Sentimen
Positif (100%)
23 Okt 2022 : 23.15
Informasi Tambahan

Event: MotoGP, MotoGP Malaysia

Institusi: ITB

Kab/Kota: bandung, Tasikmalaya, Garut, Sumedang

Djuanda Kartawidjaja Menetap di Cicalengka

24 Okt 2022 : 06.15 Views 3

Ayobandung.com Ayobandung.com Jenis Media: Nasional

Djuanda Kartawidjaja Menetap di Cicalengka

DI PERTIGAAN jalan ke arah Desa Cikuya yanga ada di sebelah barat, ke sebelah timur ke Desa Waluya, dan ke arah Jalan Raya Cicalengka-Nagreg di sebelah utara dan melewati perlintasan rel kereta api jalur Bandung-Garut, ada sebuah tugu terpancang. Pada keterangan tugu tertulis: “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa TUGU IR. H. DJUANDA Dibangun Oleh: Kepala Desa Cicalengka Kulon”, lalu dibubuhi tanda tangan dan nama kepala desanya Usep Ridwan SP. MBA., berikut titimangsa peresmiannya Januari 2009.

Penananda berikutnya, ruas jalan dari tugu di Kampung Margahayu, Desa Cicalengka Kulon, itu ke arah barat ke Desa Cikuya pun diberi nama sebagai Jalan Ir. H. Djuanda. Satu penanda lagi keberadaan Ambalan Pramuka Penegak di SMAN 1 Cicalengka yang diberi nama Djuantika, singkatan dari Ambalan Ir. H. Djuanda dan Ambalan Rd. Dewi Sartika. Ambalan tersebut dibentuk pada 8 Agustus 1973 di Pendopo Kewedanaan Cicalengka.

Penanda-penanda di atas menautkan Ir. H. Djuanda dan Rd. Dewi Sartika dengan Cicalengka. Tapi karena Dewi Sartika sudah saya tuliskan sebelumnya, kali ini saya akan memusatkan perhatian pada Ir. H. Djuanda. Sumber pustaka yang saya gunakan berupa biografi yang ditulis oleh I.O. Nanulaitta bertajuk Biografi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Ir. Haji Juanda (1979, 1983) dan setelah mengalami pengayaan dan penyuntingan legi oleh Awaloeddin Djamin, menjadi Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, Teknokrat Utama (2001).

Baca Juga: 4 Pelamar ini Sumringah, Pendaftaran Rekrutmen ASN PPPK Guru Sudah Diumumkan Kemdikbudristek

Pustaka lain yang saya gunakan adalah Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa yang disusun oleh Gunseikanbu pada zaman Jepang, lalu diterbitkan ulang oleh Gadjah Mada University Press pada tahun 1986. Ditambah berbagai kliping koran, antara lain De Preanger-bode, Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, De Koerier, dan Sipatahoenan antara 1920 hingga 1939. Untuk pengayaan ihwal Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Cicalengka saya dapatkan dari buku Memori Serah Jabatan, 1921-1930, Jawa Barat (1976) terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia.

Naik Dua Kelas

Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986: 233) menyajikan biodata singkat Raden Ir. Djoenda hingga 2603 atau 1943. Di situ dikatakan pada 1943, Djuanda bekerja di kantor Pengairan dan Perdjalan Djawa Barat (Seibu Doboku) Djakarta. Ia lahir di Tasikmalaya pada 10 Juli 1911. Pendidikan yang ditempuhnya Europeesche Lagere School atau ELS (tamat 1924), HBS V (1929), TH atau ITB sekarang (1933). Sementara pekerjaannya antara lain kepala Sekolah Menengah Moehammadijah Djakarta (1933-1937), dan adviserend ingenieur di pengairan Provinsi Jawa Barat, Djakarta (1937-1942). Selain itu, Djuanda aktif sebagai anggota pengurus besar Paguyuban Pasundan antara 1933-1942.

Riwayat rincinya ada di buku karya I.O. Nanulaitta (2001). Di sana tertulis bahwa ayah Djuanda bernama Raden Kartawidjaja seorang guru lulusan Kweekschool Bandung asal Leles, Garut. Sementara ibunya Nyi Momot berasal dari Tasikmalaya. Namun, berbeda dengan Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa, Nanulaitta menyatakan Djuanda lahir pada 14 Januari 1911 di Tasikmalaya. Jadi ada perbedaan tanggal dan bulan kelahirannya, sementara tempat kelahirannya sama.

