Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Depok, Tasikmalaya
Kasus: covid-19
Cerita dari para Santri: Ingin Pulang, Sarung, dan Banyak Kawan
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Hidup jauh dari orangtua dan tinggal di pondok pesantren membuat Neng Aura (13) sempat khawatir, bahkan tidak bisa tidur. Keinginan nyantri pelajar kelas VII MTs KH. A Wahab Muhsin Sukahideng, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya itu berasal dari diri sendiri, tanpa paksaan. Neng Aura pun memilih menimba ilmu di Pesantren Cihideng, tempat ayah dan ibunya dulu menimba ilmu.
"Di sini, siangnya saya sekolah. Mulai sore hingga pagi, kegiatan di pesantren. Sebab saya mondok di pesantren," kata perempuan asal Desa Sukabakti, Kecamatan Sodonghilir itu.
Secara perlahan, kata Neng Aura, keinginan untuk pulang dan dekat dengan orangtua pun terkikis. Berkat kehadiran teman-temannya di pondok yang selalu mendukungnya hingga menjadi keluarga baru, Neng Aura makin kerasan mondok.
Mereka semua memiliki jalan hidup yang sama. Bahkan sudah ada yang mondok di pesantren selama bertahun-tahun sejak menginjak bangku kelas 1 SD.
Baca Juga: Santri Terbukti Taktis pada Masa Kritis dan Ideal Mengisi Zaman
Neng Aura mengatakan, pendidikan yang diberikan pondok pesantren menguatkan jiwa santriwati untuk menimba ilmu agama lebih dalam. Tidak hanya mempelajari Al-Qur’an, berbagai kitab pun menjadi santapan setiap harinya.
Untuk mengobati rasa kangen kepada orangtuanya, Neng Aura sering mengirimkan doa. Ia baru bisa bertemu kedua orangtuanya saat libur panjang sekolah atau liburan pesantren.
"Untungnya, ayah atau ibu kerap datang dua bulan sekali ke sini. Menjenguk dan melihat kondisi saya di pesantren," kata Neng Aura, Jumat 21 Oktober 2022.
Pengalaman hidup sebagai santri juga dirasakan M. Ilzam Mahardika (14). Santri yang bermukim di Pondok Pesantren Manarul Huda Kecamatan Sukarame itu harus bisa menahan kerinduan kepada ayah dan bundanya.
Putra sulung dari Teguh Arifianto warga Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya itu mengatakan, jadwal kunjungan sudah ditentukan. Para santri pun tidak diperbolehkan membawa alat komunikasi.
Satu-satunya alat komunikasi yakni dengan cara berkirim surat yang dititipkan ke pengurus atau penjaga pondok.
"Jika kangen, paling saya kirim surat dan dititipkan di pos penjagaan. Nanti dibalas oleh ayah dan bunda, dan kembali dititip di pos penjagaan," kata Ilzam yang kini duduk di kelas VIII madrasah tsanawiyah.
Selain belajar di sekolah formal yang ada di lingkungan pondok, kegiatan Ilzam di pesantren pun padat. Pengajian rutin, salat berjemaah setiap waktu, dan kegiatan pondok lainnya.
Perubahan
Ayah Ilzam, Teguh mengatakan, banyak perubahan besar pada anaknya setelah dua tahun mondok. Kini, Ilzam lebih sopan dan bisa menetapkan tata krama serta adab yang sangat Islami.
"Awalnya, saya sempat berat untuk melepas anak saya pergi mondok di pesantren. Namun melihat tekad dan semangatnya, saya yakin anak saya bisa hidup jauh dari orangtua dan belajar agama di pesantren," ujar Teguh.
Ilzam kini bisa diandalkan untuk membuka pengajian dengan lantunan ayat Al-Qur’an atau bertindak sebagai muazin. Tidak jarang, ketika berada di kampungnya, ia kerap diminta untuk mengisi sejumlah kegiatan keagamaan.
Berbeda dengan Neng Aura dan M. Ilzam, santri lainnya di Pondok Pesantren Cipasung Singaparna, Arsil (18), sudah terbiasa jauh dengan orangtua yang ada di Depok. Ia sudah hampir 6 tahun mondok di pesantren. Sejak memasuki kelas VII MTs hingga kini beranjak di kelas XII madrasah aliyah, ia sudah merasakan pahit-manisnya mondok.
"Awalnya sempat menangis karena dimasukkan ayah ke pesantren. Namun secara perlahan, akhirnya terbiasa, bahkan sekarang asyik ramai banyak teman," ujarnya.
Selain kegembiraan, Arsil pernah mengalami masa sedih. Ketika itu, ia sakit, sedangkan ayah atau ibu tidak bisa menemaninya.
“Termasuk ketika wabah Covid-19 menyerang ratusan santri di pesantren ini, saya kena dan harus menjalani isolasi mandiri di pesantren. Untungnya, pesantren sigap dan menangani setiap santri yang mengalami sakit. Hingga tidak dalam hitungan lama, mampu mengendalikan penyebaran Covid-19, hingga para santri semuanya berangsur sembuh,” katanya.
Jaga citra
Pimpinan Pondok Pesantren KH. Zainal Musthafa Sukamanah, Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame Tasikmalaya, KH. Atam Rustam mengatakan, momentum peringatan Hari Santri 2022 harus menjadi refleksi bagi semua pihak.
"Hari Santri ini harus dijadikan teladan. Bukan merebut kemerdekaan, tetapi ruh jihad mempertahankan kemedekaan ini. Santri juga harus terus menjunjung tinggi ketawaduannya, kepatuhannya pada para guru atau kiai," ujar Atam yang juga Ketua PC NU Kabupaten Tasikmalaya.
Atam pun meminta, santri tetap mempertahankan ciri khas bersarung. Meski demikian, bukan berarti tidak mengetahui modernisasi.
“Harus mampu mengikuti kemajuan zaman dengan tetap mencontoh para kiai terdahulu,” katanya.
Untuk menggugah para orangtua memasukkan anak-anak mereka ke pondok pesantren, Atam meminta pondok pesantren terus berinovasi.
"Kami meminta pesantren terus menjaga nama baiknya. Di tengah isu dan kejadian buruk yang kerap mengubah citra pesantren di masyarakat," kata Atam. (Aris Mohamad Fitrian, Eva Fahas)***
Sentimen: positif (50%)