Seribu

Kasus: kecelakaan

Jelang Jatuh, Pilot Sriwijaya Tak Sadar Pesawat Berubah Arah

5 Nov 2022 : 11.00 Views 2

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

Jelang Jatuh, Pilot Sriwijaya Tak Sadar Pesawat Berubah Arah

Jakarta, CNBC Indonesia - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memberikan tiga rekomendasi untuk Sriwijaya Air, dari hasil investigasi yang dilakukan imbas jatuhnya pesawat SJ 182 Jakarta - Pontianak pada 9 Januari 2021 lalu.

Beberapa fakta menunjukkan antara lain soal pilot tak sadar bahwa pesawat yang dikendalikannya berubah arah sebelum jatuh ke laut Kepulauan Seribu Jakarta Utara. Pasca kejadian itu, ada beberapa rekomendasi yang diberikan KNKT.

Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo menjelaskan sampai saat ini ada beberapa hal yang harus ditingkatkan dari Sriwijaya Air. Sehingga dia memberikan tiga rekomendasi.

-

-

"Untuk berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebelum melakukan perubahan prosedur terbang dan meminta NTO (No Technical Objection) dari pabrikan pesawat udara sebelum melakukan perubahan prosedur yang sudah ada di buku panduan yang siapkan oleh pabrikan pesawat," kata Nurcahyo, di RDP Komisi V Dikutip, Jumat (4/11/2022).

Selain itu KNKT juga meminta untuk meningkatkan jumlah pengunduhan data dalam flight data analysis program (FDAP) untuk peningkatan operasi penerbangan.

"Dari data yang kami peroleh rata-rata pengunduhan data FDAP dari Sriwijaya Air berkisar 53%. Hal ini terdapat pada adanya hal-hal tidak lepas dari pemantauan," katanya.

Sehingga banyak informasi yang tidak terpantau. Nurcahyo menjelaskan pesawat Boeing 737-500 dengan registrasi PK-CLC yang mengalami kecelakaan di perairan Kepulauan Seribu itu 10 bulan sebelum kecelakaan pernah mengalami kondisi asimetri juga, tapi tidak diketahui Sriwijaya Air.

Terakhir, Sriwijaya juga diminta untuk menekankan pelaporan bahaya (hazard) kepada seluruh pegawai.

Nurcahyo menjelaskan pelaporan hazard saat ini, atau sampai dengan proses melakukan investigasi masih didominasi oleh ground handling dan security. Sedangkan pilot, pramugari, dan engineer masih sedikit pelaporannya.

Dalam kesempatan itu KNKT juga menjelaskan saat ini sudah menerima tindakan perbaikan guna mencegah kecelakaan dengan penyebab yang sama, mulai dari perubahan perubahan regulasi dan panduan. Selain itu, juga perubahan sistem perawatan pesawat dan pelatihan pilot dari Sriwijaya Air. Juga pemeriksaan perubahan spoiler pesawat.

Garuda Maintenance Facility, juga melaporkan adanya Cockpit Voice Recorder (CVR) pada diperiksa 2019, dimana ditemukan noise pada channel 4 namun dinyatakan kondisinya baik. Sehingga GMF saat ini sudah mengubah prosedur pemeriksaan blackbox.

Fakta Mengejutkan

Dalam laporannya ada temuan menarik dari kejadian naas yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat (9/1/2021) lalu. KNKT mengungkapkan beberapa hasil analisis yang telah dilakukan yang dilakukan hampir 2 tahun ini.

Berikut beberapa hasil analisisnya:

1. Gangguan Sistem Mekanikal Auto-Throttle

Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo mengungkapkan pesawat saat mau menanjak terjadi perubahan mode autopilot yang sebelumnya menggunakan komputer berpindah menjadi mode control panel.

"Perubahan ini nampaknya membutuhkan tenaga mesin yang lebih sedikit. normalnya autothrottle akan menggerakkan kedua thrust lever mundur untuk mengurangi tenaga mesin," jelasnya.

Selain itu Auto-Throttle tidak dapat menggerakkan thrust lever kanan, dan tim investigasi meyakini adanya gangguan pada sistem mekanikal, bukan pada komputer.

Selain itu tidak berkurangnya tenaga mesin sebelah kanan, menjadikan thrust lever atau tuas dorong yang ditemukan dalam kokpit sebelah kiri, mengurangi tenaga mesin untuk mengkompensasi kebutuhan autopilot. Hingga menimbulkan perbedaan posisi yang sebut sebagai asimetri.

Selanjutnya menjelang ketinggian 11.000 kaki, permintaan tenaga mesin semakin berkurang, yang membuat thrust lever sebelah kiri semakin mundur.

"Karena thrust lever sebelah kanan tidak bergerak maka thrust lever sebelah kiri terus mengurangi tenaganya sehingga perbedaan tenaga mesin makin besar," jelasnya.

