Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: Semarang, Surabaya, Yogyakarta
Partai Terkait
Ferdinand Hutahaean: Apa Sih Jasa Kakek Anies untuk Bangsa Ini?
Oposisicerdas.com Jenis Media: News
Ferdinand Hutahaean kembali menyoroti mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Tapi kali ini pegiat media sosial ini, mengungkit Kakek Anies Baswedan, Abdurrahman Baswedan.
Ferdinand Hutahaean mempertanyakan jasa Abdurrahman Baswedan kepada bangsa ini.
"Apa sih jasa kakek Anies untuk bangsa ini?" tulis Ferdinand di lini masa Twitternya yang dikutip FAJAR.CO.ID, Sabtu (29/10/2022).
Mantan politisi Partai Demokrat yang pernah menjalani hukuman lima bulan penjara atas perkara dugaan penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat terkait cuitan 'Allahmu Lemah' di akun twitter pribadinya ini, mengaku, dari buku yang dibacanya menjelaskan, Kakek Anies Baswedan itu cuma bicara supaya orang Arab dan turunannya diterima sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
"Saya baca buku Risalah Rapat BPUPKI, kakeknya cuma bicara supaya orang Arab totok dan turunan diterima sebagai WNI. Ini pd saat membahas kewarga negaraan dlm UUD. Coba min jelaskan jasanya yg lain, sy pengen tau biar tambah ilmu..!," cuit Ferdinand Hutahaean menanggapi cuitan akun @abu_waras yang merujukkan sebuah vidoe kepada mereka yang selalu teriak soal Yaman.
Siapa sosok Abdurrahman Baswedan atau populer dengan nama A R Baswedan yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo ini?
Dari artikel yang dikutip dari Wikipedia, Abdurrahman Baswedan lahir pada 9 September 1908 dan meninggal dunia pada 16 Maret 1986.
Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia.
A R Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante.
A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.
Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda dengan fasih.
A R Baswedan adalah seorang pemberontak pada zamannya. Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934.
A R Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat bahasa Jawa Surabaya, bila berbicara.
Ia menyerukan kepada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku.
Pada titik inilah dia menjalani perubahan haluan yang sangat besar bagi pribadi, dan pada akhirnya menggerakkan perjalanan Indonesia.
Pada masa-masa revolusi, A R Baswedan berperan penting menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih akan dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.
A R Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942).
Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948.
Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tak sedikit dalam menjaga dokumen ini. Padahal, semua bandara di kota-kota besar, termasuk Jakarta, sudah dikuasai tentara Belanda dan Sekutu dan tidak ada yang bisa lewat dari penjagaan mereka. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki, dokumen penting dari Mesir itu bisa selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.
Jurnalis
A R Baswedan adalah seorang otodidak. Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari membantu A R Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI.
Karena itu, profesi utama dan pertama A.R. Baswedan adalah jurnalis.
Dia memang sempat menjalani kegiatan perniagaan dengan meneruskan usaha toko orang tuanya di Surabaya. Tapi, dia tak kerasan.
Dia tertarik pada dunia jurnalisme. Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan memilih A.R. Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.
Saat bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden—waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Ia kemudian keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari. Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu.
"Demi perjuangan," katanya.
Sebagai wartawan pejuang, A R Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J Benda.
Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut:
Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932).
Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yang dipimpin dr. Soetomo (1933).
Redaktur Harian Matahari, Semarang (1934).
Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar.
Pemimpin Redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe (1935-1939).
Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an).
Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah.
Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta (1973).
Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).
Karier politik
Jalan politik A R Baswedan dimulai saat menjadi ketua PAI.
PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa.
PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.
A R Baswedan mengonsolidasikan kekuatan internal sekaligus membangun komunikasi dengan pihak luar, yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin.
Pada 21 Mei 1939, PAI turut bergabung dalam Gerakan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin Moehammad Husni Thamrin. Dalam GAPI ini partai-partai politik bersepakat untuk menyatukan diri dalam wadah negara kelak bernama Indonesia.
Berkat masuk dalam GAPI ini, posisi PAI sebagai gerakan politik dan kebangsaan semakin kuat. Selain masuk dalam GAPI, A.R. Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik kebangsaan yang lebih luas dengan masuk ke dalam Majelis Islam ala Indonesia (MIAI) pada 1937.
Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In, semacam Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk Penguasa Jepang. Organisasi ini diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A R Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Perjuangan A R Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St.
Pamuncak, A R Baswedan Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini.
Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir.
Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
Pada 1950-an, A R Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu.
Deliar Noer menyimpulkan bahwa A R Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.
Muballigh
Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH. Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. KH. Mas Mansoer pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A R Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer untuk ikut berdakwah ke berbagai daerah.
Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A R Baswedan terasah dengan baik; pada gilirannya kemampuannya ini sangat membantunya saat ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye tentang PAI.
Selain berpidato, A R Baswedan juga berdakwah melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai majalah dan koran Islam. Ia mengasuh kolom Mercusuana pada harian milik Muhammadiyah, Mercusuar (di kemudian hari berubah namanya menjadi Masa kini). Pada akhir 40-an sampai akhir 50-an A R Baswedan menjadi pemimpin redaksi Majalah Hikmah, sebuah mingguan Islam popular. Dalam dewan redaksi, selain A R Baswedan, juga terdapat Moh. Natsir dan Buya Hamka. Para penulis majalah ini adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam bidang dakwah, A.R. Baswedan juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Cabang Yogyakarta. Bahkan, dia menjadi pelindung dan rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.
Peranakan Arab dan Totoknya
Foto A R Baswedandi majalah Matahari yang mengenakan surjan dan blangkon itu menjadi kontroversi di kalangan Arab di Hindia Belanda, terlebih karena ada tulisan A.R. Baswedan yang berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya".
Dalam tulisan itu, A R Baswedan mengajak keturunan Arab yang berada di Hindia Belanda saat itu untuk bersatu, membaur dengan masyarakat lainnya. Yang dimaksud dengan peranakan Arab (muwalad) adalah warga Arab yang lahir di negeri ini (saat itu bernama Hindia Belanda), sementara totok (wulaiti) adalah mereka yang lahir di kampung halamannya, di Hadramaut, Yaman. Dalam tulisan itu, A.R. Baswedan mengajak kepada peranakan Arab dan juga yang totok untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Tulisan A.R. Baswedan berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya" ini sangat kuat dan menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa ini. Karena itu, Majalah Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional 1908-2008, "Indonesia yang Kuimpikan, 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri" memasukkan tulisan A.R. Baswedan tersebut sebagai salah satu catatan yang turut membentuk Indonesia.
Sumpah Pemuda Keturunan Arab
Berkat foto dan tulisan ini, A.R. Baswedan lalu mengumpulkan dan menyatukan para pemuda Arab untuk berkomitmen menyatakan Indonesia sebagai tanah air.
Terinspirasi oleh Sumpah Pemuda yang digalang oleh Muh. Yamin, Soegondo, dan kawan-kawannya pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda keturunan Arab pun mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang setelah mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), di kemudian hari menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Berikut bunyi Sumpah Pemuda Keturunan Arab:
1) Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia (sebelum itu mereka berkeyakinan tanah airnya adalah negeri-negeri Arab dan senantiasa berorientasi ke sana).
2) Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri).
3) Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah-air dan bangsa Indonesia.
Foto: AR Baswedan (1958)
Sentimen: positif (98.5%)