Sentimen
Negatif (88%)
4 Nov 2022 : 07.05
Informasi Tambahan

BUMN: Bank Mandiri

Tokoh Terkait

Lapor Pak Jokowi! Ramalan Mantan Menkeu Ini Jadi Nyata

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

4 Nov 2022 : 07.05
Lapor Pak Jokowi! Ramalan Mantan Menkeu Ini Jadi Nyata

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar tidak menyenangkan datang dari dunia usaha, fenomena 'strong dollar' telah menghantam neraca keuangan korporasi.

Tingginya kenaikan dolar AS telah membuat korporasi di Tanah Air yang membutuhkan dolar untuk menopang operasionalnya menjadi terbebani. Beban korporasi pun semakin menjadi-jadi ketika fenomena kelangkaan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar membuat pelemahan rupiah. Mereka yang memiliki utang dalam dolar AS dipastikan akan 'berdarah'.

-

-

Hal ini dirasakan oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) yang rating utang jangka panjangnya dipangkas oleh PT Fitch Ratings Indonesia, menjadi CC dari sebelumnya di level B- pada pekan lalu. Peringkat CC menunjukkan adanya potensi risiko KIJA gagal bayar utang.

Downgrade peringkat utang itu juga mengenai obligasi senior tanpa jaminan senilai US$300 juta yang baru akan jatuh tempo pada 5 Oktober 2023. Rating obligasi yang kini menjadi CC dari B- ini dijamin oleh KIJA dan diterbitkan oleh anak usahanya Jababeka International BV.

Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan adanya peningkatan ketidakpastian tentang kemampuan KIJA untuk mengatasi pembayaran obligasi yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.

Padahal, pada awal bulan Oktober, Jababeka sudah mendapat kucuran utang dolar AS dari Bank Mandiri senilai US$100 juta. Utang baru ini jatuh tempo lima tahun dengan cicilan setiap enam bulan sekali. Manajemen sudah mengakui, tujuan utang baru itu diantaranya untuk membayar utang jatuh tempo, termasuk obligasi US$300 juta yang harus lunas Oktober 2023.

Kondisi ini semakin membenarkan ramalan ekonom senior Chatib Basri. Pada awal Oktober, Chatib membagikan 'ramalan' terkait dengan fenomena 'strong dollar' dan pengaruhnya bagi korporasi Indonesia.

Menurutnya, fenomena keperkasaan dolar AS atau 'strong dollar' dapat menimbulkan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang utangnya menggunakan mata uang Negeri Paman Sam tersebut.

Mantan menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut mengungkapkan fenomena strong dollar dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.

"Orang akan selalu melihat relative growth, kalau growth suatu negara relatif lebih baik dari negara lain, investor akan prefer taruh (aset) di situ dibandingkan di negara lain. Itu yang bikin nilai tukarnya (dolar AS) masih akan kuat," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia.

Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.

Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.

"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," ungkap Chatib.

Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.

Chatib menuturkan sebagian besar perusahaan asing di Indonesia memiliki orientasi bisnis ke pasar domestik. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.

Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. Alhasil, mereka akan mengerem investasinya.

"Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.

"Jadi penguatan dolar akan menimbulkan efek balance sheet, efek neraca, dimana perusahaan kontraktif," tegas Chatib.

Dengan situasi sulit ini, pemerintah tidak bisa mengandalkan sektor swasta untuk menopang ekonomi ke depannya karena ada efek neraca, ditambah dengan tren kenaikan suku bunga acuan, telah membebani korporasi RI.


[-]

-

Jokowi Tebar Bantuan Rp 24 T, Hingga Rekor Tertinggi Dolar AS
(haa/haa)

Sentimen: negatif (88.9%)