Setelah 20 Tahun Tersimpan, "Rubaiyat Den Sastro" Menemui Pembaca
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO — Buku kumpulan puisi berjudul Rubaiyat Den Sastro karya penyair asal Solo, Sapardi Djoko Damono terbit tahun ini setelah dua dekade naskah itu tersimpan dan tidak pernah menemui pembaca.
Hal itu disampaikan dalam Bedah Buku Rubaiyat Den Sastro di Radya Litera Multifunction Hall Griya Solopos, Selasa (5/8/2025) malam.
Saparti, yang meninggal dunia di usia 80 tahun pada 19 Juli 2020 itu sudah berkarya sejak 1960-an dan sudah menerbitkan belasan bahkan mungkin puluhan karya fiksi maupun non-fiksi. Namun ada satu karya yang tidak kunjung terbit adalah kumpulan puisi berjudul Rubaiyat Den Sastro.
Naskah itu sudah ada setidaknya sejak 2005. Hal itu diketahui ketika penulis dan musisi Reda Gaudiamo, seorang yang dekat Sapardi, bercerita pernah menerima sebuah amplop coklat yang ternyata berisi buku tipis dengan judul "Rubaiyat Den Sastro".
"Hari itu Bapak [Sapardi] telepon, zaman itu masih SMS, 'eh, bisa ke UI?' Saya datang, lalu dia serahkan ini [buku Rubaiyat Den Sastro,," kenang Reda ketika menjadi pembicara dalam bedah buku, Selasa.
Reda ingat pesan Sapardi setelah memberikan naskah itu, yakni untuk menyimpannya baik-baik. Ia pun tidak tahu maksud Sapardi apa. Namun akhirnya ia menyimpan naskah itu di rumah.
“Saya akhirnya simpan di koper bersama dokumen pribadi saya di rumah, karena saya pikir tempat mana lagi yang lebih aman,” katanya.
Reda menyimpan itu bertahun-tahun. Dalam hati ia selalu bertanya mau sampai kapan naskah itu disimpan di kopernya. Meski begitu, Reda juga tidak berani menanyakan kelanjutan nasib naskah itu kepada Sapardi. Ia bahkan sempat khawatir Sapardi lupa kalau pernah menitipkan karya tersebut kepadanya.
"Saya juga melihat Bapak seperti tidak mengarah ke sana. Pada saat setiap kali saya bersiap untuk bertanya, saya menahan diri juga," ungkapnya.
Hingga Sapardi wafat pada 2020, ia tidak sempat menanyakan nasib karya tersebut. Setelah kepergian penyair, Reda merasa harus menyerahkannya kepada keluarga, namun ternyata ia pun tidak punya keberanian.
"Setiap kali ada acara [tahlil], saya bawa. Tujuh harian saya bawa. Empat puluh harian. Seratus hari. Ketika seribu hari, naskah itu juga ada di dalam tas saya. Tapi rasanya hari itu kayak bukan waktunya. Saya cuma tahu bahwa suatu hari nanti, saya harus menyerahkan ini. Tapi entah bagaimana caranya," katanya.
Namun pada satu ketika, pada 2024, Reda bertemu sahabatnya, yakni pendiri Patjar Merah yang juga pegiat literasi dari Indonesia Terra, Windy Ariestanty. Windy bercerita pernah punya niatan untuk menerbitkan karya baru Sapardi, namun tidak sempat kesampean.
Mendengar cerita itu, Reda langsung mengaku bahwa dirinya punya naskah yang belum pernah diterbitkan Sapardi. Reda pun menawarkan naskah itu untuk terbit namun harus dengan seizin keluarga. "Tiba-tiba saya bilang, 'Eh, saya punya naskahnya Bapak'," kata Reda.
Windy mengaku terkejut saat mendengar tawaran itu. Ia hanya berniat bercerita kepada sahabatnya, dan tidak berniat meminta naskah itu. Ia sadar betul bahwa naskah itu adalah bagian dari cerita personal antara Reda dan Sapardi
"Aku sama sekali tidak kepikiran untuk meminta naskah itu. Karena aku pikir kalau memang mau diterbitkan, aku yakin akan diterbitkan," ujar Windy.
Akhirnya, mereka bertemu dengan Sonya Indriati Sondakh yang merupakan istri mendiang Sapardi. Sonya ternyata mengizinkan naskah itu untuk menemui pembaca.
Setelah mendapatkan izin, Windy mengatakan prosesnya cepat. Termasuk ketika ia melibatkan illustrator untuk menggambar sampul dan isi buku. Akhirnya Windy mengajak ilustrator Iwan Effendi untuk terlibat dalam penerbitan buku "Rubaiyat Den Sastro".
Iwan membuat ilustrasi untuk buku ini dengan arang dan coretan garis hingga terlihat membentuk manusia. Iwan kemudian membuat visual sampulnya dengan konsep seakan ada dua sosok yang memainkan boneka.
"Ini tentang percaya satu sama lain untuk menggerakkan boneka yang sebenarnya. Saya melihat puisi dan boneka punya kesamaan dalam proses kreatif. Saya suka sekali garis-garis yang spontan, dan warna-warna itu memberi sensasi kehidupan dalam kehitaman," jelas Iwan.
Karya Iwan menjadi jembatan visual, membantu pembaca menyelami emosi yang ingin disampaikan Sapardi melalui bait-baitnya yang khas.
Bagi Sonya Indriati Sondakh, penerbitan buku ini juga membuka kembali kenangan tentang sosok Sapardi. "Sering orang nanya, 'Pasti romantis, ya?' Yang benar saja. Dia enggak pernah ngasih bunga, tapi ngasihnya puisi," canda Sonya.
Ia mengenang suaminya sebagai sosok orang biasa yang lucu, kadang menjengkelkan, dan sangat bangga pada darah Jawanya. Ia mengatakan Sapardi kerap berbicara bahasa Jawa kepada siapa pun tanpa peduli lawan bicaranya mengerti atau tidak.
Sonya merasa naskah Rubaiyat Den Sastro dan karya lain Sapardi yang belum sempat terbit memang seharusnya menemui pembaca. Karena karya penyair penulis “Hujan Bulan Juni” itu masih dinanti dan dicintai oleh banyak orang.
Sentimen: neutral (0%)