Sentimen
Negatif (66%)
3 Nov 2022 : 03.20
Informasi Tambahan

Institusi: UNJ

Partai Terkait

SARA, netralitas aparat, hoax dan ujaran kebencian dikhawatirkan masih terjadi di Pemilu 2024

3 Nov 2022 : 10.20 Views 3

Elshinta.com Elshinta.com Jenis Media: Politik

SARA, netralitas aparat, hoax dan ujaran kebencian dikhawatirkan masih terjadi di Pemilu 2024

Elshinta.com - Pemanfaatan isu SARA, netralitas aparat, penyebaran berita bohong atau hoax serta ujaran kebencian, adalah permasalahan-permasalahan yang dikhawatirkan terjadi pada pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 mendatang. Demikian dikatakan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja. Dia menegaskan, pihaknya berkomitmen agar hal-hal tersebut tidak sampai mengganggu proses demokrasi di Pemilu 2024. 

"Yang masih menjadi isu penting adalah politisasi SARA, politik uang, netralitas, verifikasi pemilih dan kecepatan memperoleh hasil, serta berita bohong," ujar Rahmat Bagja dalam pemaparannya, pada diskusi daring yang digelar oleh Interesa Training Center (ITC) Rabu (2/11).

Lebih lanjut Rahmat Bagja menjelaskan, bahwa pihaknya memberikan perhatian khusus terhadap sarana media sosial. Bawaslu RI menurutnya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Badan Siber Nasional (BSSN), Mabes Polri dan sejumlah pihak yang memiliki kewenangan terhadap media sosial. Selain itu, pihaknya juga mengikut sertakan kader Partai Politik (Parpol) untuk ikut menjaga agar proses pemilu berlangsung demokratis.

Terkait pelaporan dan pembuktian pelanggaran pemilu, menurut Rahmat Bagja Bawaslu masih mengacu pada aturan yang relatif sama dengan aturan yang diterapkan pada pemilu sebelumnya. Namun untuk pemilu 2024, Bawaslu dibantu oleh aplikasi Sistem Informasi Penanganan Pelanggaran Pemilu dan Pelaporan (SiGapLapor), yang akan memudahkan masyarakat menyampaikan pelaporan. 

"Bisa teman teman melaporkan melalui aplikasi yang sudah disediakan Bawaslu. Soal pembuktian itu tergantung laporan," ujar Rahmat Bagja dalam diskusi yang merupakan bagian dari rangkaian Kegiatan Pelatihan SDM Kepemiluan,  yang digelar oleh Ikatan Alumni Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (IKASA) bersama ITC.

Pada Februari 2024 mendatang, akan digelar serentak pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Pada November di tahun yang sama,akan digelar pemilihan kepala daerah. Dampak dari kebijakan tersebut adalah pemerintah harus menunjuk kepala daerah sementara untuk menggantikan kepala daerah-kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum 2024. 

Anggota DPR-RI Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Rezka Oktoberia, dalam diskusi tersebut menambahkan bahwa kepala daerah-kepala daerah sementara tersebut harus betul betul dijaga netralitasnya. 

"Mendagri sudah menyelesaikan 53 daerah dari 101 daerah (yang akan habis masa jabatannya tahun ini). Kita berharap tindakan dari PJ kepala daerah, tindakan mutasi ASN juga harus diperhatikan, apakah itu politik atau menghabiskan rezim dari ASN yang lama," kata Rezka Oktoberia. 

Pemilu 2024 juga untuk pertama kalinya diperbolehkan pemanfaatan kampus sebagai sarana kampanye. Kata dia, pada 2024 sebanyak sekitar 29 persen pemilih adalah usia mahasiswa. Sehingga jika aturan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, salah satu dampaknya adalah peningkatan partisipasi pemilih di usia mahasiswa. 

"Memperbolehkan kampus jadi tempat kampanye, ini jadi terobosan baru. Harus jadi pertimbangan, jangan menimbulkan perpecahan, perselisihan paham. Memang usia produktif kita usia di kalangan mahasiswa, ini jumlah pemilih dominan," ujarnya. 

Selain itu, hal baru yang akan diterapkan pada pemilu 2024 adalah penerapan rentang umur 17 - 55 tahun untuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara (KPPS). Rezka Oktoberia mengaku setuju dengan penurunan batas umur menjadi 17 tahun jika memang semangatnya adalah regenerasi. Namun unsur integritas dan ketidakberpihakan petugas KPPS juga tidak boleh dilupakan. 

Wahyu Yoga Pratama, Direktur Utama ITC dalam diskusi tersebut mengaku sependapat dengan Rezka Oktoberia, bahwa penurunan batas umur petugas KPPS penting untuk kepentingan regenerasi. Dalam regenerasi, dibutuhkan kerelaan anggota KPPS yang sudah lebih berpengalaman, dalam membimbing anggota KPPS yang lebih mudah. Namun demikian, dia ragu akan ada banyak Warga Negara Indonesia (WNI) berumur 17 tahun yang mendaftarkan diri sebagai petugas KPPS.

Sentimen: negatif (66.7%)