Sentimen
Negatif (100%)
4 Nov 2022 : 19.09
Informasi Tambahan

Kasus: pencurian, penganiayaan

Kasus Kriminal-Kekerasan Oleh Oknum TNI AD butuh Penangangan Khusus

Jawapos.com Jawapos.com Jenis Media: Nasional

4 Nov 2022 : 19.09
Kasus Kriminal-Kekerasan Oleh Oknum TNI AD butuh Penangangan Khusus

JawaPos.com-Rentetan kasus kekerasan dan kriminal yang belakangan ini banyak dilakukan oknum di TNI AD, seperti aksi pencurian dan mutilasi di Mimika hingga penganiayaan 3 anak di Keerom Papua, menjadi isyarat kuat perlunya penanganan khusus.

Kondisi ini mencuatkan keinginan agar ada pembenahan mendalam di institusi militer guna mencegah hal ini kembali terjadi di kemudian hari. Otoritas sipil sejatinya harus membuat ruang mekenisme penghukuman yang berkeadilan untuk korban sehingga segala kejahatan yang dilakukan oknum TNI dapat diadili dalam mekanisme peradilan yang adil.

Hal di atas ditekankan pengamat milter yang juga Direktur Imparsial Al Araf. Ditegaskannya, untuk kepentingan itu, maka presiden dan DPR harus melakukan reformasi peradilan militer dengan revisi terhadap UU No 31/1997 tentang peradilan militer.

“Sepanjang belum diubah, maka peradilan militer akan menjadi wadah impunitas bagi oknum anggota TNI yang melanggar. Dengan demikian, tidak akan ada efek jera bagi anggota yang melanggar karena mereka akan mendapatkan hukuman ringan bahkan bebas kalau melakukan tindakan melanggar hukum,” tandas Al Araf kepada wartawan di Jakarta.

Dilanjutkannya, di masa datang, militer harus tunduk pada mekanisme peradilan umum jika melakukan kejahatan pidana. “Mekanisme peradilan umum akan menunjukkan prinsip persamaan di hadapan hukum, yang mana dalam konstitusi mengharuskan semua warga negara tunduk dalam peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum,” ujarnya lagi. “Seperti kasus Ferdy Sambo, polisi saja harus tunduk pada peradilan umum dan disidangkan. Jadi selama di TNI masih ada peradilan militer akan susah,” imbuhnya.

Dia menyatakan, salah satu solusi yang seharusnya dijalankan adalah revisi UU No 31. Hal ini jelas melibatkan DPR sebagai pihak yang paling berkompeten. “Harus diingat, reformasi peradilan militer adalah mandat TAP MPR No 6 dan 7/2000 dan mandat UU TNI sendiri, jadi DPR wajib menjalankanya,” tegas Al Araf.

Senada dengan Al Araf, lembaga Komisi Untuk Orang Hilang dan Kekerasan (KontraS) melihat, budaya kekerasan di tubuh institusi militer tak kunjung usai.  Hasil pemantauan KontraS menemukan, ada 61 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. Dan angka tersebut tak menggambarkan peristiwa kekerasan secara keseluruhan.

“Tak jarang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI diselesaikan lewat jalur damai dan tidak terliput media nasional maupun lokal. Angka yang kami catat, tahun ini juga meningkat dari laporan tahunan sebelumnya yang menunjukan terdapat 54 peristiwa,” ungkap Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Menurutnya, menguatnya peran militer untuk mengokupasi ruang sipil menjadi salah satu penanda Indonesia kembali ke jurang militerisme. Hal ini harus dijadikan sebagai masalah serius institusi, khususnya profesionalitas TNI dalam kerangka negara demokrasi. “Begitupun dalam konteks militerisasi sipil, berbagai metode yang tak relevan harus dihentikan karena justru kontraproduktif terhadap agenda penguatan pertahanan,” ucapnya. (*)

Editor : Dinarsa Kurniawan

Sentimen: negatif (100%)