Sentimen
Positif (97%)
1 Nov 2022 : 21.39
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Semarang, Surabaya, London

Kasus: penembakan

Tokoh Terkait

Surabaya, November 1945

2 Nov 2022 : 04.39 Views 2

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Surabaya, November 1945

Dua kekuatan imperial, sama-sama monarki. Satu, Jepang dan kedua, Inggris. Bertemu di Surabaya. Jepang cenderung membiarkan para pejuang mengisi ruang-ruang kota, sedangkan Inggris berupaya mengembalikan kuasa kolonial Belanda. Selama 75 hari sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, situasi lapangan di Surabaya tak menentu. Pejuang revolusioner mulai melakukan pengecekan ke berbagai sudut kota.

Revolusi tertunda dua bulan usai proklamasi Agustus 1945. Republik di khatulistiwa baru saja berdiri, Belanda ingin kembali. Sejarawan Robert Cribb mencatat dalam artikelnya ''A Revolution Delayed: The Indonesian Republic and the Netherlands Indies, August-November 1945'' yang dimuat 'Australian Journal of Politics & History' (1986), bahwa ketegangan terjadi akibat penilaian Mountbatten, komandan South East Asia Command (SEAC) berkedudukan di Kandy, Srilanka, terhadap situasi di Indonesia.


Mountbatten mendengar siaran radio ihwal berdirinya Republik Indonesia 17 Agustus, tulis Cribb, namun Mountbatten menilai itu hanya republik boneka Jepang.

Mountbatten tak mempertimbangkan faktor patriotik di balik republik. Maka, untuk memastikan situasi di Indonesia, pada 8 September 1945, sebuah tim intelijen diterjunkan dengan parasut ke Jakarta. Tapi, radio yang dibawa tim rusak saat mendarat, jadi tak bisa segera melapor ke Mountbatten. Informasi aktual baru diperoleh setelah kapal HMS Cumberland dibawah pimpinan Laksamana Wilfred Patterson tiba di Jakarta pada 15 September 1945.

Inggris benar-benar tak punya informasi pasti tentang situasi di Indonesia. Ini dimanfaatkan intelijen Belanda, NEFIS, yang juga telah bergabung pada komunitas intelijen sekutu berbasis di Kandy, Srilanka. John Springhall dalam artikelnya "Disaster in Surabaya": The death of brigadier Mallaby during the British occupation of Java, 1945-46 (1996), terbit dalam The Journal of Imperial and Commonwealth History menyebut sosok Letnan Kolonel Laurens van der Post. Ia bekas tawanan Jepang. Begitu dibebaskan sekutu dari Lembang, Jawa Barat, ia masuk dalam komunitas intelijen sekutu di Srilanka. Diberi pangkat Letnan Kolonel.

Saat cuti ke London pada Oktober 1945, van der Post menemui Perdana Menteri Inggris Clement Attlee. Kepada Attlee, van der Post meremehkan pengaruh kepemimpinan Soekarno, Hatta dan para pejuang revolusioner. Menurutnya, dalam beberapa bulan kelak setelah Inggris melucuti pasukan Jepang di Indonesia, para tokoh Indonesia itu akan segera dilupakan pendukungnya. Belakangan, Inggris kecele begitu melihat situasi di lapangan sampai terbunuhnya Brigjen Mallaby pada 30 Oktober 1945.

Sebagaimana Laksamana Maeda di Jakarta, di Surabaya Laksamana  Shibata Yaichiro juga memainkan peran signifikan. Shibata ditempatkan di Surabaya sejak Januari 1945. Peter Post, dkk dalam buku ''The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War'' (2009), menyebut Shibata termasuk perwira AL Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.

Secara tersirat komandan pasukan sekutu Letjen Philip Christison sebenarnya juga mengakui de fakto Republik Indonesia dan ia percaya pada otoritas Indonesia untuk bekerjasama melucuti serdadu Jepang. Sedangkan pasukan Jepang lebih suka menyerahkan senjatanya kepada warga Indonesia daripada ke pasukan Inggris. Sejarawan Jepang Shigeru Sato dalam artikelnya tentang PETA dalam buku di atas menceritakan bagaimana penyerahan senjata berlangsung di Jawa Timur.