Baca Juga: Jadwal dan Link Live Streaming MotoGP Malaysia di Sirkuit Sepang, Sesi Kualifikasi dan Race

Barangkali karena berprofesi sebagai guru, Raden Kartawidjaja saat mempersunting Nyi Momot pada tahun 1910, sedang ditugaskan di Tasikmalaya. Yang jelas, Djuanda adalah anak pertama pasangan mereka, sedangkan anak-anaknya yang lain adalah Koswara, Djuandi, dua anak perempuan, dan anak bungsu Dadang.

Tempat dinas Raden Kartawidjaja memang berbeda-beda. Menurut hasil penelusuran pustaka yang saya lakukan, sebelum dipindahkan ke Cicalengka, Kartawidjaja sempat diangkat menjadi pemimpin atau kepala sekolah merangkap guru di sekolah guru bumiputra yang akan dibuka di Sumedang (De Preanger-bode, 4 Agustus 1920 dan 15 Agustus 1920). Menjelang kepindahan ke Cicalengka, Kartawidjaja sempat ditempatkan di Kuningan (Nanulaitta, 2001).

Di Kuningan pula, Djuanda mula-mula menempuh pendidikan. Oleh ayahnya dia dimasukkan ke HIS. Namun, karena ayahnya sebagai Mantri Guru HIS Kuningan pada 1923 dipindahkan ke HIS Cicalengka, maka Djuanda pun turut pindah. Tapi ia tidak dimasukkan lagi ke HIS, melainkan ke ELS Cicalengka dan duduk di kelas V. Karena kepandaiannya, Djuanda dinaikkan dua kelas menjadi kelas VII, kelas terakhir. Ini prestasi besar, mengingat ELS merupakan sekolah khusus kalangan Belanda, bukan bumiputra. ELS Cicalengka sekarang menjadi SMPN 1 Cicalengka yang beralamat di Jalan Dipati Ukur No. 34, Cicalengka Kulon.

SMPN 1 Cicalengka, di Jalan Dipati Ukur No. 34, zaman Belanda merupakan Europeesche Lagere School khusus untuk anak-anak Belanda dan elite bumiputra. Sumber: Atep Kurnia.

Pada 1924, Djuanda menamatkan sekolahnya di ELS Cicalengka. Dilihat dari Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986) yang juga menyajikan tokoh-tokoh yang lahir di Cicalengka dan menempuh pendidikan di ELS Cicalengka, maka saya pikir menarik untuk membuat perbandingannya dengan Djuanda. Di situ ada Soehono kelahiran Cicalengka pada 8 Desember 1895 dan lulus dari ELS Cicalengka pada 1912. Lalu ada Mohamad Nawawi kelahiran Cicalengka tanggal 29 Mei 1902 dan lulus dari ELS Cicalengka pada 1918.

Selain itu, ada tokoh-tokoh kelahiran Cicalengka yang bersekolah di HIS Cicalengka. Di antaranya ada Mas Mohammad Soemardi Natawiria kelahiran Cicalengka tanggal 17 Maret 1895 dan lulus HIS pada 1916. Kemudian ada Raden Oesman Wangsaprawira, wedana Curug, kelahiran Cicalengka pada 1 September 1900 dan lulus dari HIS Cicalengka pada 1914. Satu lagi Raden Soepandji kelahiran Cicalengka tanggal 15 Agustus 1912 dan tamat dari HIS pada 1927. Di antara ketiganya, barangkali yang sempat terajar oleh Raden Kartawidjaja adalah Raden Soepandji.
    
Bolak-balik Cicalengka-Bandung

Bagaimana setelah Djuanda lulus dari ELS Cicalengka? Ternyata menurut Nanulaitta (2001), Djuanda menempuh ujian masuk Hogere Burgerschool (HBS) V Bandung, yang terletak di Jalan Belitung, dan mempunyai cabang atau filial di Jalan Pasirkaliki. Saat ini HBS V Bandung menjadi SMAN 3 Kota Bandung, Jalan Belitung No. 8.

Pada 1921 atau tiga tahun sebelum Djuanda masuk, HBS V Bandung dipimpin oleh kepala sekolah bernama J.W. Bart dan diajar oleh 43 orang guru. Di sana ada 17 kelas dan rata-rata jumlah murid per kelasnya 17 hingga 25 orang. Sementara cabang HBS V mempunyai delapan kelas. Jumlah murid HBS V berjumlah 343 orang ditambah murid di sekolah cabangnya sebanyak 166 orang.

