Sentimen
Positif (98%)
2 Nov 2022 : 23.44
Informasi Tambahan

Agama: Islam, Katolik, Hindu

Tak Perlu Ingkar, Pemahaman Agama Masih Jadi Pembenaran Konflik

3 Nov 2022 : 06.44 Views 3

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Tak Perlu Ingkar, Pemahaman Agama Masih Jadi Pembenaran Konflik

NUSA DUA, KOMPAS.com - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf berharap agar para pemuka agama di berbagai belahan dunia dapat menemukan cara mengurai pertentangan antarumat, sebagaimana yang berlangsung sejak dulu hingga sekarang.

Hal itu ia ungkapkan dalam forum agama G20 "Religion 20" (R20) di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, di hadapan ratusan partisipan mewakili kelompok agama dan sekte di dunia.

Baca juga: Gus Yahya Tegaskan Larangan Paham Wahabi Belum Resmi: Bukan dari PBNU

"Kita tidak perlu mengingkari, bagi sementara kelompok beragama, berdasarkan pemahaman agama masing-masing, masih mengandung elemen-elemen, unsur-unsur yang dapat dijadikan pembenaran bagi konflik, pertentangan kelompok yang berbeda," ungkap Yahya di atas podium.

"Kita perlu melakukan upaya-upaya untuk mengurai keadaan saling mengunci, karena deadlock (jalan buntu) ini lah yang terus-menerus menjadi abu dalam sekam, sehingga di mana pun, kapan pun, muncul dorongan untuk munculnya pertentangan di antara kelompok agama yang berbeda," jelasnya.

Lebih lanjut, Gus Yahya menyinggung soal gejala-gejala sosial-politik keagamaan di Afrika Barat, Asia Tenggara, hingga Amerika, di mana berbagai kelompok agama masih terjebak dalam hubungan antagonis berbasis keagamaan.

Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari sejarah-sejarah pertentangan antarkelompok agama yang telah berlangsung sejak lama hingga kini telah menjadi suatu kemapanan persepsi, seakan antarkelompok tersebut memang tak dapat berbaur.

"Unsur-unsur yang ada di dalam keagamaan masih dengan mudah bisa digunakan untuk mendorong hubungan yang semakin memburuk di antara kelompok agama yang berbeda-beda," kata Yahya.

Salah satu kunci yang perlu disadari bersama adalah, menurutnya, para pemuka agama dunia perlu menyepakati nilai-nilai yang dapat disetujui sama lain, menilik banyaknya pengikut di balik punggung mereka.

Baca juga: Sambut Pemuka Agama Sedunia, Gus Yahya: Selamat Datang di Tanah Hindu Negara Mayoritas Muslim

Mengakui bahwa pemahaman masing-masing agama masih menyisakan ruang untuk konflik, menurut Yahya, bukan hal yang tabu, melainkan dari sana lah justru upaya positif di masa depan harus dimulai.

"Kita tahu dan tak perlu mengingkari bahwa masih ada unsur-unsur dalam nilai masing-masing agama yang mungkin bisa digunakan sebagai pembenar untuk hubungan yang antagonis di antara umat yang berbeda," tegasnya.

Tafsir kontekstual

Yahya juga mengungkit pentingnya rekonstektualisasi tafsir atas teks-teks suci masing-masing agama sebagai salah satu bentuk peninjauan ulang atas wawasan keagamaan masing-masing umat untuk mengakhiri masalah ini.

Ia mengungkit upaya Gereja Katolik yang dianggapnya telah berhasil mendorong penghargaan atas keragaman hari ini dan lebih mampu menerima kehidupan bersama tanpa pertentangan melalui Konsili Vatikan kedua.

Ia juga menjadikan sebagai contoh konferensi nasional ulama di Jawa Barat yang digelar NU pada 2019  di mana kategori "nonmuslim, kafir, dan infidel" dinyatakan tak relevan untuk masa kini karena setiap WNI sama di mata hukum.

Baca juga: Gandeng Liga Muslim Dunia, Gus Yahya Berharap Forum R20 Bisa Jadi Gerakan Dunia

Perbedaan latar belakang agama tidak boleh dijadikan pembenaran bagi diskriminasi.

"Kita juga mengetahui pada 2016, satu komunitas Yahudi yaitu Yahudi Masorti, telah menyelenggarakan suatu forum di antara para rabi, yang menghasilkan dokumen sangat inspiratif dalam hal menjamin hubungan yang lebih harmonis di antara umat beragama, yaitu keputusan yang kemudian disebut sebagai dokumen Teshuvot/Teshuvah," ujar Yahya.

"Yang dengan jujur dan berani melihat ke dalam wawasan Yudaisme untuk mendorong agar paham ini dikembangkan dengan lebih menerima atas kesetaraan antara umat dan harmoni di antara kelompok yang berbeda," sambungnya.

Baca juga: PBNU Akan Lawan Politik Identitas dalam Pemilu 2024

Yahya meyakini bahwa bila agama-agama di dunia telah mencapai titik ini, maka agama memiliki posisi yang kuat untuk masuk dalam struktur global, baik politik maupun ekonomi, bersamaan dengan nilai-nilai moralnya.

"Apakah ini mungkin? Lebih dari 77 tahun yang lalu di Jakarta, tokoh-tokoh pemimpin dari berbagai kelompok, dari spektrum yang sangat luas, mulai dari kelompok islamis sampai komunis, liberalisme Barat hingga yang menuntut tradisionalisme Indonesia, semua pemimpin agama berkumpul dan berembuk mencapai satu kesepakatan yang bisa menjadi dasar bagi semua orang yang berbeda-beda agar hidup dalam satu bangsa," tutup Yahya.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (98.5%)