Kapten AL Belanda yang sombong, PJG Huijer, mengumumkan pada 3 Oktober 1945 bahwa seluruh persenjataan Jepang harus diserahkan kepada sekutu. Huijer nebeng ke pasukan sekutu. Bahkan Huijer memerintahkan Mayor Jenderal Iwabe Shigeo, komandan Brigade ke-28 AD Jepang di Jawa Timur segera menyerahkan diri, dan Iwabe menurutinya. Huijer lalu meminta bantuan para pejuang Indonesia menjaga gudang persenjataan itu. Permintaan Huijer ini aneh karena sekutu belum mengakui Republik Indonesia, tapi peluang tak disia-siakan para pejuang. Senjata bejibun dari Jepang sukses mereka kuasai. Huijer sendiri lalu ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok.

Huijer baru dilepas usai negosiasi perwira Inggris Kapten Shaw dengan Dr Moestopo serta para pejuang lainnya. Situasi kian memburuk. Inggris tak tahu apapun tentang situasi di Surabaya. Para perwira elit seperti Mallaby, Hawthorn di Jakarta, bahkan Mountbatten sendiri, tulis Cribb (1986), umumnya masih mengandalkan masukan Belanda. Bahwa rakyat Indonesia sedang menunggu kedatangan Belanda untuk kembali menegakkan kolonialisme.

Terbunuhnya Mallaby

Pertempuran Surabaya 1945 menggegerkan dunia. Kota interlink antar pulau ini menarik  perhatian internasional. David Jordan dalam artikelnya ''A Particularly exacting operation’: British Forces and the Battle of Surabaya, November 1945'' yang termaktub dalam jurnal 'Small Wars & Insurgencies' (2000) menulis bahwa komando Inggris benar-benar berantakan. Mereka tak menyangka sama sekali, perlawanan rakyat datang dari segala penjuru.

Taktik Inggris menurunkan pasukan Gurkha India di Surabaya ternyata tak berjalan mulus. Menurut Jordan, inilah terakhir kali pasukan India berada di bawah komando Inggris. Sebenarnya banyak pelajaran penting dari peristiwa kehadiran Gurkha ini di Surabaya, namun para sejarawan militer sering mengabaikan periode ini.

Sedangkan masalah kematian Mallaby baru menjadi isu penting ketika bekas Menteri Luar Negeri Inggris, Anthony Eden, menyuarakannya  di parlemen Inggris pada 1 November 1945. John Springhall (1996) menulis, banyak spekulasi di seputar penyebab kematian Mallaby saat itu. Menurut informasi Cak Doel Arnowo yang dikutip Springhall, Mallaby korban baku tembak. Kemungkinan terbunuh oleh tembakan pasukan Gurkha. Pasukan Gurkha divisi ke-6 Mahrattas yang bersiaga di atas gedung terlebih dulu menembaki kerumunan warga.

Mallaby terlalu percaya diri berkendara dengan mobil menuju Gedung Bank Internatio. Ia didampingi Kapten Shaw, Kapten Laughland dan Kapten Ronald Smith. Ia berkendara dengan mengibarkan bendera putih, tanda netral agar tak ditembaki. Jam 18.30 pada 30 Oktober 1945 Mallaby tiba di Gedung Bank Internatio. Wilayah seputar gedung itu di bawah pengawasan Mayor K Venu Gopal dari divisi ke-6 Mahrattas.Berkat bantuan Mohammad Djais, anggota TKR, Mallaby bisa masuk ke gedung. Banyak warga berteriak ''Merdeka!'' kepada Mallaby dan rombongan. Cak Doel Arnowo, Sungkono dan yang lain berusaha menenangkan massa. John Springhall mencatat, pasukan Mahratta yang memulai penembakan. Ketika dihubungi JGA Parrott beberapa tahun berikutnya, mantan Mayor Venu Gopal mengaku dirinya yang menginstruksikan penembakan ke arah massa saat itu.

