Sentimen
Undefined (0%)
10 Agu 2025 : 10.09
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo

Bercerita Soal Perempuan, Komunitas Seniman Solo Gelar Teater di Coffee Shop

10 Agu 2025 : 10.09 Views 8

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Bercerita Soal Perempuan, Komunitas Seniman Solo Gelar Teater di Coffee Shop

Esposin, SOLO — Jika biasanya pertunjukan teater berada di panggung dan ruang tertutup, justru Komunitas Seniman Solo (Koss) mengadakan pertunjukan dengan lakon Dongeng Teater Tari Raseksa di ruang terbuka yakni Ratulangi Coffee, Kota Solo, Sabtu (9/8/2025) malam.

Pentas ini berpusat pada cerita seorang perempuan yang melawan Raksasa haus kuasa dan sewenang-wenang yang menginginkannya. Namun sang perempuan enggan dan memilih untuk melawan.

Cerita bermula ketika kemunculan seorang bernama Raseksa yang sangat rakus. Seperti namanya ia memiliki perawakan besar seperti raksasa. 

“Getuk Lindri, bukakan pintu,” katanya Raseksa dengan suaranya yang besar dan menakutkan. 

Raseksa menginginkan Getuk Lindri, seorang gadis yang masih kanak-kanak. Melihat niatan itu, tentu ibunya tidak rela Lindri ditangkap Raseksa yang rakus itu. Namun ia dipaksa dan diancam.

Guna mengelabui, ibunya berjanji membolehkan ia mengambil anaknya ketika sudah remaja. Meski begitu sebetulnya sang ibu tidak mau. Namun ia bingung menolak. Akhirnya ia meminta Lindri untuk segera pergi dari rumah. Tapi Lindri bingung dan bertanya-tanya mau pergi ke mana dan sampai kapan.

“Sampai mendung di negeri ini hilang,” jawab sang ibu kepada Lindri.

Ibunya meminta Lindri lari dari Raseksa. Ibunya berpesan pergi ke tempat yang jauh jangan sampai ia memberitahukan arah tujuannya kepada siapapun, sekalipun kepada ibunya. 

Ketika raseksa datang mencari, rumah Lindri kosong. Ternyata benar, Lindri sudah pergi. Ibunya juga tidak ada. Meski begitu Rasakso tidak mau diam. Ia mencari Lindri sampai ke ujung negeri.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Lindri pergi nun jauh ke negeri orang. Ia sudah dewasa dan tumbuh sebagai seorang perempuan yang berpendidikan dan mandiri. “Di negeri ini perempuan tidak boleh hanya pandai memasak,” katanya.

Meski sudah berada di negeri yang jauh, ia ternyata tetap dalam bayang-bayang Raseksa. Lindri mendengar Raseksa selalu berbuat onar. Ia rakus, mencelakakan orang, dan yang paling membuatnya terpukul ibu Lindri meninggal karena tidak bisa lepas dari Raseksa. 

Melawan Sehormat-hormatnya

Akhirnya Lindri memutuskan untuk berhenti lari. Ia menemui Raseksa. Ia datang tidak untuk menyerahkan diri, tapi melawan. Ia melawan dengan cara sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. 

Situasi ini membuat konfrontasi keduanya tidak bisa dihindari. Lindri berusaha melawan kesaktian Raksasa. Tapi ia nampak kewalahan. Ia tertunduk. Terlihat sangat lemah. Tapi ia terus melawan.

Pertempuran itu dimenangkan oleh Lindri. Ia mengikat kesaktian Raseksa dengan kekuatan yang tersembunyi dari dalam dirinya. Kekuatan yang berasal dari doa dan harapan ibu Lindri.

Pentas yang dibawakan dengan sangat kasual dan penuh tawa itu selesai dengan durasi sekitar 40 menit. Para pemain Hanindawan, Darsono Djarot, dan Galih Sari berhasil menghadirkan pentas yang memadukan aspek teater, seni rupa, seni tari, dan musikal.

Penulis naskah dan sutradara, Hanindawan mengatakan Raseksa merupakan lakon yang bersumber dari folklor Jawa Tengah. Namun disuguhkan dengan pendekatan seni pertunjukan teater modern. 

Ia mengatakan lakon "Raseksa" ini adalah cerminan dari kondisi sosial yang relevan hingga hari ini, terutama mengenai posisi perempuan.

