Sentimen
Undefined (0%)
24 Agu 2025 : 21.30
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Yogyakarta

Tokoh Terkait
Firdaus

Firdaus

Ge(le)gar Generasi Media Sosial

24 Agu 2025 : 21.30 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Ge(le)gar Generasi Media Sosial

Dominasi media sosial sebagai sumber informasi tercatat dalam laporan tahunan The Reuters Institute Digital News Reports 2025. Laporan itu menyebut semakin menguatnya ekosistem media alternatif yang dianggap memiliki jangkauan dan daya tarik luas bagi khalayak, yaitu Youtube, Tiktok, dan podcast. 

Publik, terutama generasi muda, mulai menggunakan chatbot AI atau artificial intelligence sebagai sumber berita kali pertama, seperti ChatGPT (OpenAI), Gemini (Google), dan Llama (Meta).

Tak mengherankan ketika Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi mengeluarkan imbauan tentang pengawasan atas penggunaan media sosial di perguruan tinggi. 

Media sosial yang merupakan bagian teknologi digital modern, selain telah menciptakan kemudahan dan kelancaran dalam mengurus segala macam hal, ternyata juga dapat dengan mudah dibelokkan ke arah lain. 

Buktinya, penyebaran paham ekstremisme, intoleransi, dan segala hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 amat terbantu dengan kehadiran media sosial.

Merujuk pendapat Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land; Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006), kekuasaan yang dihasilkan oleh teknologi memang amat rawan dan rapuh untuk direkayasa demi memenuhi kepentingan tertentu. 

Dengan kata lain, teknologi mampu menumbuhkan dan selanjutnya menginspirasikan sebuah paradigma kekuasaan yang ampuh. Penggunaan media sosial yang berlebih-lebihan pada masa kini adalah contoh bahwa kekuasaan bukan lagi berurusan dengan dunia politik belaka. 

Kekuasaan itu telah menjadi bahasa dalam hidup sehari-hari yang seolah-olah memberi otoritas kepada siapapun untuk berbuat apapun. Itulah mengapa di media sosial segalanya tampak menjadi serbamekanis dan longgar.

Antara kata dan perbuatan, misalnya. Siapapun dapat berkata apapun tanpa ada sensor dari pihak manapun. Maka tak mengherankan ada banyak berita yang memekakkan, komunikasi yang hanya berlangsung satu arah, dan longsoran informasi yang mengubur kemungkinan untuk dapat menangkap makna pesan yang sesungguhnya. 

Dengan demikian, sebagaimana dikeluhkan Karl Kraus, seorang wartawan di Eropa pada tahun 1930-an, ”betapa bisingnya segala sesuatu jadinya.” Sebenarnya kebisingan yang dikeluhkan Kraus hanyalah dari sebuah mainan teknologi dan barang semu yang masih jauh dari campur tangan digital. 

Justru karena direkayasa sebagai ”perabotan baru yang fantastik”, benda yang disebut radio mampu memberi sebuah petualangan teknologis baru di dalam rumah. Hasilnya sebuah ideologi baru terbangun ”untuk mempersatukan Belanda dan Hindia Belanda melalui eter.”

Ideologi inilah yang mampu menghasilkan kekuasaan, kepalsuan, dan kesementaraan sekaligus. Dengan kata lain, segala kecemasan, bahkan ketakutan, dapat diserap tanpa jejak melalui radio yang diharapkan mampu melindungi, menjauhkan, dan mengeluarkan segala ancaman yang nyata. 

Berkat radio segala sesuatu akan dibuat sedemikian baik sehingga mudah untuk dihidupkan dan dimatikan. Sementara media sosial tampak sudah melampaui dari yang digoreskan atau dijanjikan radio. 

Meski sama-sama dapat memimpikan dan menikmati kehidupan tanpa perlu pergi keluar dari rumah, media sosial yang bersumber dari sistem komputer, gadget/gawai, atau Internet dapat sekaligus membebaskan dan mengontrol apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. 

Orang atau organisasi tertentu yang turut memanfaatkan sistem tersebut akan mampu mengenali apa yang diingini, apa yang memotivasi, dan bagaimana reaksi terhadap beragam hal yang disajikan. 

Media sosial tampaknya tahu lebih banyak daripada radio tentang kita yang sebenarnya lebih tahu mengenai diri kita sendiri. Di sinilah letak ge(le)gar budaya digital, yang oleh Nicholas Carr dalam buku The Big Switch: Rewiring the World from Edison to Google (2008), justru disebut sebagai ”hamparan hijau dunia sibernetika yang kurang lebih mirip Firdaus baru.” 

Dalam konteks ini, berbiaknya ujaran, hasutan, atau ajakan yang tak sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi saat dan tempat yang tepat untuk mengkaji ulang tentang budaya digital. 

Itu artinya perlu ada kerja lintas ilmu (interdisipliner) yang secara jeli mewaspadai digitalisasi dalam hidup sehari-hari. Bukan karena hal itu amat berbahaya, tapi juga menandai ancaman akan ”hilangnya sejenis generasi”. 

Generasi yang bukan seperti katak dalam tempurung dengan pemikiran serbasempit, picik, dan duduk anteng tanpa alasan jelas serta merasa berpuas diri (cemas), namun yang memang berkualitas dengan kreativitas dan inovasi yang tak pernah surut (emas).

Seperti diperingatkan Benedict Anderson dalam buku Hidup di Luar Tempurung (2016), berkurangnya kerepotan memang suatu berkah, tapi perlu diingat bahwa mutiara dihasilkan oleh tiram yang repot bersusah payah, bukan tiram riang gembira dengan laptop.

Di sinilah ”tempat-tempat keramat” pada masa lalu, seperti perpustakaan, masih tetap dibutuhkan agar segala hal yang seakan-akan menjadi mudah liar dan banal di media sosial tidak berbiak tanpa kendali hanya karena ”tak ada gunanya mengingat apapun karena kita bisa memunculkan ’apa saja’ dengan cara lain.”

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Agustus 2025. Penulis adalah tenaga pendidikan di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Sentimen: neutral (0%)