2. Perubahan Autothrottle Terlambat

Pesawat ini telah dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTMS) yang berfungsi menonaktifkan auto-throttle jika terjadi asimetri, untuk mencegah perbedaan tenaga mesin.

Nurcahyo menjelaskan salah satu syarat supaya penonaktifan auto-throttle terjadi antara flight spoiler membuka lebih dari 2,5 derajat selama minimum 1,5 detik. Kondisi tercapai pada pukul 14.39.40 WIB saat pesawat berbelok ke kanan dengan sudut 15 derajat, tetapi auto-throttle tetap aktif.

Setelah itu pukul 14.40 WIB autothrottle menjadi non aktif. Keterlambatan ini diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah disebabkan karena penyetelan (rigging) pada flight spoiler.

Penyetelan (rigging) belum pernah dilakukan di Indonesia. karena hanya diperlukan jika ada pelepasan atau penggantian flight spoiler.

3. Pesawat Berbelok Ke Kiri

Dari kondisi asimetri ini menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membelokkan pesawat ke sebelah kiri.

Gaya ke kiri lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan oleh aileron dan flight spoiler, sehingga pesawat berbelok ke kiri.

"Dalam ketinggian menjelang 11.000 kaki, pesawat yang tadinya sedang berbelok ke kanan karena perubahan posisi thrust lever kiri, akhirnya pesawat jadi datar tidak berbelok lalu berpindah belok ke kiri, dari sini diketahui gaya yang membelokkan ke kanan lebih kecil dari gaya yang membelokkan ke kiri karena perbedaan tenaga mesin," jelasnya.

4. Pilot Tidak Sadar Pesawat Berubah Arah

Nurcahyo menjelaskan perubahan yang terjadi di kokpit antara lain perubahan posisi thrust lever, penunjukan indikator mesin, perubahan sikap pesawat yang tergambar pada EADI (Electronic Attitude Direction Indicator) tidak yang tidak disadari oleh pilot. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kepercayaan (complacency terhadap sistem otomatisasi).

"Perubahan tidak disadari pilot, kami kebetulan dari CVR kami mendapatkan suara kapten tidak terkam. Namun ada dugaan kapten tidak menggunakan headset," katanya.

Selain itu juga microphone dalam kokpit juga terganggu suara bising atau noise. sehingga tidak bisa menganalisa apa saja perintah Pilot kepada ko-pilot. Meski suara ko-pilot masih terdengar.

"Perubahan dari pesawat dari pilotnya kami tidak tahu apa yang terjadi. tapi asumsi kami pilotnya percaya kepada sistem otomatisasi kepada pesawat," katanya.

Selain itu kemudi juga berbelok ke kanan saat saat pesawat sudah berbelok ke kiri. sehingga kondisi tersebut merupakan confirmation bias.

Sehingga complacency terhadap sistem otomatisasi dan confirmation bias menyebabkan kurangnya monitor pada instrumen dan kondisi lain yang terjadi.

5. Tindakan Pemulihan Tidak Sesuai

Dari kondisi kemudi miring ke kanan, sementara pesawat berbelok ke kiri, lalu disusul peringatan kemiringan yang berlebih (bank angle warning) lebih dari 35 derajat.

Kurangnya monitoring pada instrumen pada posisi kemudi yang miring ke kanan, membuat menimbulkan asumsi bahwa pesawat miring ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.

"Perubahan asumsi dan kurangnya monitor tadi berakibat pada upaya recovery pilot tidak sesuai. FDR mencatat 4 detik pertama pilot membelokan pesawat ke kiri. Sementara pesawat sedang berlebih ke kiri," katanya.

Selain itu belum adanya aturan tentang Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) berpengaruh pada pelatihan yang dilaksanakan maskapai.

Kesimpulan Hasil Investigasi

Nurcahyo menjelaskan tiga kesimpulan kecelakaan yang terjadi. Mulai dari tahapan perbaikan sistem auto - throttle yang belum mencapai bagian mekanikal

Kedua, Thrust lever kanan yang tidak mundur sesuai permintaan autopilot karena hambatan pada sistem mekanikal dan thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri

ketiga, keterlambatan CTMS memutus autothrottle pada saat asimetri karena flight spoiler yang memberikan nilai tenaga rendah, yang berakibat asimetri semakin besar.

keempat, complacency pada otomatisasi dan confirmation bias mungkin telah berakibat kurangnya monitor sehingga tidak disadari adanya asimetri dan penyimpangan arah penerbangan

kelima, pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan, sementara itu kemudi miring ke kanan dan kurangnya monitoring mungkin telah menimbulkan asumsi pesawat berbelok ke kanan sehingga tindak pemulihan tidak sesuai,

keenam, belum adanya aturan panduan tentang upset prevention and recovery training yang mempengaruhi proses pelatihan oleh maskapai untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.


[-]

-

27 Hak Waris Insiden Sriwijaya Air Belum Terima Kompensasi
(hoi/hoi)

Sentimen: netral (50%)