“Inspirasi awal ceritanya datang dari situasi sosial. Kondisi perempuan di Indonesia kan selalu berada dalam tantangan yang luar biasa. Kalau kita melihat, banyak sekali korban kekerasan itu adalah perempuan,” ungkap Hanindawan saat ditemui Espos usai pementasan, Sabtu.

Menurutnya, karakter-karakter dalam lakon ini adalah simbol dari sifat-sifat manusia. Raseksa mewakili sifat sewenang-wenang, arogan, dan tak beretika. 

Sementara Getuk Lindri adalah simbol perlawanan, perempuan yang mencoba bertahan dan melawan dalam situasi yang tidak menguntungkan. 

Sedangkan sang ibu, di sisi lain, merepresentasikan perjuangan yang hanya mengandalkan perasaan, yang pada akhirnya berujung pada kepedihan.

“Jadi sebenarnya ini sifat yang ada. Saya lebih menekankan pada dimensi moral, meskipun ada lapis-lapis tafsir lain seperti politik. Tapi moralitas adalah yang utama,” tambahnya.

Pemilihan Lokasi Pementasan

Pemilihan Ratulangi Coffee sebagai lokasi pementasan bukanlah tanpa alasan. Hanindawan melihat fenomena menjamurnya kedai kopi di Solo sebagai sebuah ruang potensial yang belum banyak tersentuh oleh seni pertunjukan teater.

“Saya membaca di Solo ini pertumbuhan ruang-ruang [nongkrong] itu banyak sekali, dan yang selalu disajikan adalah musik. Nah, itu pertanyaan saya, bisa enggak sih seni teater berada di dalam ruang yang tanpa panggung, yang natural,” jelasnya.

Baginya, ini adalah sebuah tantangan kreatif untuk mengambil pendekatan ruang secara berbeda. Berbekal pengalamannya yang panjang di dunia teater dan terinspirasi dari seni tradisi seperti Sandur yang dipentaskan di ruang sempit, ia mencoba menghadirkan pertunjukan di kedai kopi. 

Menurutnya kekuatan pertunjukan semacam ini terletak pada kemampuan para aktor untuk membangun karakter dan membuka imajinasi penonton.

“Kekuatannya ada di imajinasi. Bagaimana personal tokoh-tokohnya mampu menumbuhkan karakter dan membuka imajinasi penonton. Bukan hanya imajinasi pemainnya, tapi imajinasi penonton itu terbuka atau tidak,” kata Hanindawan.

Pendekatan ini juga bertujuan untuk mendekatkan teater dengan generasi muda yang identik dengan budaya kedai kopi. Namun, ia percaya pada dasarnya anak muda sekarang sudah memiliki wawasan yang terbuka.

Selain itu, berbeda dengan teater konvensional di gedung pertunjukan yang menuntut penonton untuk hening dan fokus, pementasan "Raseksa" sengaja dirancang dengan suasana yang sangat kasual dan cair. 

Penonton bebas memesan kopi. Termasuk nonton sambil makan dan minum.

“Itulah sebenarnya, peristiwa sosial itu peristiwa kita bersama. Nah, teater itu juga peristiwa kita bersama. Saya mendekatkan penonton tanpa ada dinding,” katanya.

Menurutnya konsep seperti ini justru menghilangkan jarak antara panggung dan penonton, membuat audiens merasa terlibat secara emosional. 

“Tidak ada ketegangan. Mau pesan kopi, mau minum kopi, ya, boleh saja, silakan. Kesenian tidak menjadi sesuatu yang menegangkan,” ujarnya.

Setelah dipentaskan selama dua hari di kedai kopi, ia berencana membawa lokon "Raseksa" ke lingkungan perkampungan yang lebih terbuka.

Pada akhirnya, Hanindawan menyerahkan sepenuhnya interpretasi kepada penonton. Ia tidak berniat mendikte pemikiran orang terhadap alur dan penokohan dalam cerita.

“Perkara sampai atau tidaknya pesan itu, tergantung penonton. Mereka boleh mengambil ceritanya saja, mengambil sedikit saja, atau bahkan tidak paham sama sekali. Yang paling penting, ketika kami menyajikan, kami sudah punya konsep yang jelas,” katanya.

Sentimen: neutral (0%)