Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Ford
Event: Konferensi Meja Bundar, Rezim Orde Baru
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Solo, Tangerang
Kasus: korupsi, PHK
Tokoh Terkait
Mewujudkan Cita-cita Sang Ayah
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Ketika Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden Indonesia, nama ayahandanya, Sumitro Djojohadikusumo, kembali diingat oleh sebagian publik. Sumitro adalah doktor ekonomi pertama Indonesia.
Ia meraih gelar akademis doktor pada usia 26 tahun di Universitas Rotterdam, satu almamater dengan Moh. Hatta. Bersama Hatta, keduanya menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1948.
Sumitro menunjukkan sikap nasionalisme dengan menolak membayar utang senilai 6,5 miliar gulden (sekarang setara dengan Rp200 triliun) pada Konferensi Meja Bundar. Salah satu alasan penolakan adalah Indonesia harus membayar biaya agresi Belanda I dan II.
Itu berarti Indonesia membayar setiap peluru yang menembus dada para pejuang republik. Setelah pengakuan kedaulatan, Sumitro memulai karier sebagai Menteri Perdagangan Kabinet Natsir dan Menteri Keuangan Kabinet Wilopo serta Kabinet Burhanuddin Harahap.
Sumitro juga mulai berkarier di dunia akademis dengan menjadi dekan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sumitro yang membangun institusi tersebut, antara lain, mempersiapkan studi lanjut para pengajar melalui kerja sama dengan Ford Foundation.
Anggota inti ”Mafia Berkeley”, yaitu Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, yang kemudian menjadi menteri-menteri ekonomi penting dalam pemerintahan Orde Baru, adalah produk pembangunan institusi akademis ini.
Ketika menjadi pejabat pemerintah, Sumitro mengeluarkan beberapa kebijakan penting, misalnya, Program Benteng dan Rencana Sumitro yang meletakkan dasar-dasar industrialisasi di Indonesia.
Program Benteng adalah program sangat nasionalistis karena memberikan kesempatan kepada pengusaha, terutama pribumi lokal, untuk berkembang dan negara hadir dengan memberikan berbagai kredit dan lisensi. Program ini gagal karena banyak pengusaha semu yang memiliki lisensi impor, tetapi tidak memiliki perusahaan nyata.
Sumitro kecewa karena Program Benteng hanya menghasilkan lapisan baru kapitalis semu yang tidak produktif atau makelar lisensi, bukan pengusaha nasional. Setelah kembali dari pelarian karena terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan selepas dari posisi formal sebagai menteri, Sumitro mengalami migrasi intelektual.
Sumitro mulai mengkritik pemerintah Indonesia. Tentang kebocoran anggaran sampai 20%, ekonomi biaya tinggi karena perizinan, dan memperkenalkan konsep incremental capital output ratio (ICOR) untuk mengukur efisiensi sebuah investasi. Makin tinggi nilai ICOR, makin tidak efisien sebuah investasi.
Angka ICOR di Indonesia saat ini adalah 6%. Apabila ada pengusaha asing menanamkan Rp100 miliar, output hanya Rp15 miliar. Di kawasan Asia Tenggara, rata-rata angka ICOR adalah 3,7-4,6%.
Artinya, ICOR Indonesia di atas rata-rata negara ASEAN karena masih ada ekonomi biaya tinggi, korupsi, dan ekonomi perizinan. Setelah mencermati kritik Sumitro, saya berpendapat inilah penyebab bangsa Indonesia tidak segera lepas dari posisi sebagai negara berpendapatan menengah.
Kritik itu terus menggema sampai sekarang dan memberikan bukti makin jelas. Siapa yang hari ini menyangkal bahwa pungli, ekonomi perizinan, dan korupsi bukan biang keladi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Akumulasi dari ketiganya membawa kita pada ICOR 6%. Artinya untuk menghasilkan pertumbuhan 1% membutuhkan investasi sebesar 6% dari PDB Indonesia. Hal ini harus menjadi prioritas kebijakan ekonomi nasional.
Presiden Prabowo jangan hanya bisa menyatakan karena ikut kapitalisme terjadi kesenjangan di Indonesia, tetapi tidak menjelaskan kapitalisme yang mana yang diikuti Indonesia sehingga tidak maju-maju atau cenderung stagnan.