Pengakuan Gopal terkonfirmasi oleh laporan rahasia saksi mata Kapten David Wehl tertanggal 26 Februari 1946 kepada Laksamana Mountbatten. David adalah salah-satu staf perwira intelijen Mountbatten. Idem ditto isi laporan saksi mata Kapten Laughland tertanggal 31 Oktober 1945. Laughland menyatakan penembakan ke arah massa mengakibatkan kemarahan.

Laughland mengaku ia melempar granat ke luar mobil, tapi pengakuan ini dibantah oleh pengakuan Kapten Smith. Entah siapa yang melempar granat itu ke luar mobil, yang jelas, granat meledak, Mallaby tewas. Lalu, Laughland dan Smith terjun ke kanal Kali Mas meninggalkan jasad Mallaby dalam mobil. Lima jam mereka berdua menelusuri Kali Mas untuk sampai ke basis AL Inggris di Tanjung Perak.

Episode kematian Mallaby memposisikan Inggris dalam dilema, antara menuruti keinginan Belanda berkuasa kembali dan mengakui realpolitik Republik Indonesia sudah berdiri. Jika semula Inggris menganggap diri sebagai penjaga perdamaian untuk mengembalikan situasi normal layaknya Indonesia sebelum perang dunia kedua. Namun realpolitik Indonesia saat itu sudah berbeda. Peristiwa heroik Surabaya pada gilirannya mengilhami perlawanan serupa di Semarang, Jakarta dan Bandung selama 23-24 November 1945.

Pelajaran Penting

Sejarawan George McT Kahin dalam bukunya ''Nationalism and Revolution in Indonesia'' (1952) menyebut pertempuran Surabaya membuat Inggris shock. Inggris terbelalak. Massa Republik sangat antusias melawannya. Situasi itu secara rinci tak ada dalam laporan intelijen Inggris sebelum masuk wilayah Indonesia. Ketiadaan informasi intelijen jelas blunder. Ibarat melangkah tak tahu arah. Hanya berbekal tekad melucuti senjata lawan.

Dalam bingkai geostrategi, pertempuran Surabaya bukan hanya perkara adu fisik, baku senjata. Pertempuran ini sarat strategi dan taktik, utamanya dalam perang kota (urban warfare). Pertama, pasukan Gurkha Inggris memang dibentuk untuk menghadapi Jepang, namun ketika mereka tahu bahwa di Surabaya mereka berhadapan dengan penduduk asli, mendadak muncul kegamangan diantara mereka. Yang mereka hadapi bukan pasukan Jepang, tapi warga yang ingin mempertahankan kemerdekaan.

Kedua, Mallaby menjadi tumbal bagi Inggris. Ketika Mallaby tewas, tak terdengar simpati apapun dari Belanda. Belanda lebih sibuk mengurusi dua hal. Selain mempersiapkan diri mengisi kekosongan pemerintahan, juga sibuk memberi jaminan kesejahteraan warga Belanda bekas tahanan Jepang.

Sikap Belanda ini tentu menjengkelkan. Sehinggap pada 14 Maret 1946, empat bulan setelah terbunuhnya Mallaby, Mountbatten menginstruksikan para kepala staf agar mempersiapkan penarikan pasukan Inggris dari wilayah Indonesia. Inggris tak ingin lama-lama menjadi centeng kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia.

Ketiga, denyut revolusi yang dibaca Jepang secara baik kemudian menjadi peluang bagi Jepang untuk tak terlibat ke dalam pertempuran Surabaya. Gudang senjata Jepang diserahkan ke Kapten Huijer, dan Huijer meminta para pejuang untuk menjaga. Dan para pemuda dengan sigap segera menguasai gudang itu sekaligus menahan Huijer. Sekali melangkah dua poin yang didapat.

*Penulis adalah Peneliti JPIPNetwork

Sentimen: positif (97%)