Sentimen
Negatif (99%)
20 Okt 2022 : 13.44
Informasi Tambahan

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait
Chatib Basri

Chatib Basri

Rupiah Ambruk, Pengusaha dengan Kriteria ini Bisa Menderita!

20 Okt 2022 : 20.44 Views 2

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

Rupiah Ambruk, Pengusaha dengan Kriteria ini Bisa Menderita!

Jakarta, CNBC Indonesia - Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terus memukul nilai tukar rupiah. Pada penutupan perdagangan, rupiah menduduki posisi level Rp 15.465/US$. Bagaimana dampaknya kepada sektor swasta?

Ekonom Senior Chatib Basri menjelaskan, dampak pelemahan nilai tukar rupiah akan membuat kas perusahaan terkena imbasnya, mengingat perusahaan memiliki eksposur utang dalam denominasi dolar AS.

Ditambah situasi saat ini telah terjadi penguatan dolar AS terhadap mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Chatib menyebut ada tiga faktor yang mendorong penguatan dolar AS. Pertama, prospek ekonomi AS lebih baik dibandingkan Eropa, meskipun keduanya dibayangi resesi ekonomi.

Kedua, AS merupakan net eksportir minyak saat ini. Dengan harga energi yang tinggi akan menopang penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya, termasuk rupiah.

Faktor ketiga yang membuat dolar AS menguat, karena, suku bunga di AS relatif naik lebih dulu dibandingkan banyak negara lainnya. Sehingga akan menambah aliran modal masuk untuk membeli US Treasury 10 tahun.

"Yang terjadi saat ini, bukan karena terdepresiasi rupiah terhadap dolar AS, tapi karena dolar AS yang kuat," jelas Chatib dalam SOE International Conference di BNDCC Nusa Dua, Bali, Selasa (18/10/2022).

-

-


Oleh karena itu, kata Chatib sektor swasta akan semakin berat, apalagi mereka yang memiliki utang dalam bentuk dolar, namun pendapatannya dalam nilai rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah membuat beban utang perusahaan meningkat sehingga mengganggu neraca keuangan sektor swasta.

Sehingga, menurut Chatib situasi saat ini mengharuskan perusahaan untuk mengurangi alokasi untuk investasi.

"Beban utang ini mungkin akan bertambah. Implikasinya adalah harus memotong alokasi untuk investasi dalam situasi seperti ini," jelas Chatib.

Dalam situasi seperti ini, kata Chatib akan sangat sulit bagi dunia usaha atau perusahaan untuk meningkatkan laba atau keuntungan.

"Ini adalah hal yang saya khawatirkan. Jadi manajemen perbendaharaan sangat penting dalam situasi seperti ini di tingkat perusahaan," ujar Chatib lagi.

Situasinya di tahun depan, menurut Chatib juga semakin berat, karena kebijakan restrukturisasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berakhir pada Maret 2023.

Dengan demikian, non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah akan akan meningkat seiring kebijakan itu terhenti. Adanya peningkatan kredit bermasalah tersebut, tentu perbankan akan semakin selektif dalam menyalurkan kredit.

Tersendatnya penyaluran kredit, tentu akan memukul perekonomian secara keseluruhan.

"Jadi, kalau perbankan tidak memberikan bekal yang cukup, maka akan berimplikasi pada suntikan modal dan sebagainya. Saya mengkhawatirkan ini agak berbeda seperti yang dialami pada 2013 karena saat itu belum ada Covid-19," jelas Chatib.

Kendati demikian, Chatib optimistis bahwa tekanan pelemahan rupiah saat ini tidak separah saat taper tantrum yang terjadi pada 2013 lalu. Karena saat ini kepemilikan asing di dalam surat berharga negara (SBN) di dalam negeri sudah jauh berkurang.

"Kepemilikan asing di obligasi pemerintah kita hanya 14%. Dibandingkan dengan keadaan 2013 dimana porsi asing di dalam obligasi pemerintah sekira 33%. Jadi saya membayangkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah relatif lebih kecil," jelas Chatib.


[-]

-

Golongan Usaha Ini 'Haram' Dapat PPh Final 0,5%
(cap/mij)

Sentimen: negatif (99%)