Baca Juga: Bisa Cicil Rumah, Gaji PNS Golongan IV Sesuai Masa Kerja 0-32 Tahun Ternyata Segini, Pantas Jadi Idaman

Ketika bersekolah di HBS, Djuanda mula-mula berlaku sebagai “anak kereta api” (treinjongen) karena harus bolak-balik antara Cicalengka-Bandung dengan menggunakan kereta api. Rutinitas ini dialami Djuanda dari kelas I hingga kelas III HBS, barangkali antara 1924-1927. Selama masa tersebut Djuanda harus bangun subuh, berangkat jam lima pagi dengan menggunakan boemeltrein atau kereta api lokal yang berhenti di setiap halte dan stasiun, hingga tiba di Stasiun Bandung pada pukul tujuh.

Demikian pula, saat kembali ke Cicalengka. Setelah bubar sekolah, Djuanda harus cepat-cepat ke Stasiun Bandung, menumpang kereta api lagi ke arah timur, ke Cicalengka. Dua jam kemudian, menjelang asar, barulah dia tiba di Cicalengka. Selama masa tiga tahun itu, barangkali nasib Djuanda sama dengan Eddy du Perron yang harus rela bolak-balik Cicalengka-Bandung dan Bandung-Cicalengka demi menempuh pendidikannya.

Hampir sama juga dengan Du Perron, menginjak kelas IV, Djuanda akhirnya mulai tinggal di Bandung. Oleh orang tuanya dia dimasukkan ke asrama Algemeen Indisch Internaat di Jalan Aceh (sekarang menjadi Markas Palang Merah Indonesia-PMI Jawa Barat dan Kota Bandung).  Di asrama itu, Djuanda bersatu lagi dengan kawan seangkatan di ELS Cicalengka, yakni Achmad. Ketika Achmad duduk di kelas IV, Djuanda sudah duduk di kelas V. Namun, karena loncatan dua kelas, menyebabkan mereka berbeda kelas.

Setelah dua tahun (1927-1928) di Algemeen Indisch Internaat, Djuanda bersama Achmad dan beberapa kawannya menyewa sebuah rumah di Jalan Sadewa. Oleh karena itu, hanya pada waktu-waktu tertentu saja bagi Djuanda dapat berkumpul bersama keluarganya di Cicalengka. Antara lain saat libur besar sekolah antara Mei-Juli, libur tiga minggu sebelum September, libur Natal antara 22 Desember-5 Januari, dan libur Paskah.

Konon, persahabatan antara Achmad dan Djuanda tetap terjalin hingga mereka tua. Sementara adik-adik Djuanda pun melanjutkan pendidikannya masing-masing. Di antaranya Djuandi yang bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) Batavia, Dadang nantinya sekolah teknik di Delft, Belanda, dan adik perempuannya Rasmona nantinya menjadi asisten apoteker.

Djuanda lulus dari HBS V Bandung pada 1 Mei 1929. Dua bulan kemudian, Juli 1929, ia tercatat sebagai mahasiswa Technische Hogeschool (sekolah tinggi teknik, sekarang ITB).
    
Menikah dengan Guru HIS Cicalengka

Setahun sebelum Djuanda kuliah di ITB, ada guru perempuan yang ditempatkan di Cicalengka. Namanya Juliana. Menurut De Koerier edisi 20 Juli 1928, Juliana saat itu guru taman kanak-kanak (fröbelonderwijzeres) yang ditempatkan di HIS Cicalengka, pada kelas persiapan (“Als fröbelonderwijzeres en geplaatst aan de H. I. S. Tjitjalengka, tën behoeve van de voorbereidende klasse dit school, mej. Juliana”).

Sementara menurut Nanulaitta (2001), Juliana menjadi guru di HIS Cicalengka pada tahun 1929, saat Djuanda masuk ITB. Selanjutnya dikatakan saat Juliana menjadi guru HIS Cicalengka, kepala sekolahnya adalah Kartawidjaja. Dan Juliana sendiri adalah putri pasangan Raden Wargadibrata-Siti Kajenah. Wargadibrata oun seorang mantri guru HIS dan lulusan Kweekschool Bandung.

Sebelum berlanjut mengenai ikatan antara Djuanda Kartawidjaja dan Juliana Wargadibrata, saya akan mengulas dulu sedikit tentang perkembangan HIS Cicalengka berdasarkan Memori Residen Priangan Tengah P.R.W. van Gesseler Verscheur pada September 1929 (dalam Memori serah jabatan, 1921-1930, Jawa Barat, 1976).

Menurut Verscheur, Di daerah Priangan Tengah ada lima HIS Negeri yaitu di Bandung tiga sekolah, di Cicalengka satu sekolah  dan di Sumedang satu sekolah. HIS-I di Bandung menjadi sekolah latihan HKS, sedang HIS-II menjadi sekolah latihan HIK. Jumlah murid HIS-I, HIS-II dan HIS-III masing-masing sebanyak 278 orang, 326 orang dan 254 orang.

