Prajogo Pangestu

Pebisnis Indonesia

Lahir: Kalimantan Barat, 4 Mei 2016

  • Pebisnis Indonesia
  • SMP Nan Hua Singkawang
  • SMP Nan Hua Singkawang

Majalah Far Eastern Economic Review menamainya “Lord of the Forest” alias “Raja Kayu”. Kayu dan hutan memang menjadi bisnis utamanya, bisnis yang besar dan luas. Kisah bisnis Prajogo Pangestu adalah “Kisah Ala Cinderella”. Bermula sebagai penjual ikan asin di Singkawang, Kalimantan Barat, dia melesat bak meteor menjadi taipan penguasa Grup Barito Pacific International, Induk dari 120 perusahaan dengan kepak sayap bisnisnya meliputi Sumatra Selatan sampai Irianjaya. Beliau Juga sempat masuk kedalam peringkat 9 orang terkaya di Indonesia yang dirilis oleh majalah Globe Asia pada tahun 2010. Dan hingga kini beliau masih menempati peringkat 40 Orang terkaya di Tanah Air Indonesia. Lahir di Sungai Betung, Kalimantan Barat, Yang letaknya tidak jauh dari Kota Singkawang. Dia adalah anak seorang penyadap getah karet bernama Phang Siu On. Oleh ayahnya, Prajogo kecil diberi nama Phang Djun Phen, yang dalam mitologi suku Khek “Orang Cina di Taiwan” berarti “burung besar terbang tinggi menguak awan mendung”. Phang Djun Phen atau A Phen “demikian nama kecil Prajogo” hanya tamat sekolah menengah pertama di SMP Nan Hua, sekolah berbahasa Mandarin di Singkawang. Selepas sekolah, A Phen mengadu peruntungan di Jakarta, tetapi nasib mujur belum berpihak kepadanya. Dia gagal, dan kembali ke Kalimantan. Di kampung halamannya, A Phen mengadu nasib di atas roda. Ia menjadi sopir angkutan umum yang melayani trayek Singkawang-Pontianak. Tidak lama menjadi “Raja Jalanan”, A Phen memulai usaha kecil-kecilan. Ia berjualan keperluan dapur, bermacam-macam bumbu dan ikan asin. Nasib baik mulai mengantar Prajogo ke tangga sukses sejak pertengahan tahun 1960-an. Dia berkenalan dengan Bong Sun On, orang Serawak, Malaysia, yang masuk ke Indonesia lewat Pontianak ketika deras-derasnya penyelundupan kayu ke Malaysia. Di sini Bong benar-benar memetik “dolar hijau” ketika penebangan hutang besar-besaran masih menganut sistem persil dan petak rakyat. Sistem ini membuat pemerintah kesulitan mengawasi manipulasi jumlah tebangan. Nama Prajogo mulai dikenal orang ketika pada 1975. Pada saat Bong Sun On “ Atau yang lebih dikenal dengan Burhan Uray” memindahkan perusahaannya, PT Djajanti, dari Pontianak ke Banjarmasin. Burhan mengangkat Prajogo menjadi General Manager PT Nusantara Plywood di Surabaya. Sukses Barito tidak lepas dari mengelola hak pengusahaan hutan (HPH) gelap yang digarap Prajogo di Kalimantan Timur. HPH gelap yang dimaksud adalah milik PT Panambangan di Kalimantan, yang forestry agreement-nya ditandatangani sejak 1970, dan mendapatkan SK HPH pada 1972 untuk pengelolaan selama 20 tahun. Pengurus PT Panambangan adalah keluarga dekat Soeharto. Saham PT Panambangan dimiliki oleh sepupu Soeharto, Soekamdani Sahid Gitosardjono, lewat Yayasan Mangadeg, sebuah yayasan yang didirikan untuk mengurusi makam klan Soeharto di Desa Bendogerit, Astana Giribangun, Solo. Para pemegang saham lainnya adalah istri Soekamdani, Ny. Juliah, mantan Menteri Kehutanan Sujarwo, Prapto H. Tjitrohupoyo, dan koperasi karyawan perusahaan itu. Di era Soeharto, hak pengelolaan hutan memang telah dikapling-kapling serta dibagi-bagikan kepada kerabat serta “pangeran-pangeran”-nya, terutama di kalangan militer. Namun, seperti tampak kemudian, hak pengelolaan itu tidak disertai keseriusan mengelolanya. Dalam banyak kasus, operasi pengelolaan hutan diserahkan kepada orang lain, meski itu sebenarnya melanggar Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967, yang melarang pemindahtanganan konsesi HPH. Tapi, siapa mau melawan kerabat Soeharto dan para jenderal? Orang seperti Prajogo diuntungkan oleh sistem itu. Dari hanya usaha kayu, kini Prajogo merambah ke manufaktur dan industri keuangan. Dia masuk ke lingkungan yang paling inti dari kekuasaan Soeharto. Prajogo bahkan sering tampak menemani Soeharto bermain golf dengan membawakan tongkatnya. Ibarat dereten kartu domino, akibat terlalu dekat dengan keluarga Soeharto, bisnis Prajogo menuai masalah begitu pemimpin Orde Baru itu jatuh. Namun, Prajogo “si Burung Besar” lihai membaca tanda-tanda zaman. Ia memerlukan cantelan politik baru. Kali ini kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Belum lama berselang, Presiden Abdurrahman melindungi Prajogo dengan pernyataannya untuk menunda penyidikan terhadap sang Konglomerat, dan menyebutnya sebagai aset negara yang telah membuka lapangan kerja dan menambah nilai ekspor. Tapi, Nasib Prajogo seperti dipertaruhkan di meja judi kini. Muncul desakan lebih kuat untuk menuntut para koruptor dan pengusaha yang berselingkuh dengan mereka ke meja hijau. Dan Presiden Abdurrahman, yang terdesak oleh musuh-musuhnya di parlemen, kini harus mengeluarkan kartu pamungkas: dia memilih seorang jaksa agung baru, Baharuddin Lopa, yang lebih keras sikapnya dari pendahulunya, dan kemungkinan besar melepaskan perlindungan terhadap Prajogo. Adalah Lopa yang mengirim Bob Hasan ke penjara maksimum Nusakambangan. Kisah Proyek Menara Jakarta Konglomerat Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi masih menjadi pemegang saham dalam proyek pembangunan Menara Jakarta. Bahkan Prajogo akan menjadi pemegang saham mayoritas pembangunan menara setinggi 558 meter tersebut.

Berita Terkait
Tanggal Judul Media
26 April 2024 09:23:00 Terpantau Loyo, IHSG Lansung Cetak Rapor Merah pada Pembukaan Perdagangan Hari Ini Jum'at, 26/04/2024, 09:23 WIB wartaekonomi.co.id 2024-04-26 09:23:00
20 April 2024 07:00:00 Saham Antam Turun 3,90% Diperkirakan Rebound pada Hari Ini Sabtu, 20/04/2024, 07:00 WIB wartaekonomi.co.id 2024-04-20 07:00:00