Sentimen
HWDI: Implementasi Undang-Undang Disabilitas Masih Jauh dari Harapan
Republika.co.id Jenis Media: Nasional
Ketidakpahaman penyelenggara negara pada UU Disabilitas berdampak pada aksesabilitas
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Agustiah Rotinsulu mengatakan saat ini implementasi Undang-Undang disabilitas masih jauh dari harapan sejak disahkan pada tahun 2016. Berdasarkan kajian dan monitoring HWDI di 10 kota di Indonesia, mayoritas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) masih belum mengerti sama sekali tentang konsepsi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
"Jadi kami melihat gaps atau challengenya informasi dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 ini belum sampai ke tingkat kabupaten-kota. Saya rasa itu yang kita lihat gapsnya, tapi di tatanan undang-undang atau peraturan-peraturan di tingkat nasional itu sudah cukup baik dan responsif," ujar Ketua Umum HWDI, Maulani Agustiah Rotinsulu kepada awak media di High-level Intergovernmental Meeting on the Final Review of the Asian and Pacific Decade of Persons with Disabilities: 2013-2022 (HLIGM-FRPD), di Hotel Fairmont Jakarta, pada Kamis, (20/10/2022).
Ketidakpahaman para penyelenggara negara terhadap Undang-Undang Disabilitas berdampak terhadap aksesabilitas untuk disabilitas. Salah satunya terkait pemasangan guiding block atau jalur pemandu yang dipasang untuk membantu penyandang disabilitas ketika berjalan di area publik.
Menurut Maulani, sejumlah trotar di DKI Jakarta masih belum ramah bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, pemasangan guiding block di trotoar masih berantakan dan tidak representatif.
"Jalur pemandu tunanetra ini prinsipnya adalah dia harus selalu lurus. Jadi tidak bisa dipasang di trotoar terus dia melingkar-melingkar, belok-belok gitu ya, itu saja sudah sudah salah. Ada beberapa yang malah muterin pohon," tuturnya.
Menurut Maulani, pemasangan guiding block yang berantakan tidak mencerminkan bahwa penyelenggara negara mengerti konsep aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas. Ini juga sekaligus bentuk kurangnya pengetahuan para penyelenggara akan pentingnya guiding block dan cara pemasangannya.
"Aksesbilitas saja, di Jakarta saja, pemasangannya berantakan, tidak representatif atau tidak mencerminkan bahwa penyelenggaranya itu mengerti apa itu aksesibilitas. Jadi prinsip-prinsip seperti itu itu belum benar-benar terserap oleh para implementor dari pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas," tuturnya.
Oleh karena itu, Maulani menyarankan agar tiap daerah lebih menyadari pemenuhan hak-hak terhadap disabilitas. Harus ada perubahan pola pikir dan perspektif terhadap para penyandang disabilitas. "Penyandang disabilitas itukan sebenarnya dari charity ke hak asasi manusia. Artinya, strateginya harus sedikit berubah. Partisipasi penyandang disabilitas itu sendiri harus terlihat, harus terefleksikan pada sikap-sikap pemerintah," katanya.
Dia menambahkan, pemerintah harus lebih aktif melibatkan penyandang disabilitas baik dalam membuat kebijakan, implementasi hingga monitoring implementasinya.
Sentimen: positif (50%)