Sementara HIS Cicalengka dan Sumedang masing-masing mempunyai 214 orang murid dan 294 orang murid. Tenaga pengajar HIS Cicalengka terdiri atas tujuh orang guru berupa empat orang guru laki-laki dan tiga orang guru perempuan. Dari ketujuh guru itu, tiga orang di antaranya bumiputra. Barangkali salah seorang guru perempuannya adalah Juliana Wargadibrata.

Perkembangan HIS Cicalengka serta pendidikan secara umum di Cicalengka saya dapati dari kliping Sipatahoenan dari 1929 hingga 1939. Di antaranya pada Sipatahoenan (25 September 1929) dikatakan selain HIS di Cicalengka ada Sakola Kelas II, sekolah Vervolg, dan pada 1929 bertambah dengan Vervolg khusus anak perempuan. Tahun 1930, direncanakan akan didirikan Schakelschool. Sementara untuk organisasi para guru Cicalengka, pada 14 Juli 1929 berdiri cabang PGD (Perserikatan Goeroe Desa).

Enam tahun kemudian, Sipatahoenan (18 Januari 1935) melaporkan ihwal pergantian kepala sekolah perempuan (barangkali Vervolg perempuan) di Cicalengka, yaitu dari Soehanah yang juga menjabat sebagai ketua PIT (Perkoempoelan Istri Tjitjalengka) kepada Wiharsih yang semula menjabat sebagai kepala sekolah di Cibeber.

Pada 9 Februari 1936, guru-guru resort Cicalengka berkumpul di Societeit Soekasari Cicalengka untuk membentuk organisasi guru. Saat itu terbentuk Bank Pagoeron yang pengurusnya terdiri atas pelindung Soerakoesoemah (pengawas sekolah), ketua Soeriapranata (guru kepala Cicalengka), sekretaris Toha (1e VO Nagrog), bendahara H. Padmadiredja (1e VO Panyadap), dan enam komisaris merangkap kepala cabang (Sipatahoenan, 14 Februari 1936).

Lalu pada 9-10 Juli 1939 berlangsung pesta di HIS Cicalengka, yang bertempat di Societeit Soekasari. Pesta tersebut dimaksudkan untuk merayakan kelulusan (samen) murid. Menurut laporan Sipatahoenan (11 Juli 1939), selama HIS Cicalengka berdiri baru dua kali berlangsungnya pesta seperti itu, yang memperlihatkan kemampuan murid-murid dalam menari serimpi dan pertunjukan lainnya. Perayaannya dipimpin oleh Tb. O. Martakoesoema.

Kembali ke kisah Djuanda dan Juliana, Nanulaitta (2001) menyatakan saat kuliah Djuanda termasuk ganteng, pendiam, tenang, tekun dan rajin belajar. Tidak ada waktu baginya untuk menaruh perhatian lebih kepada anak-anak gadis apalagi berpacaran. Namun, suatu hari saat berliburan di Cicalengka, Djuanda bertemu dengan Julia. Sejak saat itu timbul perhatiannya yang lebih kepada guru peremuan itu. Itulah sebabnya setiap kali berliburan ke Cicalengka, akhirnya mereka rendez-vous.

Baca Juga: Bisa Cicil Rumah, Gaji PNS Golongan IV Sesuai Masa Kerja 0-32 Tahun Ternyata Segini, Pantas Jadi Idaman

Pada Mei 1933, Djuanda lulus dari ITB. Ia menggondol ijazah sebagai insinyur sipil. Segera setelah lulus, keluarga Djuanda meminang Juliana. Dan pada tahun itu pula dipersiapkan dan dilakukan pernikahan antara Djuanda Kartawidjaja dengan Juliana Wargadibrata di Bandung.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan Djuanda Kartawidjaja menetap di Cicalengka mulai 1923 hingga 1927, karena sejak 1927 dia mulai indekos di Bandung dan sekali-kali kembali ke Cicalengka. Sementara ayah-ibunya nampaknya terus bertahan di Cicalengka paling tidak hingga 1933, saat Djuanda menikah. Sedangkan HIS Cicalengka tempat mengajar baik Raden Kartawidjaja maupun Juliana Wargadibrata sekarang berubah menjadi SDN 8 Cicalengka di Jalan Raya Barat No. 304 dan SDN 10 Cicalengka di Jalan Dipati Ukur. Keduanya berada di Desa Cicalengka Kulon.***

*Atep Kurnia, peminat literasi dan budaya Sunda.

Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

Foto 03. Potret Ir. Djuanda tahun 1940. Sumber: Pangemoet-ngemoet Ngadegna Pagoejoeban Pasoendan 25 Taoen (1940).
    

Sentimen: positif (100%)