Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Blora, Boyolali, Klaten, Ngawi, Solo, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri
Tokoh Terkait
Menarik Investasi Rusia di Soloraya
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa beberapa waktu lalu menghasilkan satu terobosan penting: Russia-Indonesia Investment Platform (Ridnip) dengan nilai komitmen sebesar US$2 miliar atau sekitar Rp37 triliun.
Kemitraan ini melibatkan Danantara dan Russian Direct Investment Fund (RDIF). Selain itu, turut ditandatangani pula empat nota kesepahaman lainnya yang mencakup bidang transportasi, teknologi informasi, pendidikan tinggi, dan sektor investasi strategis.
Langkah ini menjadi sinyal jelas bahwa Indonesia berupaya membuka kanal kerja sama baru di luar poros tradisional seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, atau China.
Rusia dipandang sebagai mitra potensial dengan kemampuan teknologi tinggi, sumber daya investasi besar, dan kepentingan geopolitik yang semakin luas ke kawasan Asia Tenggara.
Di balik euforia politik luar negeri itu, satu pertanyaan tetap penting: apa dampaknya bagi rakyat Indonesia, khususnya masyarakat di daerah seperti Soloraya? Satu hal yang patut disorot adalah arah dari investasi yang cenderung menyasar sektor-sektor riil dan produktif.
Jika dialokasikan dengan tepat, platform ini memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan ekonomi daerah melalui industri pengolahan, infrastruktur, energi alternatif, dan sektor pendidikan tinggi.
Soloraya dan sekitarnya merupakan kawasan yang ideal untuk menjadi bagian eksekusi investasi strategis ini. Wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Wonogiri memiliki kekayaan komoditas pertanian dan peternakan yang melimpah, namun belum dioptimalkan dalam bentuk industri hilir berskala besar.
Dengan dukungan investasi asing, kawasan ini bisa diarahkan untuk menjadi klaster agroindustri baru berbasis komoditas lokal. Contohnya, pembangunan pabrik pengolahan jagung dan susu di Kabupaten Boyolali atau pengembangan kawasan industri pengolahan kelapa dan hasil hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri.
Selain itu, kawasan industri strategis di lintas Ngawi–Solo–Sragen memiliki potensi kuat untuk menjadi basis logistik dan manufaktur baru di bagian selatan Jawa Tengah.
Investasi dari Rusia dapat diarahkan ke pembangunan gudang modern, sistem distribusi digital, serta fasilitas produksi bahan baku pertanian yang mendukung ekspor ke pasar Eurasia.
Dengan infrastruktur yang baik dan posisi strategis, kawasan ini mampu menyerap ribuan tenaga kerja sekaligus mengangkat daya saing produk lokal.
Tak kalah penting adalah potensi kerja sama di bidang pendidikan tinggi. Kota Solo sebagai kota pelajar memiliki Universitas Sebelas Maret (UNS) yang melakukan banyak riset bidang energi, pertanian, teknik, dan teknologi informasi.
Kerja sama antara UNS dan universitas-universitas di Rusia bisa dimulai dari program riset bersama, pertukaran pelajar dan dosen, hingga pengembangan pusat inovasi berbasis teknologi pertanian dan energi terbarukan.
Kolaborasi ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga memperluas jaringan internasional kampus-kampus di Soloraya. Salah satu sektor yang disebut secara eksplisit oleh Rusia adalah energi nuklir.
Rosatom, badan energi nuklir milik Rusia, menyatakan kesiapan menjalin kemitraan jangka panjang dengan Indonesia. Rencana ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra, apalagi jika menyangkut isu sensitif seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Jika pendekatannya dilakukan bertahap dan dimulai dari aspek pelatihan, riset teknologi, serta studi kelayakan untuk wilayah tertentu, langkah ini patut dipertimbangkan secara objektif.
Beberapa wilayah di Jawa Tengah bagian timur, seperti Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan, yang memiliki lahan luas dan kebutuhan energi tinggi bisa disiapkan sebagai lokasi studi awal.
Tentu dengan mempertimbangkan aspek keselamatan dan sosial secara serius. Meski demikian, sebesar apa pun peluang yang ditawarkan, semua akan sia-sia jika tidak disertai dengan tata kelola yang baik.
Di sinilah peran lembaga pengelola seperti Danantara menjadi sangat krusial. Proyek investasi senilai puluhan triliun rupiah harus dijalankan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Masyarakat berhak tahu: siapa yang menentukan proyek? Apa kriterianya? Bagaimana proses seleksi dilakukan? Dan yang paling penting, apakah daerah dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan?
Pengawasan publik harus dibuka selebar-lebarnya. BPK, KPK, Ombudsman, hingga media lokal seperti Solopos perlu diberi akses untuk memantau implementasi proyek.
Tanpa pengawasan yang kuat, investasi besar seperti ini sangat rentan dimanfaatkan oleh segelintir elite, sementara masyarakat hanya menjadi penonton. Jangan sampai Soloraya hanya mendapat ”remah-remah proyek”, sementara proyek-proyek besar kembali terpusat di Jakarta atau Jawa Barat.
Dari sisi geopolitik, Indonesia juga perlu menjaga kehati-hatian. Di tengah ketegangan global yang masih tinggi akibat konflik Rusia–Ukraina, kerja sama ekonomi dengan Rusia harus tetap dalam koridor kebijakan luar negeri bebas aktif.
Jangan sampai keterlibatan kita secara ekonomi justru membawa konsekuensi diplomatik yang merugikan di panggung internasional. Seperti pepatah Jawa bilang: aja dumeh cedhak, terus dadi siji. Dekat bukan berarti harus berpihak mutlak.
Keseimbangan politik dan kedaulatan nasional harus tetap dijaga. Akhir kata, esensi dari investasi asing, tak peduli berasal dari negara mana, adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kalau Soloraya ingin maju, daerah harus diberi ruang untuk menjadi bagian dari arsitektur pembangunan nasional. Dana triliunan rupiah dari luar negeri tidak akan berarti jika tidak menyentuh keseharian warga: lapangan kerja yang bertambah, infrastruktur yang membaik, hingga kualitas pendidikan yang meningkat.
Pemerintah daerah, akademikus, pelaku usaha, dan masyarakat sipil di Soloraya harus aktif mengawal dan mengusulkan proyek yang memang dibutuhkan oleh wilayah ini.
Sekali lagi, jangan hanya jadi penonton. Kita harus memastikan bahwa investasi yang datang bukan hanya berhenti di angka besar atau seremoni politik, tetapi benar-benar hadir dan terasa hingga ke pelosok desa.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Agustus 2025. Penulis adalah mahasiswa Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret)
Sentimen: neutral (0%)