Setelah membaca kembali buku William Baumol, Robert E. Litan, dan Carl J. Schramm berjudul Good Capitalism, Bad Capitalism, kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme oligarkis yang hanya dikuasai sedikit orang, pertumbuhannya stagnan karena rendahnya inovasi, dan berlangsung di negara dengan sistem kroniisme yang tinggi.
Kapitalisme oligarkis termasuk bad capitalism. Adapun yang termasuk good capitalism yaitu kapitalisme perusahaan besar dan kapitalisme kewirausahaan. Bentuk yang terakhir ini adalah kapitalisme yang didorong oleh inovasi sehingga adaptif dalam setiap bentuk perubahan.
Kapitalisme kewirausahaan sangat efektif dalam menunjang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Untuk mendorong tumbuhnya kapitalisme kewirausahaan, Prabowo harus mengikuti nasihat ayahandanya, yaitu mendorong deregulasi.Sumitro mendorong deregulasi untuk debirokratisasi dan menarik investasi asing.
Sumitro menyatakan persetujuan terhadap deregulasi investasi dan perdagangan. Masalahnya, ketika Sumitro menyatakan hal tersebut, sektor riil di Indonesia waktu itu dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto.
Melalui kepanjangan tangan di pemerintah, para teknokrat yang tersisa seperti Ali Wardhana dan Radius Prawiro, dimulailah deregulasi keuangan, terutama perbankan, yang seharusnya paling akhir tahapannya.
Ketiadaan kemewahan untuk memulai deregulasi dari sektor riil juga dialami Prabowo sekarang. Prabowo harus berhitung di sektor riil, terutama mengurangi proteksionisme, dalam hal ini, kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) manakah yang harus dideregulasi lebih dahulu.
Meskipun Prabowo sudah mewanti-wanti sektor industri untuk melonggarkan TKDN, hal ini bisa memancing gejolak di kalangan pengusaha karena kehilangan privelese, terutama perlindungan dari pemerintah.
Tenggat waktu untuk mencapai Indonesia Emas 2045 tinggal 20 tahun lagi. Solusi jangka pendek dan panjang harus dipilih dengat tepat agar Prabowo dapat mewujudkan cita-cita sang ayah, yaitu deregulasi yang komprehensif.
Jangka pendek, deregulasi itu bukan semata-mata milik kapitalisme. Deregulasi ini soal waktu saja. Perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. PHK bertebaran di mana-mana. Prabowo harus mau mendengar masukan para teknokrat apabila menasihatkan deregulasi karena itu bukan saja perlu ditempuh sekarang, melainkan juga cita-cita sang ayah.
Prabowo bisa dianggap anak durhaka jika tidak mampu menurunkan ICOR Indonesia sama dengan negara ASEAN lainnya. Jangka panjang, jangan sampai keliru lagi memilih jalan kemajuan. Indonesia dan Taiwan sama-sama negara middle income pada tahun 1980-an.
Waktu itu, di Indonesia kedatangan Fairchild (perusahaan elektronika) di Tangerang. Taiwan baru memanggil pulang Morris Chang untuk membangun industri semikonduktor. Para teknolog yang dipimpin B.J. Habibie mengembangkan industri pesawat terbang dan industri turunan (mekanika) sebagai pilihan kemajuan.
Fairchild keluar dari Indonesia karena ketatnya regulasi ketenagakerjaan dan faktor politik. Indonesia salah membaca jalan kemajuan sejarah, yang berkembang adalah industri elektronika. Sekarang, PDB per kapita Taiwan adalah US$32.500 atau enam kali lipat PDB per kapita bangsa Indonesia.
Tampaknya ini akan menjadi tugas berat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk membaca arah zaman menuju kemajuan di tengah-tengah isu penulisan sejarah Indonesia yang ber-tone positif atau sesuai dengan kepentingan penguasa sehingga Indonesia makin ketinggalan dibandingkan negara-negara yang dahulu kira-kira 20 tahun atau 30 tahun di posisi middle income.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Agustus 2025. Penulis adalah editor buku dan tinggal di Kota Solo)
Sentimen: neutral (0%)