Sentimen
Industri Farmasi Tak Boleh Ubah Sembarangan Komposisi Obat
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) membenarkan penjelasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahwa perusahaan-perusahaan farmasi mesti memberi tahu BPOM bila mengubah formula atau komposisi obat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum PP IAI, Noffendri Roestam.
"Kalau suatu industri farmasi mau ada perubahan formula, perubahan komposisi, mereka harus laporkan dulu ke BPOM, baru kemudian baru bisa mereka ubah. Tidak bisa kemudian mengubah, baru mereka laporkan. Mereka harus dapat izin dulu dari BPOM," jelas Noffendri ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (23/10/2022).
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Polisi Turun Tangan Sosialisasikan Obat yang Dilarang
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan farmasi disebut juga harus secara berkala memperbarui sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang diterbitkan BPOM.
"Seingat saya (jangka waktu berlakunya sertifikat CPOB) lima tahun," lanjut dia.
Noffendri menyebutkan, pengujian sampel produk obat yang dipasarkan juga dilaporkan perusahaan kepada BPOM.
BPOM punya mekanisme sampling serupa dengan datang ke apotek dan membeli langsung produk obat yang akan diuji, namun Noffendri mengaku tak hapal seberapa sering frekuensi BPOM melakukan hal itu.
Noffendri mengatakan, dalam keadaan genting seperti sekarang ini di mana tengah merebak kasus gagal ginjal akut, perusahaan farmasi harus proaktif menjamin mutu produknya.
Baca juga: Cerita Bayi 10 Bulan Sembuh dari Gagal Ginjal Akut di Aceh
Ia meyakini, perusahaan-perusahaan farmasi "tidak berani main-main" soal hal ini.
Selain menyangkut kesehatan, sanksi dari BPOM diklaim "cukup keras" apabila mereka tidak mematuhi CPOB dan menjamin mutu produk.
Noffendri berujar, industri farmasi adalah industri yang sarat regulasi.
"Di industri farmasi, penanggung jawab produksinya harus apoteker, quality control-nya harus apoterker, quality assurance-nya apoteker, mereka yang melakukan penjaminan. Karena, apoteker tugasnya menjamin kualitas, keamanan, dan khasiat suatu produk," jelas dia.
"Mereka berpraktik, bukan bekerja, jadi ada tanggung jawab profesinya. Ada izin praktiknya di industri farmasi. Mereka yang secara profesi diberi tanggung jawab menjaga kualitas itu," ia menambahkan.
Baca juga: Tragedi Gagal Ginjal Anak, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Noffendri mendukung adanya investigasi menyeluruh soal kasus gagal ginjal akut pada anak yang sejauh ini telah memakan 134 korban di seluruh Indonesia. Perusahan farmasi sendiri telah melakukan pengecekan ketat atas kandungan produk obat.
Kasus gagal ginjal akut pada anak ini diduga berhubungan dengan kandungan senyawa etikon glikol (EG) dan dietilon glikol (DG) pada sejumlah obat parasetamol sirup.
"Kita tidak tahu apakah ini pengaruh penyimpanan, kita tidak tahu, makanya ini harus diinvestigasi lebih lanjut oleh BPOM atau indsutrinya sendiri mengapa terjadi perubahan (kadar EG dan DG. Selama ini mereka selalu, setiap batch produk itu, selalu diperiksa oleh industri farmasinya dan dilapor ke BPOM sebelum dirilis," kata Noffendri.
-. - "-", -. -Sentimen: negatif (96.9%)