Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Belajar Etika dari Pena dan Cokelat
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Beberapa saat setelah mantan Perdana Menteri Swedia, Tage Erlander, meninggal dunia pada 1985, istrinya, Aina Erlander, tiba-tiba datang ke kantor pemerintah Swedia.
Perempuan tua yang mendekati usia 90 tahun itu datang bukan untuk menuntut hak dari mendiang suaminya yang belum dibayarkan. Dia juga tidak sedang meminta perlakuan khusus sebagai istri mantan pejabat negara.
Dia datang untuk menyerahkan sebuah kotak kecil berisi pena berlabel “Property of the Treasury”. Alasannya sederhana: barang itu bukan miliknya tetapi milik negara sehingga ia punya kewajiban mengembalikan kepada pemerintah. Bagi sebagian orang, mungkin yang dilakukan Aina Erlander itu sebagai sesuatu yang lebai.
”Hanya kotak berisi pena saja, mengapa harus dikembalikan kepada negara. Belum tentu juga pena itu bakal dipakai kembali. Bikin repot diri sendiri saja," begitu barang kali nyinyiran banyak orang.
Memang hanya sebuah pena, tetapi ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. Mengembalikan pena mungkin tampak sepele, namun justru dari hal sepele itu integritas seseorang bisa diuji.
Kalau benda kecil yang mungkin kurang berharga saja dikembalikan, apalagi benda besar dan berharga? Bo Rothstein, profesor ilmu politik di Institut Quality of Government di Gothenburg, sebagaimana dikutip Emil Magazine, mengatakan tindakan istri Tage Erlander tersebut mencerminkan mindset warga Swedia yang menganggap sektor publik adalah untuk kepentingan bersama, bukan alat kekuasaan pejabat elite.
Kotak pena tersebut menjadi anekdot yang sering dikutip sebagai simbol akuntabilitas publik di Swedia. Barang sekecil pena tidak dianggap sebagai hak milik pejabat, apalagi barang mewah seperti mobil atau rumah dinas.
Bicara mobil dan rumah dinas, pejabat di Swedia juga tidak mendapatkan fasilitas mewah yang biasa didapat para pejabat di negeri kita. Di Swedia, hanya pejabat sekelas perdana menteri yang memiliki fasilitas rumah dinas yang penggunaannya diatur secara ketat.
Para menteri dan pejabat lain umumnya tinggal di rumah pribadi. Di Swedia, mobil dinas hanya disediakan untuk keperluan tugas resmi, bukan untuk kepentingan pribadi seperti mengantar anak ke sekolah, belanja ke mal, atau mudik ke kampung halaman.
Claudia Wallin dalam buku Sweden The Untold Story mengungkapkan penggunaan fasilitas negara di Swedia diawasi dengan ketat. Swedia tidak menawarkan kemewahan atau hak istimewa kepada para politikus.
Tanpa mobil dinas atau sopir pribadi, para menteri dan anggota parlemen Swedia biasa bepergian dengan bus dan kereta api yang penuh sesak, layaknya warga negara yang mereka wakili.
Menurut Claudia Wallin, para pejabat Swedia yang ikut mengantre bersama masyarakat di tempat umum merupakan pemandangan yang biasa, seperti saat mantan perdana menteri kedapatan mendorong troli belanja di sebuah supermarket dan wali kota kedapatan berdiri dalam antrean di halte bus.
Mereka juga tak kebal hukum seperti diberi abolisi atau amnesti oleh kepala negara sebagaimana diterima Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto di negeri kita. Para pejabat di Swedia dapat diadili seperti orang lain yang melanggar hukum.
Claudia Wallin sebagaimana dikutip The Wire mengungkapkan politikus Swedia yang berani menghabiskan uang publik untuk naik taksi bakal menjadi bahan berita utama surat kabar.
Para pejabat seperti ketua parlemen hanya diberi fasilitas kartu e-money untuk mengakses layanan transportasi umum. Salah satu skandal politik paling ikonik di negara dengan indeks persepsi korupsi atau IPK mencapai 80 poin pada 2024 ini terjadi pada 1995.
Saat itu, Wakil Perdana Menteri Mona Sahlin kedapatan membeli sebatang cokelat Toblerone, popok bayi, dan beberapa barang pribadi lain dengan kartu kredit pemerintah. Kasus itu kemudian menghebohkan warga Swedia yang berujung hilangnya jabatan Mona Sahlin.
Pada akhirnya ia membayar kembali dengan uang pribadi dan tidak terbukti melakukan kejahatan pidana, namun kepercayaan publik terhadap dirinya telanjur runtuh. Skandal ini tercatat dalam sejarah politik Swedia sebagai kasus Toblerone.
Cerita soal kotak pena dan cokelat Toblerone ini memang tampak sepele. Kedua barang itu nilainya tidak seberapa, namun cerita seputar dua barang “murah” itu menjadi pelajaran berharga dalam merawat muruah demokrasi yang sehat.
Dua peristiwa itu mengajarkan bahwa kejujuran pejabat bukan soal seberapa besar nilai yang diambil, melainkan seberapa besar rasa hormat kepada kepercayaan yang diberikan masyarakat.
Di Indonesia dengan IPK mencapai 37 poin pada 2024, fasilitas negara kadang dianggap semacam bonus jabatan. Mobil dinas biasa dipakai untuk kepentingan pribadi, rumah dinas diwariskan kepada anak atau cucu yang tak jarang berakhir dengan sengketa, dan biaya perjalanan sering dikaburkan antara tugas dan liburan.
Ironisnya, praktik semacam ini dianggap normal. Dari cerita kotak pena dan sebatang cokelat Toblerone itu kita belajar bahwa kehormatan pejabat bukan terletak pada seragam, pangkat, atau fasilitas yang melekat, tetapi pada ketegasan batas antara hak dan barang titipan serta batas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Agustus 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)