Sentimen
Undefined (0%)
16 Agu 2025 : 19.38

Demokrasi yang Lelah

16 Agu 2025 : 19.38 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Demokrasi yang Lelah

Dalam mitologi Yunani ada kisah tentang Sisyphus, seorang raja yang dihukum mendorong batu besar ke atas bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang tanpa akhir.

Demokrasi kita, jika terus dibebani prosedur yang rumit tanpa ruang perbaikan, bisa seperti itu. Kerja politik yang menguras asa tanpa hasil yang sepadan. 

Warga memilih, petugas bekerja, elite berdebat, namun makna keterwakilan tak kunjung sampai. Kisah Sisyphus mengingatkan kita bahwa sistem yang tidak memberi hasil, meski penuh usaha, bukan hanya melelahkan, tapi perlahan-lahan melumpuhkan harapan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 kembali memicu perdebatan tentang arah sistem pemilihan umum atau pemilu kita. Inti putusan ini sebenarnya tidak rumit, bahwa konstitusi tidak mengharuskan semua jabatan publik dipilih pada hari yang sama.

Meski sah secara normatif, putusan ini menyisakan kekosongan di tingkat implementasi. Tidak ada panduan transisi yang jelas. Bickel (1962) mengingatkan bahwa pengadilan juga dituntut bertindak dengan kehati-hatian dalam merancang putusan yang mampu dijalankan secara masuk akal tanpa menggerus legitimasi institusional.

Berbagai sikap atas putusan MK ini menunjukkan yang diputus oleh MK ini melampaui aspek teknis karena menyentuh cara kita memahami keseimbangan antara efisiensi prosedural dan mutu partisipasi demokratis. 

Kekhawatiran soal jadwal yang tidak sinkron atau potensi pembengkakan biaya jika putusan MK ini diimplementasikan memang berasalan. Persoalan utamanya bukan pada dasar hukum, melainkan pada kesiapan politik untuk mengelola transisi.

Muncul kekhawatiran pelaksanaan putusan MK justru bisa dianggap melanggar konstitusi. Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya benar. MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi (Huda, 2007). 

Putusan bersifat final dan mengikat sehingga pelaksanaannya tidak hanya sah, tapi juga menjadi kewajiban dalam sistem hukum yang menjunjung prinsip supremasi konstitusi.

Mengaburkan batas ini dengan narasi politis bukanlah hal yang bijak. Sejak pemilu serentak diberlakukan, beban demokrasi justru semakin terasa. Pemilih dihadapkan pada lima surat suara dalam satu waktu dengan tingkat kerumitan informasi yang tinggi. 

Bagi banyak orang, ini bukan sebuah pesta demokrasi, melainkan tekanan untuk memilih cepat dalam keadaan kurang siap. Penyelenggara pemilu menghadapi tantangan teknis dan administratif yang luar biasa besar. 

Akibatnya, proses demokrasi menjadi makin padat, tetapi tidak selalu makin bermakna. Pengalaman dalam pemilu ini memiliki resonansi dengan yang ditunjukkan Bartels dan Achen (2016) dalam Democracy for Realists, bahwa pemilih sering kali tidak membuat keputusan politik secara rasional dan utuh, tetapi berdasarkan asosiasi dan persepsi yang terbatas. 

Dalam skema pemilu serentak, kecenderungan ini makin diperkuat, dan pada titik tertentu justru menggerus esensi partisipasi demokratis yang seharusnya mendalam dan berimbang. Haruskah ini dibiarkan begitu saja?

Reformasi Elektoral

Jika kita berpegang pada asas res judicata pro veritate habetur, bahwa putusan pengadilan adalah kebenaran, putusan MK ini semestinya tidak lagi diperlakukan sebagai bahan perdebatan politis yang tak berujung. 

Tantangan kita kini bukan soal setuju atau tidak, melainkan bagaimana memastikan transisi berjalan secara sah, terbuka, dan masuk akal. Yang lebih dibutuhkan saat ini bukan saling curiga, melainkan kemauan bersama merancang ulang sistem yang memberi ruang bagi demokrasi berjalan lebih jernih dan terfokus.

Ruang untuk merancang jalan keluar selalu terbuka, selama semua pihak bersedia duduk bersama. Penyesuaian masa jabatan dua tahun atau tiga tahun bukan soal panjang waktunya, tapi soal kejelasan dasar hukum. 

Dalam sejarah kita, pernah ada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dibentuk untuk menjaga kesinambungan lembaga negara di tengah transisi konstitusi pascadekrit 1959. 

Meski tidak lahir dari pemilu, keberadaan MPRS diakui sah secara hukum dan dijalankan untuk mencegah kekosongan kekuasaan. Jika di tingkat nasional langkah itu pernah ada, membentuk mekanisme serupa di tingkat daerah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) untuk mengimplementasikan putusan MK bisa menjadi opsi.

Opsi ini haruslah dibentuk dengan dasar hukum yang tegas dan tujuan yang terbatas, bukan sebuah prosedur reguler. Langkah ini dapat dibenarkan sebagai respons konstitusional atas situasi luar biasa. 

Dalam masa transisi, terkadang diperlukan keputusan yang sedikit keluar dari pakem. Meminjam istilah lama, desperate times call for desperate measures.

Opsi menyusun undang-undang pemilu yang baru juga bisa dipertimbangkan asal prosesnya  dijalankan dengan kesadaran konstitusional yang jernih. 

Yang justru perlu diwaspadai adalah ketika rancangan undang-undang baru itu kelak tidak lahir dari semangat putusan MK, melainkan dari kepentingan politik yang diam-diam beradu punggung dengannya.

Putusan MK adalah disrupsi yang sehat bagi kita untuk menata ulang cara berdemokrasi yang lebih Pancasialis. Indonesia membutuhkan sistem pemilu yang bukan sekadar efisien secara anggaran, tetapi juga efektif menciptakan keterwakilan yang autentik. 

Pemisahan pemilu nasional dan lokal bukan langkah mundur, melainkan bentuk adaptasi terhadap kompleksitas masyarakat dan tuntutan tata kelola yang lebih akuntabel. Inilah saatnya kita mengakui kekurangan sistem dan bersikap rasional dalam memperbaiki.

Demokrasi kita hari ini tampak lelah, bukan karena kehilangan legitimasi, tetapi karena terbebani prosedur yang rumit dan partisipasi yang makin dangkal. 

Kelelahan ini bukan alasan untuk menyerah, melainkan isyarat bahwa kita perlu berhenti sejenak, mengevaluasi ulang, dan memperbaiki arah. 

Sudah saatnya kita melampaui perdebatan soal tafsir dan putusan konstitusi, kemudian mulai menata ulang sistem elektoral. Demokrasi yang segar tidak tumbuh dari kelengahan, tetapi dari kemauan untuk terus menguji dan membenahi diri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Agustus 2025. Penulis adalah dosen STIH Litigasi dan sssociate pada Institut  Arbiter Indonesia (IArbI))

Sentimen: neutral (0%)